Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata

Eye is not everything. But, everything is nothing without eye

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Telaah Dikotomi Penelitian Sosiolegal dan Penelitian Hukum

15 Juli 2024   13:23 Diperbarui: 15 Juli 2024   13:34 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

by dr.Riki Tsan,SpM (STHM-MHKes V)

Sewaktu menyusun proposal tesis  untuk memenuhi tugas penelitian dalam bidang Hukum Kesehatan/Kedokteran di Program Studi Magister Hukum Kesehatan, salah satu literatur yang saya gunakan ialah sebuah buku yang ditulis oleh, Prof.Dr.Teguh Prasetyo,SH,MSi, yang berjudul Penelitian Hukum, Suatu Perspektif Teori Keadilan Bermartabat yang terbit pada Agustus 2019.

Di dalam bukunya itu, Prof.Teguh menyatakan bahwa setiap ilmu memiliki metodenya sendiri dalam pencarian kebenaran.
Misalnya, ilmu hukum, yang tidak termasuk ke dalam kelompok ilmu alam dan ilmu sosial, memiliki metode penelitiannya sendiri. Metode penelitian hukum itu bersifat Sui Generis. Artinya,ilmu hukum itu memiliki metode penelitian yang berbeda dengan metode penelitian lainnya, unik dan khas dalam bidang ilmu hukum.

Tatkala membaca statement Prof.Teguh bahwa ilmu hukum itu bukanlah termasuk ke dalam ilmu sosial dan bahwa metode penelitian hukum itu berbeda dengan metode penelitian di bidang ilmu lainnya, mengingatkan saya dengan postingan bapak Brigjen (purn) Dr.Tiarsen Buaton,SH,MH, dalam suatu perbincangan di seputar metode penelitian hukum. 

Beliau mengatakan bahwa kebanyakan dosen pengampu mata kuliah hukum  yang menguji di dalam suatu sidang laporan penelitian hukum kurang paham dengan metode penelitian. Mereka terkadang belum tentu memahami perbedaan antara penelitian sosial dengan penelitian hukum.

Pernyataan kedua pakar hukum ini membuat saya  terpantik untuk bertanya, apa sebetulnya perbedaan antara ilmu sosial dan ilmu hukum serta apa pula perbedaan metodologi penelitian diantara keduanya ?.
Dan, bagaimana pula dengan penelitian sosial yang berkaitan dengan atau menelaah tentang hukum , yang lazim disebut dengan penelitian sosiolegal, apakah termasuk kedalam penelitian hukum  ?.

Pak Tiarsen menyarankan saya untuk membaca dan menelaah buku yang ditulis oleh Prof.Dr.Peter. Mahmud Marzuki,SH,M,S.,LL.M, Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Bukunya itu berjudul Penelitian Hukum (edisi revisi), cetakan ke-15, yang terbit tahun 2021


EPISTEMOLOGIS

Menurut Prof. Peter akar perbedaan mendasar antara ilmu sosial dan ilmu hukum dapat dilacak dari sudut pandang filosofis, dalam hal ini dari perspektif epistemologi.

Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang jika dikaitkan dengan konsep ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan yang membawa kita kepada pemahaman terhadap kebenaran

Secara epistemologis, untuk memperoleh kebenaran yang merupakan fungsi dari penelitian, kita mengenal 4 teori kebenaran yakni teori korespondensi, teori koherensi, teori pragmatis dan teori semantik. Kita akan membicarakan 2 teori pertama saja.

Menurut teori korespondensi, suatu pernyataan adalah benar bila dan hanya bila apa yang dinyatakan itu sesuai dengan realitas. Thomas Aquinas menyatakan bahwa 'suatu putusan dikatakan benar apabila putusan itu sesuai dengan realitas yang bersifat lahiriah'.

Para pemikir modern yang menganut pandangan empirisme berpendapat bahwa kebenaran adalah sesuatu yang diperoleh berdasarkan pengalaman indrawi. Oleh karena itulah, teori kebenaran korespondensi ini cocok untuk ilmu ilmu empiris yang terwujud dalam ilmu ilmu alamiah dan ilmu ilmu sosial.

Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua yang ada di dunia ini merupakan fenomena fenomena yang berwujud fisik yang dapat ditangkap secara indrawi. Ada hal hal yang berada di dalam fikiran atau berupa nilai nilai.
Dalam hal semacam ini, kebenaran bukan merupakan sesuatu yang dapat dilihat, namun sesuatu yang dapat dinalar atau dapat diterima oleh pandangan masyarakat.

Jadi, suatu pernyataan atau keyakinan itu benar manakala sesuai dengan pernyataan atau keyakinan lainnya atau nilai nilai yang ada. Inilah yang disebut dengan teori kebenaran koherensi. Teori kebenaran koherensi  ini cocok dengan ilmu ilmu hukum.


DESKRIPTIF VS PRESKRIPTIF

Mengingat yang hendak dicapai adalah kebenaran korespondensi, maka yang menjadi objek penelitian di dalam ilmu ilmu alamiah maupun ilmu ilmu sosial adalah perilaku perilaku manusia dan masyarakat. Karena hanya menggambarkan perilaku perilaku, maka penelitian ilmu sosial dan ilmu alamiah bersifat deskriptif.

Apa yang ingin dicapai oleh ilmu ilmu deskriptif adalah keniscayaan yaitu sesuatu yang kasat mata.
Konsekuensinya, sistem nilai atau gagasan gagasan baru yang bersifat seyogianya, seharusnya atau semestinya atau diistilahkan dengan preskriptif tidak masuk ke dalam urusan ilmu sosial dan ilmu alamiah

Dalam konteks ini, ilmu hukum bukan termasuk ke dalam ilmu perilaku.
Itulah sebabnya, ilmu hukum tidak bersifat deskriptif, tetapi preskriptif. Objek ilmu hukum adalah koherensi antara norma hukum dan prinsip hukum, antara aturan hukum dan norma hukum, serta koherensi antara tingkah laku (act) -- bukan perilaku (behavior) -- dengan norma hukum.

Dasar pijakan dalam mempelajari ilmu hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan aturan hukum.
Hal ini jugalah yang membedakan antara ilmu ilmu hukum dengan disiplin disiplin  lain yang objek kajiannya juga hukum. Disiplin disiplin lain tersebut hanya memandang hukum dari luar. Studi studi sosial tentang hukum misalnya memandang hukum sebagai gejala sosial (Prof.Peter,hal.42)

Studi studi sosial tentang hukum hanya berkaitan dengan implementasi konsep hukum dan acapkali memberi perhatian terhadap kepatuhan individu terhadap aturan hukum (Prof.Peter,hal.44)

Oleh karena itulah, persis seperti dikatakan Prof.Teguh, ilmu hukum tidak dapat dimasukkan ke dalam ilmu sosial atau berbeda dengan ilmu sosial. Ilmu hukum tidak dapat dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam kategori ilmu sosial (hal.4)


KARAKTERISTIK PENELITIAN

Lalu, seperti apa perbedaan karakteristik penelitian sosial dan penelitian hukum ?.

Kebenaran sebagaimana dikemukakan oleh kaum empiris, dengan tokohnya John Stuart Mill adalah kebenaran korespondensi. Kebenaran ini, dengan demikian hanya berlaku bagi ilmu ilmu empiris, yaitu ilmu ilmu alamiah dan ilmu ilmu sosial.

Kebenaran ini tidak berlaku bagi segala sesuatu yang mengandung nilai. Ilmu ilmu empiris justru dibangun dan dikembangkan untuk menolak semua yang bersifat tidak kasat mata termasuk nilai nilai.

Oleh karena itulah, fungsi penelitian dalam kerangka mencari kebenaran korespondensi adalah melakukan verifikasi atas dugaan dugaan atau pra anggapan atau yang secara ilmiah disebut hipotesis melalui data empiris atau kasat mata. Hipotesis adalah suatu praduga yang bersifat tentatif yang dibuat untuk menarik kesimpulan dan menguji sesuatu yang bersifat empiris' (hal.37)

'Apabila setelah diverifikasi oleh data empiris ,hipotesis itu ternyata benar adanya, disitulah terdapat kebenaran dan apabila tidak dapat diverifikasi, tidak didapatkan kebenaran' (hal.29)

Adapun fungsi penelitian hukum dalam rangka mencari kebenaran koherensi bukanlah untuk memperoleh fakta empiris, melainkan kesesuaian antara sesuatu yang hendak ditelaah dengan nilai atau ketetapan/aturan atau prinsip yang dijadikan referensi.

Karena ilmu hukum bukan termasuk ke dalam ilmu deskriptif, melainkan ilmu yang bersifat preskriptif, maka di dalam penelitian hukum tidak diperlukan adanya hipotesis.

Selain hipotesis, pada penelitian hukum juga tidak dikenal istilah data, sampel, variabel bebas atau terikat atau analisis kuantitatif dan kualitatif, sebagaimana lazim dikenal di dalam penelitian empirik seperti penelitian sosial.

Pendek kata, semua prosedur yang terdapat di dalam penelitian keilmuan yang bersifat deskriptif bukan merupakan prosedur dalam penelitian hukum.


PENELITIAN SOSIOLEGAL

Prof.Peter menulis, 'Agar studi hukum yang dilakukan tidak kering dan membosankan, perlu diundang ilmu lain yang kiranya dapat menjelaskan masalah masalah kemasyarakatan, lalu diundanglah sosiologi karena ilmu inilah yang dapat menjelaskan masalah masalah sosial.
Mengingat masalah masalah sosial dikaitkan dengan hukum timbullah studi sosiolegal. Dalam konteks ini, penelitian sosial tentang hukum disebut dengan penelitian sosiolegal , penelitian hukum sosiologis atau sociolegal research. 

Penelitian sosiologi tentang hukum atau yang disebut sebagai sociolegal research itu sering kali disalahartikan sebagai penelitian hukum yang mempunyai objek yang sama yakni hukum.

Namun demikian, walaupun memiliki objek yang sama, namun penelitian yang bersifat sosiolegal itu hanya menempatkan hukum sebagai gejala sosial saja. Hukum dipandang dari segi luarnya saja. Oleh karena itulah di dalam penelitian sosiolegal, hukum selalu dikaitkan dengan masalah sosial. Penelitian penelitian demikian merupakan penelitian yang menitikberatkan perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum (hal.128).

'Yang jelas', tulis Prof.Peter, ' penelitian sosiolegal (sociolegal research) bukanlah penelitian hukum ( legal research ). Mengapa ?. Alasannya jelas, yaitu kembali kepada fungsi penelitian. Yang hendak dicapai oleh penelitian sosiolegal adalah kebenaran korespondensi, yaitu sesuainya atau tidak hipotesis dengan fakta yang berupa data.

Adapun penelitian hukum adalah menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai dengan norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan (act) seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum (hal.47)

Penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum. Hasil yang hendak dicapai adalah memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya (hal.130).


PENELITIAN YURIDIS EMPIRIS

Karena penelitian sosiolegal  dianggap bukan penelitian hukum, lalu diciptakan adanya penelitian hukum normatif (penelitian yuridis normatif) dan penelitian hukum empiris ( penelitian yuridis empiris ). 'Entah apa dasar pembagian itu', kata Prof.Peter (hal.47).

Di dalam bukunya 'Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat' (2018), Prof.Dr.Soejono Soekanto,SH, Guru Besar Sosiologi dan Hukum menarik garis pembatas antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris.

