Mohon tunggu...
Rimayanti Z
Rimayanti Z Mohon Tunggu... widyaiswara - Praktisi Pendidikan

Pengajar walau bukan guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lelaki di Ujung Senja

9 Mei 2020   23:48 Diperbarui: 9 Mei 2020   23:47 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kenapa tidak pernah ada penjelasan, Aira? Sama seperti 9 tahun yang lalu. Ketika dirimu menghindar dan menghilang dariku. Setelah itu setiap bertemu aku hanya disuguhi senyum dari jauh. Aku salah apa?"  Mukamu terlihat memancarkan rona campur aduk. Antara bingung, kesal, dan juga sedih. Mata polos dengan senyum jenaka itu seakan raib entah kemana. Berganti mendung. Bibirmu yang biasanya kau mainkan mirip boneka kermit ketika menggodaku, sekarang mengatup membentuk garis lurus.  

Kutarik tanganku dari genggamanmu. Kali ini sepertinya kau lepaskan. Kuhela nafas sepenuh diafgramaku dan menghembuskannya dengan kuat.

"Kau mau tahu kenapa? Tapi yang jelas dirimu tak bersalah apa-apa. Aku yang salah, aku."

"Ya. Tapi kenapa? Salahmu, apa?" Mata dibalik kaca mata itu membulat tapi masih memancarkan sinar lembut. Ini yang tidak pernah mampu kulawan. Ini juga yang membuatku berkeras menghindarinya. Karena aku tahu pasti akan kalah dan luluh.

"Apakah kau benar-benar tidak paham? Atau pura-pura tidak paham?" Aku bertanya dengan kening berkerut dan alis nyaris bertaut.

"Aira, jika kau tidak memberi tahu mana mungkin aku bisa tahu. Aku juga tidak berani menebak-nebak. Takut salah. Aku hanya berharap bisa dekat. Setidaknya bisa berkomunikasi. Jika dirimu tidak suka padaku, aku juga maklum. Aku cukup tahu diri. Tapi tolong beritahu kenapa. Agar aku bisa memperbaiki diri."

"Dirimu seperti  membuat benteng dari semua orang. Seperti durian yang ada pada es ini. Semua orang tahu isinya manis dan legit. Tapi banyak yang tidak berani menyentuh karena takut terluka terkena durinya." Engkau menutup kalimat dengan tarikan nafas yang panjang.

Aku meringis mendengar pengandaianmu. Begitukah orang orang memandangku selama ini? Tapi boleh jadi mereka benar.

"Kau tahu mengapa durian berduri tajam?" Kau hanya menggeleng mendengar pertanyaanku. Karena di dalam isinya sangat lembek. Untuk mengambilnya dari cangkang yang terbuka saja diperlukan kehati-hatian agar tidak hancur. Itulah gunanya kulit luar yang keras dan tajam itu.Tapi sekeras apapun, tetap ada yang bisa membukanya. Pernahkah dirimu memperhatikan penjual ketika membuka durian? Apakah mereka perlu tenaga ekstra untuk membuka? Tidak kan? Kau tahu kenapa? Karena mereka tahu caranya. Ada guratan khusus pada durian, sebagai penanda tempat membukanya dengan mudah".

"Inilah yang kutakutkan padamu. Karena aku tahu tanpa kau sadari kau paham dimana guratan itu."

"Karena itulah aku menghindar. Aku takut terjatuh. Takut tidak bisa menjaga hatiku. Takut perasaanku padamu berkembang lebih jauh. Membentengi diri dengan mengunci hati rapat-rapat dari pesonamu adalah caraku untuk bertahan. Dan menghindar darimu cara paling efektif yang kutemukan. Aku berusaha tidak berinteraksi denganmu. Walaupun diam-diam tetap mencari semua informasi tentangmu. Aku tahu ketika dirimu promosi menjadi kepala cabang. Aku juga tahu kapan anak perempuanmu lahir. Aku hafal jadwalmu pulang pergi saat short course ke Jerman tahun lalu. Kau tahu betapa tersiksanya diriku setiap kali melihatmu tanpa mampu mendekat?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun