Hal ini senada dengan yang dinyatakan oleh Sapiro dalam Ardaneshwari (2014: 25): "Kecenderungan klasik untuk mempertentangkan posisi perempuan dan dunia kerja didasari kekhawatiran tidak beralasan bahwa dengan bekerja di luar rumah, keluarga dan juga ke perempuan - perempuan itu sendiri, akan terganggu".
Pada akhirnya perempuan yang berkarier sehari-hari harus melakukan pekerjaan 2 (dua) shift, saat di kantor dan saat di rumah dan ini menjadi hal yang tragis karena bagaimanapun sebagai manusia perempuan butuh rehat setelah kegiatan aktualisasi diri.
Pertentangan lain terkait double burden adalah yang menjadi bahan perbincangan di kota metropolitan soal pertentangan antara wanita karier dan ibu rumah tangga. Dimana seolah-olah wanita karier tidak akan sanggup mengurus rumah tangga, dan ibu rumah tangga tidak memiliki posisi tawar yang baik karena tidak memiliki kekuatan ekonomi. Wanita karier tidak akan fokus mengejar cita-cita karena terkungkung beban pengurusan rumah tangga, dan ibu rumah tangga telah berakhir cita-citanya karena harus seumur hidup mengabdikan diri kepada keluarganya.
Namun pertentangan tersebut tidak dialami oleh para perempuan pesisir. Di saat kota metropolitan mempertentangkan kodrat dan kultur double burden perempuan yang menjadi ibu rumah tangga dengan yang menjadi wanita karier, namun kondisi kultur, geografis, dan demografis propinsi maritim memposisikan perempuan harus mampu mengambil 3 (tiga) peran melebih 2 (dua) peran perempuan metropolitan pada umumnya.
Perempuan pesisir memiliki tanggung jawab yang bereda dari perempuan Indonesia pada umumnya. Ada 3 (tiga) peran yang harus dilakoni perempuan pesisir setiap hari, yaitu peran domestik, peran ekonomi, dan peran dalam komunitas.
II. Perempuan Pesisir Dan Peranannya Dalam Ekonomi Maritim
Ada konsep triple roles yang ditemukan oleh Caroline Moser (1993) pada kehidupan perempuan pesisir, yaitu peran pekerjaan domestik, pekerjaan produksi, dan pengelolaan komunitas yang ketiganya dilakukan secara bersamaan setiap hari.
Sistem pembagian peranan dalam pekerjaan ini berdasarkan pada gender yang berlaku di kalangan masyarakat pesisir. Laut menjadi ranah kerja nelayan, yaitu laki-laki. Laki-laki Sebagian besar menghabiskan waktunya melaut menangkap ikan.
Sedangkan perempuan pesisir memiliki ranah kerja di darat, karena hasil tangkapan tersebut nanti yang akan dikelola oleh perempuan menjadi pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangganya sendiri maupun dijual sebagai penopang ekonomi utama keluarga.
Dengan kata lain, perempuan pesisir memiliki waktu lebih fleksibel dibandingkan laki-laki untuk mengurus kegiatan sosial ekonomi di pesisir. Kondisi demografis ini akhirnya menjadikan peranan sosial-ekonomi yang khas antara para nelayan dan perempuan pesisir.
1. Peran Domestik
Angger Wiji Rahayu dalam "Perempuan dan Belenggu Peran Kultural" (www.jurnaolperempuan.org , 2015) menyatakan bahwa perempuan sudah lama dilekatkan pada aktivitas domestic. Konotasi perempuan sebagai manusia pekerja domestik berarti mengurus rumah tangga dan mengurus anak, atau lekat dengan konotasi "sumur, dapur, dan Kasur".