Menurut Prof. Soejono Soekanto, penelitian hukum normatif hanya meneliti pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Sedangkan, pada penelitian hukum sosiologis atau empiris,  yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap masyarakat'

Menurut Prof.Teguh, pembagian seperti ini sama sekali tidak dikenal dalam penelitian hukum dimanapun di muka bumi, terutama dalam pemikiran hukum klasik (catatan kaki,hal.257).

Walaupun demikian, beliau memandang pendapat Prof. Soerjono Soekanto sebagai suatu pemikiran yang sangat patut dihargai. Munculnya konsep penelitian hukum empiris atau yuridis empiris, merupakan suatu usaha yang patut dihargai untuk memberi jalan tengah atau ajakan kompromi dari die hard penelitian yang disebut sebagai penelitian hukum sosiologis atau empiris.

Istilah yuridis empiris itu dimaksudkan untuk mengakomodasi pekerjaan peneliti hukum yang secara empiris harus turun ke lapangan dan masyarakat untuk mengumpulkan sumber sumber bahan hukum yang dibutuhkannya dalam penelitian.

Sementara itu, sebagian pakar peneliti hukum menganggap penelitian yuridis empiris sesungguhnya adalah penelitian sosiolegal. Karena ia berfokus kepada apa yang terjadi dalam praktik hukum sehari - hari di dalam masyarakat. Penelitian ini membahas studi kasus, survei, wawancara, dan peristiwa atau fenomena empiris lainnya untuk memahami bagaimana hukum diterapkan di dalam kehidupan.

Terkait dengan terminologi penelitian yuridis empirik, Prof Teguh bertutur ,' Namun, istilah itu sekiranya tidak perlu, sebab hal itu akan membuat para jurists (pakar hukum) Indonesia, memang terlihat seolah olah kreatif, namun sesungguhnya akan nampak sama seperti mereka itu tidak mengerti filsafat penelitian hukum ( legal research )

Namun demikian, lanjut beliau, 'Pada prinsipnya, dalam kerangka pemikiran ilmu hukum yang murni ( a pure theory of law ), suatu sociological jurisprudence, yang merupakan disiplin ilmu sosial (sosiologi) atau mungkin antropologi, psikologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan ilmu ilmu lainnya seperti kedokteran dan lain sebagainya memang dapat dimanfaatkan ilmu hukum dan digunakan oleh para pakar hukum untuk memberi dimensi yang lain dalam proses pemutakhiran isi kaedah, konsep dan makna hukum, asas asas hukum dan peraturan hukum konkrit dalam penemuan hukum dan agar ada pengayaan dalam memberikan pembenaran yang lebih variatif terhadap keberlakuan struktur dan sistem hukum. Tidak dapat disangkal, bahwa sistem hukum itu terbuka untuk diamati dari luar; hanya saja, pengamatan yang dilakukan dari luar sistem hukum itu tidak dapat mendikte sistem hukum' (hal.260)


DOKTRINAL & NON DOKTRINAL

Perbedaan terhadap pandangan di atas dikemukakan oleh ahli hukum lainnya.

Merujuk kepada Hukum Online.com dalam artikel berjudul  'Memaham Ulang Ragam Pendekatan Riset Hukum' disebutkan bahwa  pendekatan penelitian (riset)  hukum terbagi dalam dikotomi yang bersifat doktrinal dan non doktrinal.
Pendekatan yang kedua itu biasa dikenal dengan sosiolegal.


Dr.Fachrizal Afandi, SH, Ketua Asosiasi Studi Sosio Legal Indonesia (ASSLESI) dan dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya menuturkan, 'Di Indonesia biasa ribut soal pendekatan mana yang sah, tapi tidak mulai dari rumusan masalah. Dua pendekatan itu valid digunakan tergantung kebutuhan, demikian pendapat. Dua kategori pendekatan riset hukum itu tidak saling menegasikan.

Beliau berkata, 'Kalau hanya ingin melihat keharmonisan satu regulasi dengan regulasi lain, bisa saja cukup pendekatan yang bersifat doktrinal. Namun, kalau mau melihat bagaimana implementasinya di masyarakat, bagaimana penafsirannya, harus dengan sosiolegal. Ia mengingatkan pendekatan riset beserta metodenya adalah alat mengumpulkan data. Berkaitan dengan riset hukum, kedua pendekatan sama-sama bertumpu pada analisis normatif berbasis doktrin hukum yang berlaku'

'Metode sosiolegal bisa dikatakan kerja dua kali. Pasti juga melakukan analisis doktrin secara normatif, lalu ditambahkan dengan pendekatan sosio-nya sesuai kebutuhan rumusan masalah'


Lalu, Dr. Herlambang Perdana Wiratraman ,SH,  dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada  mengatakan, 'studi hukum di Indonesia sudah lama mengenal dikotomi pendekatan doktrinal dan sosiolegal dengan istilah yang berbeda. Pembedaannya sudah lama dikenal walaupun penjelasannya juga tidak tepat.

Ia menilai dikotomi penelitian bersifat doktrinal dan non doktrinal juga sering mengundang salah paham.
Seolah olah penelitian sosiolegal/non doktrinal tidak bersandar pada analisis normatif serta doktrin hukum yang diterima.

Merujuk literatur karya Banakar dan Travers, Herlambang menyebut pendekatan sosiolegal merupakan pendekatan interdisipliner (beberapa disiplin ilmu).
' Berbeda dengan pendekatan doktrinal yang monodisiplin (satu disiplin ilmu). Penelitian dengan pendekatan sosiolegal justru juga melakukan analisis doktrinal, tapi diperkaya dengan analisis menggunakan metode disiplin ilmu lain yang relevan terhadap data. Kata 'sosio' di situ merujuk penggunaan segala metode disiplin ilmu apa saja yang relevan', lanjutnya.

Ia menyimpulkan sosiolegal sebenarnya 'konsep payung' yang memayungi segala pendekatan terhadap hukum, proses hukum, maupun sistem hukum. Oleh karena itu, Herlambang tidak setuju jika istilah yuridis empiris dianggap sinonim dari sosiolegal. Sosio-legal tidak sebatas soal efektivitas hukum seperti yang lazim dijelaskan soal yuridis empiris. Penggunaan ilmu teknik atau ilmu kedokteran untuk riset sosiolegal juga bisa', katanya. 

Prof Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia ini mengingatkan perincian ilmu hukum yang biasa diajarkan di kelas Pengantar Ilmu Hukum. 'Penelitian sosiolegal itu ada pada wilayah ilmu hukum tentang kenyataan hukum. Berdampingan dengan ilmu hukum tentang kaidah hukum. Ia menegaskan penelitian sosiolegal adalah penelitian hukum yang mempertajam analisis terhadap masalah hukum'

Dr. Herlambang melanjutkan bahwa dikotomi pendekatan riset hukum juga tidak mutlak.
Ia menjelaskan peta dan jenis penelitian hukum yang disusun Kees Waldijk, dosennya saat menuntaskan studi doktor hukum di Universitas Leiden. Setidaknya ada sembilan kemungkinan karakter penelitian hukum. Dengan 9 karakter penelitian hukum ini, beliau kemudian menyimpulkan bahwa jenis penelitian hukum itu begitu beragam, tak sebatas dikotomi penelitian doktrinal dan nondoktrinal, atau juga yuridis normatif dan yuridis empiris'

Ia mengingatkan ilmu pengetahuan hukum terus berkembang. Pendekatan teks normatif dan monodisiplin perlu dipertajam pendekatan interdisipliner. Itulah sebabnya, konsep payung bernama sosiolegal harus dipahami dengan benar alih alih  diberi status anak haram' dalam kajian ilmu hukum di Indonesia.

Maka, dalam konteks ini, pendekatan teks teks normatif  perlu dipertajam dan diperkuat dengan pendekatan disiplin lain seperti ilmu kesehatan dan kedokteran dalam bingkai Hukum Kesehatan dan Hukum Medis/Kedokteran

Salam sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun