"Adakah yang tak pantas untuk tak dimaafkan?"
"Entahlah. Aku sering memaafkan sebatas kata pada dia yang terus mengulang salah. Hatiku tak turut serta. Terlebih pikiranku. Bukan tentang dendam, bahkan aku tak mampu mendiskripsikan batas itu. Terus bertanya, apa yang sebenarnya dia harapkan dariku. Ku menjauh dicarinya. Ketika aku dekat dimusuhinya. Aku ambil jarak, diprasangkainya. Aku tak berjarak, diperbudaknya. Lalu aku memilih ada dalam diam yang panjang."
"Sakit hatikah dirimu?"
"Justru itu yang kutanyakan berulang. Karena hatiku tak mampu merasakan apa-apa lagi tentang dia."
"Bagaimana kau tahu bila kau dicarinya ketika menjauh?"
"Seorang terus mempertanyakan pertanyaan Fulana yang terus mencariku. Seorang saudara kami yang terheran tanpa berani pertanyakan keheranannya. Bagaimana bisa seorang kakak tak dapat menghubungi adiknya sendiri? Dia tak pernah tahu bagaimana bisa seorang adik memblokir nomor telepon kakaknya."
"Separah itukah?"
"Ya. Aku bukan orang yang suka berlarut-larut ada dalam konflik. Itulah kenapa aku memblokir nomornya. Caci makinya memekakkan telinga. Andai saja ada kebenaran dalam makiannya, akan kudengarkan. Tetapi segala umpatannya hanyalah fitnah. Tak ada kebenaran sedikit pun di sana."
Bestari menarik napas panjang."Lalu bagaimana kalian terhubung kembali?"
"Setelah hilang sesak dadaku. Aku membuka blokiran itu. Kubiarkan sampai dia mendahului. Aku tidak berdendam, selalu ada kesadaran bila memaafkan itu penting untuk kebaikan diri sendiri."
Bestari termangu, mengunyah semua kalimat dari Nuri yang telah berlalu.