by dr. Riki Tsan,SpM ( STHM MHKes V )Â
Pada awal abad ke-20, di kota Amsterdam, Belanda ada suatu peraturan daerah ( perda ) yang melarang dengan ancaman sanksi pidana bagi pengusaha susu perah  untuk menjual susu perah yang dicampur dengan air.
Pada suatu waktu, ada seorang pengusaha susu perah yang secara diam diam mencampur susu dengan air tanpa sepengetahuan siapapun. Lalu, dia menyuruh pembantunya untuk menjual susu yang telah bercampur air tersebut kepada para pembeli.
Belakangan, perbuatan jahat ini diketahui orang, dan keduanya dituntut secara pidana.
Di tingkat pengadilan negeri/tinggi ( arrondissement rechtbank ), hakim menjatuhkan hukuman pidana terhadap si pengusaha, sedangkan pembantunya dibebaskan dengan alasan ia tidak memiliki kesalahan ( bahasa Belanda-nya, schuld ) karena ia tidak mengetahui bahwa susu yang dijualnya itu telah dicampur dengan air.
Si pengusaha mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Belanda ( Hooge Raad ) dengan berdalih bahwa semestinya ia dibebaskan dari tuntutan dan pembantunyalah yang harus dijatuhi hukuman pidana, karena secara  feit materieel telah terbukti bahwa yang menjual susu bercampur air tersebut adalah pembantunya . Sementara, pada waktu itu, kesalahan ( schuld ) sendiri tidak menjadi syarat seorang pelaku tindak pidana untuk dapat dipidana atau dijatuhi hukuman pidana.
Singkat kata, putusan dibacakan  pada tanggal 14 Februari 1916.
Hooge Raad memperkuat putusan arrondissement rechtbank dengan menolak permohonan kasasi si pengusaha dan membebaskan pembantunya karena ia sama sekali tidak memiliki kesalahan ( schuld ).
Putusan ini dikenal dengan ' Putusan Susu dan Air ( melk en water arrest ) '
Pada peristiwa inilah  untuk pertama kalinya muncul sebuah prinsip yang berbunyi, Geen Straf Zonder Schuld atau Tiada Pidana Tanpa Kesalahan yang menjadi yurisprudensi buat perkara perkara pidana berikutnya , dan di kemudian hari menjadi doktrin atau asas yang sangat fundamental di dalam hukum pidana.
Di dalam praktik hukum di Indonesia, asas Geen Straf Zonder Schuld ini -- dalam bahasa Latin, actus non facit nisi mens sit rea -- yang disebut juga sebagai asas culpabilitas atau asas kesalahan untuk pertama kalinya diterapkan di dalam putusan Mahkamah Agung pada tanggal 13 April 1957.
ASAS CULPABILITAS
Apa sebetulnya  makna dan tujuan asas culpabilitas ini ?.
Prof. Masruchin Ruba'i menuturkan bahwa kesalahan ( schuld ) merupakan syarat agar orang yang melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum dapat dipidana atau dijatuhi hukuman pidana
Konsekuensinya, bilamana tidak terdapat kesalahan pada orang yang melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum, maka orang tersebut tidak boleh dijatuhi sanksi pidana, entah itu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dst.
Prof. Sudarto -- ketika berbicara soal pengertian kesalahan -- mengatakan kesalahan dalam arti bentuk kesalahan ( schuldvorm ) dapat muncul dalam 2 bentuk yakni kesengajaan ( dolus , opzet atau intention ) dan kealpaan atau kelalaian ( culpa, nelatigheid atau negligence ). Keduanya merupakan pengertian kesalahan yuridis.
Pada negara negara berbasis sistem hukum common law, Â dolus dan culpa ini dikenal dengan mens rea dari suatu perbuatan. Secara harfiah, mens rea diartikan sebagai guilty mind atau criminal intent atau fikiran/niat salah.
Lalu, bagaimana kita dapat mengenal adanya unsur kesengajaan ataupun unsur kelalaian/kealpaan  di dalam suatu suatu perbuatan pidana ?.
Secara singkat, kesengajaan dirumuskan dengan kalimat Willen en Wetten. Artinya, seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja berarti ia memang  menghendaki  ( willen ) untuk melakukan perbuatan tersebut dan iapun mengetahui ( wetten ) akan akibat yang timbul dari perbuatannya tersebut.
Jadi, ia  sesungguhnya benar benar memiliki niat untuk mencapai tujuan 'jahat' yang diinginkannya.
Sebaliknya, di dalam kelalaian,  si pelaku tidak memiliki niat 'jahat' dan ia sama sekali tidak menghendaki akibat yang timbul dari perbuatannya. Van Hamel -- seorang pakar hukum pidana Belanda -- menyebutkan kelalaian ditandai dengan 2 hal yakni ketidakmampuan seseorang untuk berhati hati dan ketidakmampuannya untuk menduga duga akan akibat yang muncul dari perbuatannya.
Â
DOKTER SENGAJA MENCEDERAI PASIEN
Pertanyaan kita ialah bagaimana dengan seorang dokter yang melakukan suatu tindakan medis atau pelayanan kesehatan tertentu terhadap pasiennya yang kemudian ternyata menimbulkan cedera, cacat atau bahkan kematian pasiennya tersebut lalu si dokter dituntut secara pidana ?. Mungkinkah ia melakukan tindakan tersebut karena kesengajaan ?.
Ada sebagian pakar yang menyebutkan bahwa seorang dokter dapat saja melakukan suatu perbuatan yang dengan kesengajaannya menimbulkan kerugian terhadap pasiennya.
Saya kutipkan 2 pakar berikut ini.
- Prof.Dr.Sutan Remy Sjahdeini, di dalam bukunya yang berjudul ' Hukum Kesehatan Tentang Hukum Malapraktik Tenaga Medis ' , - ketika berbicara tentang malapraktik medik -- mengatakan : ' Malapraktik tenaga medis adalah perilaku tenaga medis (dokter) berupa tindakan medis yang karena kesengajaannya atau kelalaiannya tidak sesuai dengan langkah langkah yang ditentukan di dalam standar prosedur operasional medis....(halaman 88).
Lalu, pada halaman 91, masih dari buku yang sama, beliau mengatakan : 'Dengan demikian, berkenaan dengan unsur mens rea dari malapraktik tenaga medis  dapat berupa kesengajaan ( dolus )  atau kelalaian ( culpa ) sebagai berikut....'
- Dr. Redyanto Sidi, SH,MH dan Dr. dr. Beni Satria,MHKes, SH, MH di dalam buku yang berjudul ' Pembuktian Dalam Pidana Medik ( Kajian Teoritis dan Praktis ) ' pada halaman 45 s/d 50,  mencatat beberapa perbuatan yang  mereka  masukkan ke dalam jenis jenis Pidana Medik. Salah satu diantaranya ialah eksploitasi dan pelecehan seksual serta pemerkosaan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya.
Pada halaman 47, mulai nomor 4 dan halaman 48 pada buku tersebut dikatakan bahwa :
' Eksploitasi dan pelecehan seksual adalah tindakan pidana medik yang melibatkan tindakan tidak etis atau melanggar hukum yang bersifat seksual seperti pelecehan, pemerkosaan atau eksploitasi seksual.Tentu saja, perbuatan pelecehan seksual ataupun pemerkosaan itu pastilah dilakukan dengan kesengajaan.
Sampai saat ini, saya belum pernah menemukan kasus pelecehan seksual ataupun pemerkosaan yang dilakukan tanpa sengaja, apalagi akibat kelalaian.
Dari kedua pakar di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa memang dokter dapat saja melakukan suatu perbuatan dengan kesengajaan terhadap pasiennya sehingga menimbulkan kerugian, baik berupa cedera ( fisik atau psikologis ) atau juga  kematian.
Apa benar memang demikian ?. Simpan dulu pertanyaan ini !!
Â
DOLUS BUKAN UNSUR PIDANA MEDIK
Dalam sidang ujian tesis di kampus Sekolah Tinggi Hukum Militer, Prodi Magister Hukum Kesehatan pada tanggal 1 Oktober 2024, saya mengutip pengertian istilah Tindak Pidana Medik seperti yang disampaikan oleh Dr. dr. M. Nasser, SpDV, D.Law, seorang pakar terkemuka hukum kesehatan Indonesia serta salah seorang anggota Board of Governor dari World Association For Medical Law
Beliau mengatakan : 'Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Medik adalah suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh tenaga medis (dokter/dokter gigi) yang melanggar standar kompetensi/profesi serta standar pelayanan'
Secara mudah kita dapat memahami bahwa perbuatan yang dimaksudkan beliau itu berada di dalam  ruang lingkup pelayanan kesehatan dan tindakan medis dan bukan diluar ruang lingkup ini. Tujuan utama pelayanan kesehatan atau tindakan medis adalah dalam rangka pengobatan atau penyembuhan penyakit pasien.
Namun, beliau juga menegaskan -- yang kemudian menjadi salah satu butir kesimpulan tesis penulis -- bahwa unsur kesengajaan      ( dolus ) tidak dikenal di dalam tindak pidana medik.
Jika, ditemukan adanya unsur kesengajaan, tutur Dr.Nasser, maka ia digeser ke dalam ranah tindak pidana umum, dan tidak lagi menjadi urusan hukum pidana medik ( medical crime law ) . Â
Salah satu contoh kasus pidana yang dilakukan secara sengaja oleh dokter adalah tindakan aborsi yakni tindakan pengguguran janin di dalam kandungan.
Berangkat dari uraian di atas kita terpantik dengan dua pertanyaan :
Pertama. Kenapa unsur kesengajaan tidak dikenal di dalam tindak pidana medik ?.
Dan, kedua. Jika tindakan aborsi merupakan tindak pidana yang dilakukan secara sengaja dan dimasukkan ke dalam tindak pidana umum, bagaimana dengan adanya tindakan abosi yang juga dilegalkan di dalam peraturan perundang undangan kita ?.
To be continued.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H