Mohon tunggu...
Rimayanti Z
Rimayanti Z Mohon Tunggu... widyaiswara - Praktisi Pendidikan

Pengajar walau bukan guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lelaki di Ujung Senja

9 Mei 2020   23:48 Diperbarui: 9 Mei 2020   23:47 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berhadapan lagi dengan lelaki ini. Sosok jangkung berambut ikal dengan potongan nyaris cepak. Dua kaca bulat berbingkai setia menempel di kedua matanya. Jujur, benda ini justeru membuat tampilannya berkharisma. Namun tidak mampu menutupi sinar jenaka yang terpancar dari bola mata itu. Bibirnya yang semburat merah muda senantiasa berhias senyum tipis nan lembut. Aku kadang membayangkan bibir itu lebih cocok menempel pada wajah seorang gadis.

Meski demikian, dibalik kelembutannya, sosok ini menyimpan ketegasan yang luar biasa. Selalu fokus pada tujuan dan apa yang tengah dikerjakan. Yang pasti lelaki ini sangat cerdas. Multi talenta. Selalu berjibaku dan berani kotor ketika mewujudkan desainnya menjadi sebuah produk di bengkel pribadinya. Tentunya semua itu dikerjakan diluar jam kantor. Seperti sebuah iklan dia selalu mengatakan bahwa: "berani kotor itu baik."

Lelaki yang mati-matian aku hindari. Laki-laki yang berusaha keras aku hapus namanya dari fikiranku. Dan sekarang kami berhadapan lagi.

"Kapan terakhir kali kita bertemu?"  Tanyamu sambil menyendok es durian dalam mangkok.

"kapan ya?" jawabku balik bertanya.

"Waktu rapat tahunan perusahaan di pusat dua tahun yang lalu, kan?" Kejarmu lagi.

"Aku tidak ingat" Jawabku singkat.

"Memang tidak ada yang kau ingat tentangku". Engkau tersenyum kecut.

"Jangan begitu," jawabku. "Tapi yang jelas aku memang berusaha keras untuk melupakan semua tentangmu".

"Mengapa?" Tanyamu lagi.

"Engkau sudah tahu jawabannya," jawabku. 

Pelayan kafe meletakkan jus mangga di hadapanku. Gelas jus  ke-dua yang sudah kupesan siang ini. Aku mencolek whipe cream yang menjadi topingnya  dengan sedotan. Memasukkannya ke mulut. Menjilat cream yang tersisa di ujung sedotan.  Kuhisap pelan cairan kental jus melalui sedotan berwarna perak yang terbuat dari logam itu. Sepertiga gelas berpindah keperutku.

"Tidak pernah berubah," katamu,  lalu mengambil gelas di tanganku dan gantian menyeruputnya.

"selalu menghabiskan sepertiga gelas sekali minum. Selalu menggunakan sedotan untuk mengambil creamnya. Padahal jelas-jelas ada sendok disana." 

Kau tersenyum lembut padaku. Mengembalikan gelas jus yang tinggal setengah sambil membetulkan Kaca matamu yang melorot.

"Kau juga tidak pernah berubah," jawabku.

"Selalu mengambil jatah jusku tanpa permisi," ujarku cepat. "Memesan es durian, tapi masih menyambar jus manggaku".

Kau tertawa tanpa suara. Bola mata dengan binaran lembut itu menatap lekat kedua mataku. Menimbulkan debaran halus yang berirama di dadaku. Entah apa genrenya aku tak pernah tahu. Dua detik tiga detik aku masih berusaha bertahan. Detik berikutnya aku kalah. Berusaha mengalihkan pandangan pada gelas jus ditanganku. Mengaduk aduk jus yang tersisa dengan sedotan.

"Jangan tatap aku seperti itu," kataku masih dengan menunduk.

"Mengapa tidak boleh? " Tanyamu lagi. Hanya itu yang bisa kulakukan, menatapmu dari jauh."

"Jangan! Pokoknya jangan!" Ulang ku sambil menggelengkan kepala berkali-kali.

"Tolong beri penjelasan padaku, kenapa?" Kau bertanya sambil menggengam kedua tanganku. Dengan tangan kokohmu. Aku berusaha menariknya. Namun tidak berhasil. Mungkin genggamanmu terlalu kuat untuk kulawan. Atau aku yang setengah hati menariknya. Menikmati kenyamanan dalam genggamanmu.

"Kenapa tidak pernah ada penjelasan, Aira? Sama seperti 9 tahun yang lalu. Ketika dirimu menghindar dan menghilang dariku. Setelah itu setiap bertemu aku hanya disuguhi senyum dari jauh. Aku salah apa?"  Mukamu terlihat memancarkan rona campur aduk. Antara bingung, kesal, dan juga sedih. Mata polos dengan senyum jenaka itu seakan raib entah kemana. Berganti mendung. Bibirmu yang biasanya kau mainkan mirip boneka kermit ketika menggodaku, sekarang mengatup membentuk garis lurus.  

Kutarik tanganku dari genggamanmu. Kali ini sepertinya kau lepaskan. Kuhela nafas sepenuh diafgramaku dan menghembuskannya dengan kuat.

"Kau mau tahu kenapa? Tapi yang jelas dirimu tak bersalah apa-apa. Aku yang salah, aku."

"Ya. Tapi kenapa? Salahmu, apa?" Mata dibalik kaca mata itu membulat tapi masih memancarkan sinar lembut. Ini yang tidak pernah mampu kulawan. Ini juga yang membuatku berkeras menghindarinya. Karena aku tahu pasti akan kalah dan luluh.

"Apakah kau benar-benar tidak paham? Atau pura-pura tidak paham?" Aku bertanya dengan kening berkerut dan alis nyaris bertaut.

"Aira, jika kau tidak memberi tahu mana mungkin aku bisa tahu. Aku juga tidak berani menebak-nebak. Takut salah. Aku hanya berharap bisa dekat. Setidaknya bisa berkomunikasi. Jika dirimu tidak suka padaku, aku juga maklum. Aku cukup tahu diri. Tapi tolong beritahu kenapa. Agar aku bisa memperbaiki diri."

"Dirimu seperti  membuat benteng dari semua orang. Seperti durian yang ada pada es ini. Semua orang tahu isinya manis dan legit. Tapi banyak yang tidak berani menyentuh karena takut terluka terkena durinya." Engkau menutup kalimat dengan tarikan nafas yang panjang.

Aku meringis mendengar pengandaianmu. Begitukah orang orang memandangku selama ini? Tapi boleh jadi mereka benar.

"Kau tahu mengapa durian berduri tajam?" Kau hanya menggeleng mendengar pertanyaanku. Karena di dalam isinya sangat lembek. Untuk mengambilnya dari cangkang yang terbuka saja diperlukan kehati-hatian agar tidak hancur. Itulah gunanya kulit luar yang keras dan tajam itu.Tapi sekeras apapun, tetap ada yang bisa membukanya. Pernahkah dirimu memperhatikan penjual ketika membuka durian? Apakah mereka perlu tenaga ekstra untuk membuka? Tidak kan? Kau tahu kenapa? Karena mereka tahu caranya. Ada guratan khusus pada durian, sebagai penanda tempat membukanya dengan mudah".

"Inilah yang kutakutkan padamu. Karena aku tahu tanpa kau sadari kau paham dimana guratan itu."

"Karena itulah aku menghindar. Aku takut terjatuh. Takut tidak bisa menjaga hatiku. Takut perasaanku padamu berkembang lebih jauh. Membentengi diri dengan mengunci hati rapat-rapat dari pesonamu adalah caraku untuk bertahan. Dan menghindar darimu cara paling efektif yang kutemukan. Aku berusaha tidak berinteraksi denganmu. Walaupun diam-diam tetap mencari semua informasi tentangmu. Aku tahu ketika dirimu promosi menjadi kepala cabang. Aku juga tahu kapan anak perempuanmu lahir. Aku hafal jadwalmu pulang pergi saat short course ke Jerman tahun lalu. Kau tahu betapa tersiksanya diriku setiap kali melihatmu tanpa mampu mendekat?"

 Akhirnya pertahananku roboh. Hal yang bertahun tahun aku tutup rapat serta merta berhamburan keluar dari mulutku. Kuangkat kepalaku dari gelas jus yang sudah mencair karena terus menerus kuaduk. Tidak kulihat aura terkejut sedikitpun  diwajahmu. Padahal aku sangka kau kaget mendengarnya.

"Mengapa tidak terus terang, Aira?" Tanyamu. "Sembilan tahun waktu yang sangat lama untuk menyimpan sendiri. Andai kau tahu betapa sulitnya aku untuk sekedar bisa berkomunikasi denganmu? Betapa kagumnya aku akan kemandirianmu. Sosok perempuan pintar, cantik, dan dingin luar biasa. Yang dengan analisa-analisa tajam mampu memukau pimpinan dengan strategi-strategi jitu. Seolah tidak peduli dengan laki-laki manapun. Bentengmu terlalu tinggi dan tebal."

Aku tertawa lebar mendengar perkataanmu.

"Cantik? Kayaknya matamu perlu diperiksa ulang. Siapa tahu minusnya bertambah".

"Jangan begitu. Mentang-mentang pakai kacamata bukan berarti aku tidak bisa membedakan yang cantik dan tidak." Katamu tersenyum.

"Semua orang juga pasti akan mengatakan kamu cantik. Tapi bukan itu yang membuat aku ingin dekat denganmu. Aku ingin bisa leluasa berdiskusi dan berkomunikasi denganmu. Sayangnya engkau tidak mau membuka diri. Betapa hebatnya dirimu menutup rapat hatimu".

"sebetulnya aku cukup merasa. Semenjak kontak mata denganmu waktu itu aku merasakan hal yang sama. Aku sudah berusaha mencari celah untuk dekat. Namun tidak pernah berhasil. Terima kasih, Aira. Akhirnya semua menjadi jelas. Jangan menghindar lagi, ya. Aku mohon jangan lagi menghindar dariku". Kulihat sinar kelegaan diwajahmu. Namun aku justeru amat galau mendengar perkataanmu.

"Sekarang setelah aku membuka diri dan dirimu tahu apa yang aku rasakan terhadapmu apa yang akan kau lakukan? Apa yang akan terjadi diantara kita? Bukankah tidak ada bedanya? Bukankah akan makin menyiksa? Jika aku merindukanmu apakah aku bisa serta merta menghubungimu? Tidak, kan? Jika aku ingin bertemu denganmu apakah engkau bisa terbang mendatangiku? Juga tidak! Jika aku sekedar ingin merasakan pelukanmu, apakah kau bisa melakukannya, dan aku bersedia kau peluk? Juga tidak! Lalu bedanya dimana? Kita akan makin tersiksa. Bukankah saling tidak membuka diri dan tidak ada komunikasi seperti biasanya itu jauh lebih baik bagi kita?"

Aku sudah tidak tahu lagi warna mukaku sekarang. Apa yang bertahun-tahun aku coba sembunyikan, keluar tak bersisa.

Seharusnya aku tidak membiarkan lelaki ini duduk pada kursi kosong disebelahku  saat pembukaan simposium 3 hari yang lalu. Sehingga tidak akan pernah ada lagi komunikasi antara kami. Aku tidak perlu seperti orang kesurupan memeriksa pesan di telpon genggamku selama tiga hari ini. Berharap ada pertanyaan sudah sarapan atau belum darinya. Menunggu suruhan segera minum saat siang. Tidak perlu membangkitkan kembali rasa bersalahku dengan perasaan ini. Jika saja aku tidak membuka komunikasi ini kembali, tentu aku tidak akan berada disini sekarang. Duduk tepat dihadapannya.

"Semakin aku nyaman denganmu semakin aku merasa tersiksa. akhirnya aku kembali bicara. Memecah keheningan yang sesaat tercipta diantara kami.

"Sekarang jika aku bertanya padamu, apa namanya komunikasi yang kita jalani saat ini, apakah kau bisa menjawab?" Coba berikan satu kalimat padaku tentang bentuk komunikasi kita saat ini".

Kau menggeleng. "Aku tak tahu," jawabmu pasrah. "Tidak akan pernah bisa dibuatkan kalimatnya. Karena semua ini tidak ada defenisinya".

"Lalu apa?" Tanyaku.

"Kita nikmati saja. Tidak perlu ada definisi, yang penting kita nyaman."

"Tanpa defenisi?"

"Tanpa defenisi. Tanpa tuntutan. Biarkan mengalir saja.

"Tanpa status?"

"Juga tanpa status."

"Betapa banyak yang punya status, tapi malah tidak memahami makna statusnya," jawabmu berfilsafat mengalahkan Rocky Gerung ketika tampil di televisi.

"Tapi itu masih lebih baik." Jawabku tersenyum kecut. "Setidaknya mereka aman. Tidak sembunyi-sembunyi seperti kita. Tidak menyimpan rasa bersalah dalam hatinya."

"Tidak bisakah kita menjalani saja seperti sekarang? Aku bisa menyayangimu apa adanya. Bisa memperhatikanmu, walau dari jauh. Tanpa tuntutan. Tidak pakai posesif.  Justeru terasa lebih murni."

"Halu!" Jawabku setengah mencibir.

"Tidak, Aira. Ini bukan halu. Ini nyata," kau berusaha meyakinkanku.

"Tapi bagiku tetap halusinasi. Antara ada dan tiada." Aku kehabisan kata. Kedua tanganku menopang dagu dengan sempurna. Berkali-kali kutarik nafas untuk menghilangkan sesak yang datang tiba-tiba. Rasanya ada segenggam pasir menyumbat saluran nafasku.

"Kita jalan begini saja ya. Menikmati setiap kesempatan yang tersisa untuk kita. Tanpa merusak apa yang ada. Tidak menyakiti siapapun. Aku akan jaga kamu.  Berusaha membuatmu selalu tersenyum. Tidak akan pernah menyakitimu. Aku janji." Katamu lagi.

 Aku tersenyum tanpa makna. Kugelengkan kepalaku perlahan.  

"Aku tidak menuntut apapun.Kamu bisa tahu apa yang aku rasakan saja sudah lebih dari cukup bagiku."

"Lalu apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" tanyamu sambil ikut-ikutan bertopang dagu.

"Tidak ada," jawabku. "jalani saja hidup kita seperti biasanya".

Telepon genggamku yang tergeletak di meja berdenyut. Kulihat pesan di halaman depannya. Satu pesan dari aplikasi whats app untukku.

'Kami sudah di parkiran', bunyi pesan yang tertera.

Segera kuraih tasku yang tergeletak dikursi samping. Kucangklongkan talinya ke bahu. Untung tas ini tidak punya mulut. Sehingga tidak akan pernah menuturkan kembali semua percakapan kami tadi.

"Aku pulang dulu." Kataku sambil berdiri.

"Tolong simpan semua cerita tadi hanya untuk kita berdua."

"Ya,"  jawabmu. "Izinkan aku tetap berkomunikasi denganmu."

Aku tidak menjawab perkataan itu.

"Aku akan tetap menyayangimu, Aira. Kau izinkan atau tidak"  kata terakhir yang diucapkannya itu terus memenuhi kepalaku.

Aku melangkah menuju parkiran di halaman kafe tanpa menoleh lagi. Diluar langit memerah melahirkan semburat tembaga. Embun yang sedari tadi menggantung di kedua mataku jatuh menjadi dua aliran sungai kecil di pipi. Dikejauhan kulihat Sabila melambai.

"Bunda!" teriaknya dari dalam gendongan Mas Heru.

Bergegas kuhapus buliran bening yang tersisa.

(Bengkulu, Mei 2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun