Learning to Live Together (Belajar untuk Hidup Bersama)
Pilar Belajar Hidup Bersama berfokus pada pengembangan kapasitas individu untuk hidup bersama secara damai dan harmonis dalam masyarakat  multikultural. Pilar ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi, empati dan kerjasama yang menjadi landasan penting  keharmonisan sosial dalam keberagaman. Konsep ini  khususnya berlaku di Indonesia yang memiliki keberagaman suku, agama, dan budaya yang luar biasa.
Menurut Suparlan (2004) dalam bukunya Pendidikan Multikultural: Â Konsep dan Penerapan pendidikan multikultural merupakan pendekatan utama dalam mempraktikkan "belajar hidup bersama". Pelatihan ini akan membantu siswa memahami pentingnya keberagaman, menghargai perbedaan, dan menghindari bias. Contoh penerapannya antara lain diskusi antar budaya dan kegiatan seni tradisional, yang tidak hanya menampilkan keragaman budaya tetapi juga menumbuhkan rasa saling menghormati.
Hidayat (2018) dalam bukunya Membangun Kebangsaan Melalui Pendidikan menjelaskan bahwa empati dan toleransi dapat diajarkan melalui program pertukaran pelajar. Interaksi langsung dengan orang-orang dari latar belakang berbeda memungkinkan siswa  memperluas wawasan dan mendobrak stereotip yang ada. Menurut Hidayat, program tersebut efektif meningkatkan kesadaran akan pentingnya hidup berdampingan secara damai dan saling pengertian.
Kurniawati (2017) dalam bukunya "Pendidikan Karakter Berbasis Karakter Bangsa" menekankan pentingnya gerakan toleransi di sekolah. Kegiatan seperti seminar, permainan edukasi, dan pemutaran film tentang toleransi merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Bapak Kurniawati menekankan bahwa pendidikan karakter berbasis toleransi adalah kunci untuk mencegah konflik sosial dan mengurangi sikap intoleransi secara umum.
Tilaar (2002) dalam bukunya Pendidikan untuk Keserasian Sosial menyatakan bahwa melibatkan siswa dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat merupakan cara yang efektif untuk melaksanakan pilar tersebut. Pengalaman langsung  membantu kelompok minoritas dan masyarakat kurang mampu dapat mengembangkan sikap peduli dan rasa tanggung jawab sosial.
Namun, praktik "belajar hidup bersama" bukannya tanpa tantangan. Pratama (2019) mengemukakan dalam jurnal "Pendidikan dan Kebudayaan" bahwa konflik sosial akibat kesalahpahaman budaya seringkali menjadi kendala utama. Ia merekomendasikan pelatihan khusus bagi para guru agar dapat secara efektif memahami dan mengajarkan nilai-nilai multikulturalisme. Sementara itu, Setiawan (2020) mengemukakan dalam  Jurnal Pendidikan Indonesia  bahwa media sosial seringkali meningkatkan polarisasi sosial. Untuk mengatasi masalah ini, Setiawan menyarankan untuk memasukkan literasi digital ke dalam pendidikan toleransi untuk membantu siswa mengkategorikan informasi dengan cara yang bermakna.
Kesimpulannya, "belajar hidup bersama" merupakan pilar penting dalam membangun masyarakat yang damai, harmonis, dan saling menghormati. Melalui pendidikan multikultural, program pertukaran pelajar, kampanye toleransi, dan partisipasi siswa dalam kegiatan sosial, generasi muda dapat memahami keberagaman dan mengembangkan empati. Meskipun masih terdapat berbagai tantangan seperti konflik sosial dan intoleransi, inisiatif strategis seperti pelatihan guru, literasi digital, dan pendekatan empiris dapat memberikan solusi untuk memperkuat implementasi pilar gender. Pilar ini tidak hanya menghasilkan individu-individu yang bertalenta secara intelektual, namun juga manusia-manusia yang dapat hidup bersama dalam keberagaman dengan penuh rasa hormat dan kerjasama.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pendidikan memainkan peran penting dalam pengembangan individu dan masyarakat. Ini berfungsi sebagai dasar untuk pengembangan kepribadian yang bertanggung jawab dan mendukung pembangunan ekonomi dan sosial. Dalam konteks global yang semakin kompleks, tantangan seperti digitalisasi, keberagaman budaya, dan perubahan sosial ekonomi mengharuskan sistem pendidikan untuk beradaptasi dan mengintegrasikan nilai-nilai seperti inklusivitas, toleransi, dan empati. Konsep empat pilar pendidikan yang dikembangkan UNESCO (belajar untuk mengetahui, belajar untuk melakukan, belajar untuk menjadi, dan belajar untuk hidup bersama) merupakan pendekatan holistik yang dapat membantu mengatasi tantangan tersebut. Di Indonesia, penerapan pilar-pilar ini masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain: B. Kesenjangan antara kebutuhan dunia industri dan dunia pendidikan, Â kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai multikultural, pemahaman yang lebih baik dan penerapan yang lebih menyeluruh akan meningkatkan kualitas pendidikan dan membentuk siswa yang berkarakter, berkemampuan dan cerdas. Memberikan kontribusi positif bagi masyarakat yang dapat membentuk individu.
Untuk mencapai tujuan ini, penting bagi Indonesia untuk mengintegrasikan empat pilar pendidikan ke dalam kurikulum nasional sambil beradaptasi secara tepat dengan kebutuhan lokal dan tantangan global. Hal ini dapat dicapai dengan mengembangkan kurikulum yang seimbang antara aspek kognitif, emosional dan psikomotorik. Selain itu, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan yang berfokus pada penerapan pilar-pilar fundamental pendidikan, seperti pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran, dapat memastikan guru menyampaikan nilai-nilai yang relevan dengan konteks saat ini. Kolaborasi dengan  industri juga penting untuk menciptakan program pelatihan kejuruan yang memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja dan memungkinkan siswa memperoleh keterampilan praktis yang relevan.