by dr.Riki Tsan,SpM,MH ( alumni STHM MHKes-V)
Setelah menyampaikan presentasi pada sesi paper presentation di dalam Kongres Nasional ke-VI Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) di Palembang, 5-7 Desember 2024 , saya dihadiahi sebuah buku dari panitia yang berjudul 'Linguistik Forensik : Solusi Mengatasi Defamasi dan Penghinaan di Rumah Tangga', penerbit Deepublish,Juli 2024.
Buku ini ditulis oleh Dr. dr. Hj. Trini Handayani,S.H.,M.H, MPd, rekan sejawat saya di Biro Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Jawa Barat.
Penulisan buku ,yang memuat hasil penelitian ini,  dipicu oleh  keprihatinan dr.Trini akan maraknya  fenomena perceraian suami dan istri yang terjadi di masyarakat kita.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan angka perceraian di Indonesia selama kurun waktu 2017 sampai 2021menjadi angka yang tertinggi di kawasan negara Asia dan Afrika.
Sementara, Provinsi Jawa Barat menduduki peringkat pertama yang menyumbang lebih dari seperlima jumlah kasus perceraian di seluruh provinsi di Indonesia. Disebutkan juga, bahwa sebagian besar (60,6 %) penyebab dari perceraian ini adalah perselisihan dan pertengkaran antara suami dan istri
Namun demikian, tidak semua perselisihan dan pertengkaran antara suami dan istri pasti akan berakhir  dengan perceraian.
Ada bahasa bahasa atau tuturan tuturan yang dilontarkan oleh kedua belah pihak yang  dapat dinilai sebagai ungkapan defamasi ( ujaran kebencian) dan penghinaan yang menyebabkan hilangnya harapan untuk hidup rukun kembali di dalam rumah tangga yang kemudian berujung kepada perceraian.
Perceraian itu sendiri adalah suatu peristiwa hukum yang diputuskan oleh hakim di dalam sidang pengadilan.
Pertanyaan kita ialah apa saja kata kata yang dituturkan oleh suami maupun istri yang bernuansa kebencian dan penghinaan tersebut sehingga dapat menimbulkan perselisihan dan mengakibatkan  perceraian  ?.
Linguistik Forensik & Neurosains
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita bercerita dulu soal linguistik forensik yang menjadi bagian dari judul buku itu.
Secara singkat, ilmu linguistik forensik adalah bagian dari ilmu linguistik (bahasa) yang mempelajari keterkaitan antara bahasa dengan hukum dalam berbagai aspek.
Contoh sederhananya begini.
Lewat pembicaraan telfon misalnya, anda mengatakan kepada seseorang,'Kalau kamu tidak membayar hutangmu, hidupmu akan kuakhiri !'. Dari bahasa yang anda tuturkan ini, anda dapat dikenai hukuman pidana dengan ancaman pembunuhan.
Ingatkah anda dengan  kasus 'apel malang dan apel washington' yang terjadi beberapa tahun yang lalu ?.
Apel malang dan apel washington adalah  istilah istilah  yang digunakan di dalam komunikasi antara pejabat dengan pengusaha pada waktu itu.
Linguistik forensik menemukan bahwa ternyata kedua istilah ini digunakan dalam konteks penyuapan pengusaha kepada pejabat untuk 'memuluskan' pengerjaan suatu proyek.
Apel malang adalah istilah buat uang rupiah, sedangkan apel washington buat uang dollar. Perilaku menyuap atau menyogok ini tentu saja memiliki implikasi hukum yang dapat dikenai pidana korupsi.
Kembali ke soal perceraian.
Berdasarkan penelusuran dr.Trini, setelah mewawancarai pasangan pasangan yang pernah bercerai  dan beberapa nara sumber terkait , serta dengan menggunakan analisis linguistik forensik, beliau memaparkan 12 ungkapan kata yang dapat memicu perselisihan dan pertengkaran dan membuat pasangan suami atau istri mengajukan gugatan cerai.
Sebagai contoh, kata kata yang diucapkan suami kepada istrinya, 'Anjing siah, anak menangis koq dibiarkan !'. Kata kata ini adalah sebuah bentuk penghinaan, yang pelakunya dapat dijerat dengan hukuman pidana berdasarkan pasal 315 dan 436.
'Dasar mandul, sudah 3 tahun menikah kamu tidak kunjung hamil !'. Ini juga penghinaan. Si suami dapat dikenai sanksi pidana dengan pasal pasal yang sama.
Atau, beberapa tutur kata sang istri kepada suaminya :
'Aku tidak percaya kalau perempuan yang bersama kamu kemarin adalah saudara jauhmu'. 'Aku sudah tidak percaya lagi padamu karena sudah beberapa kali perkataanmu tidak terbukti. 'Kamu itu sudah menikah tetapi masih masih suka bermain sampai larut malam seperti belum menikah saja'.
Dari 12 tutur kata  itu, jumlah kata kata yang dituturkan oleh istri lebih banyak  dibandingkan dengan jumlah tutur kata yang diucapkan oleh suami dengan rincian, 7 tutur kata oleh istri,  4 oleh suami dan 1 oleh mertua.
Sebuah pertanyaan menggelitik kita.
Kenapa istri (wanita) itu lebih banyak bertutur kata ketimbang suami (lelaki) ?. Kita tidak tahu jawaban yang pasti.
Namun, saya menduga kuat, hal ini terkait dengan adanya perbedaan struktur otak antara laki laki dan wanita yang  diterangkan di dalam ilmu neurosains sebagaimana diuraikan oleh dr.Trini di bagian akhir buku tersebut.
Pada halaman 85-86, dr.Trini menulis bahwa struktur otak laki laki dan perempuan memiliki perbedaan terutama pada ( bagian yang disebut dengan) Corpus callosum,.......Dalam penelitiannya, Sandra F. Witelson seorang profesor ilmu syaraf di Mc Master University menemukan bahwa Corpus callosum sekitar 30 % lebih tebal pada perempuan dibandingkan laki laki.
Tebalnya tersebut dominan berada di area keterampilan linguistik.....Dalam berbahasa, Corpus callosum yang lebih tebal menjadikan perempuan ketika berbicara bisa lebih lancar dan tidak terbatas dalam makna serta tidak fokus atau terpaku pada satu topik pembicaraan.
Mungkin karena inilah, emak emak sering diberi label 'cerewet' , soalnya mereka  memiliki kemampuan untuk berbicara lancar tanpa batas serta dapat berbicara dengan beragam isu pembicaraan sekaligus.
Kebahagiaan dan mengontrol bahasa
Pelajaran penting yang dapat kita petik dari uraian di atas ialah bahwa ternyata kata kata yang diucapkan baik oleh istri maupun suami dalam hubungan komunikasi  diantara keduanya, dapat memicu perselisihan dan pertengkaran sehingga berujung kepada gugatan perceraian di pengadilan.
Tentu saja, siapapun tidak menginginkan dan tidak berbahagia dengan adanya perceraian.
Terkait dengan korelasi antara bahasa dan kebahagiaan ini, Â saya teringat dengan ucapan Chalmers Brothers di dalam bukunya yang berjudul Language and The Pursuit of Happiness ( Bahasa dan Pencarian Kebahagiaan ).
Beliau mengatakan bahwa bahasa dapat membuat hati bahagia dan berduka. Jadi, jika kita ingin bahagia dalam hidup, ciptakanlah bahasa bahasa atau cerita cerita baik dan selalu membangun prasangka positip.
KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat di dalam bukunya 'Doa dan Kebahagiaan, Etika Memohon Kepada Allah dan Menyikapi Kesulitan Hidup', menitipkan pesan buat kita semua :
'Kebahagiaan dan ketakbahagiaan kita bisa muncul dari bahasa atau cerita cerita yang kita bangun sendiri.
Pertengkaran pertengkaran suami - istri misalnya, bermula dari bahasa dan cerita cerita yang mereka bangun masing masing.
Lalu, pertengkaran itu mereda atau justru memburuk tergantung bagaimana bahasa bahasa yang terbangun di tengah pertengkaran tersebut'
'Maka, lanjut beliau,'salah satu kiat mengendalikan amarah adalah mengontrol bahasa yang dipergunakan di tengah kemarahan' , dan - menurut saya - juga di tengah kebencian, khususnya dalam hubungan suami dan istri.
Salam sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H