Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata

BERKHIDMAT DALAM HUKUM KESEHATAN

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Dokter Harus Berkomunikasi Baik dengan Pasiennya!

25 Maret 2024   09:38 Diperbarui: 25 Maret 2024   09:50 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

by dr.Riki Tsan,SpM (mhs STHM MHKes V)

Beberapa tahun yang lalu, saya melakukan operasi katarak terhadap seorang pria yang berumur sekitar 50an tahun di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta Utara. Usai operasi, ia diminta datang kembali untuk kontrol ulang sehari setelah operasi dengan tujuan mengganti perban penutup mata yang telah dioperasi, pemberian obat tetes mata antibiotik dan anti radang serta - yang paling penting adalah - pemeriksaan mata untuk mendeteksi kemungkinan adanya komplikasi pasca operasi.

Hari pertama pasca operasi, pasien tak datang ke poli mata, demikian juga hari kedua. saya mulai merasa was was, khawatir terjadi hal hal yang tak diinginkan terhadap mata pasien yang baru dioperasi itu.

Hari ketiga, dia baru muncul di poli mata. Perban matanya sudah dalam keadaan terbuka. Wajahnya terlihat ceria dan tak merasa bersalah sedikitpun. 'Saya gak sempat datang dok, banyak urusan', katanya dengan tawa tersungging di bibirnya. Dia meraih tangan saya sambil meminta maaf.

Saya bukan saja tidak bisa marah, malah ikut tertawa bersamanya.

Memang hubungan saya dengan pasien ini sudah seperti keluarga. Kami berdua acap sekali berkomunikasi langsung ataupun lewat media sosial. Saya juga mengenal dengan baik istri dan keluarganya.

Usai melakukan pemeriksaan, saya terkejut. Tajam penglihatannya yang semula sangat jelek, kini kembali normal dan hampir tidak ditemukan adanya kelainan/masalah apapun di matanya. Hal yang sama tidak saya temukan pada pasien pasien saya yang lain.

Pengalaman saya berpraktek selama belasan tahun menemukan 'fakta' bahwa pemulihan dari operasi dan kesembuhan dari penyakit relatif terjadi lebih cepat pada pasien pasien yang memiliki hubungan personal yang baik dengan saya, pada pasien pasien yang terlihat selalu bahagia dan pada pasien pasien yang memiliki keyakinan yang kuat akan kesembuhan dari penyakit yang mereka derita.

Dengan pengalaman pribadi di atas saya berkeyakinan bahwa hubungan atau komunikasi yang terjalin dengan baik antara dokter dan pasien akan mempengaruhi kesembuhan penyakit si pasien.

Namun, pertanyaannya ialah apakah keyakinan saya ini memang bisa dibuktikan secara ilmiah atau hanya sekedar faktor kebetulan saja ?.

PERSPEKTIF SAINS

Ternyata, beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh antara pola komunikasi dokter - pasien  dengan peningkatan status kesehatan ataupun kesembuhan penyakit pasien. Beberapa diantaranya sebagai berikut :

  • J R Coll Gen Pract (1979) dalam laporannya menulis bahwa berbagai penelitian yang telah dilakukan telah mengindikasikan adanya banyak aspek dalam hubungan dokter - pasien yang memberikan kontribusi penting terhadap kepatuhan, kepuasan, dan pemulihan dari penyakit (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2159129/pdf/jroyalcgprac00122-0015.pdf)

  • S H Kaplan , S Greenfield, J E Ware Jr (1989) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa hubungan dokter - pasien amat berpengaruh pada penyembuhan pasien. Mereka mewanti wanti bahwa hal ini harus diperhatikan dengan sungguh sungguh mengingat berbagai perubahan saat ini dalam sistem pelayanan kesehatan dapat mengancam hubungan ini (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/2646486/)

  • M A Stewart (1995) melakukan tinjauan ( review ) terhadap 21 penelitian dan menyimpulkan bahwa sebagian besar penelitian menunjukkan adanya korelasi antara komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien dengan peningkatan status kesehatan/kesembuhan penyakit  (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/7728691/)

  • Zoppi, K., Epstein, R. M., & Isenberg, H. (2011) menemukan bahwa komunikasi yang baik dalam pelayanan/tindakan kesehatan sangat berkorelasi dengan ketaatan pasien terhadap upaya pengobatan. Komunikasi adalah faktor penting yang dapat dikendalikan oleh para dokter dalam membantu pasien mereka untuk patuh (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2728700/).
    Kepatuhan pasien terhadap instruksi pengobatan yang diberikan tentu saja akan meningkatkan keberhasilan penyembuhan pasien dari penyakit yang dieritanya.

DISHARMONI HUBUNGAN DOKTER - PASIEN

Walaupun berbagai penelitian ilmiah menunjukkan hubungan positip antara hasil penyembuhan dengan pola komunikasi dokter dan pasiennya, namun faktanya, dewasa ini hubungan dokter dan pasien dinilai mengalami disharmoni ( ketidak akuran ) yang ditandai dengan banyaknya konflik dan sengketa medik    ( medical dispute ) yang dapat berujung kepada tuntutan hukum terhadap dokter yang diduga telah melakukan kelalaian dalam melakukan tindakan medis yang menyebabkan cedera ataupun kematian pasiennya, yang kemudian dideskreditkan dengan ujaran malapraktik

Prof. Dr. Sutan Remi Sjahdeni, SH bahkan sampai menulis tentang banyaknya tuntutan dan gugatan pasien terhadap dokter di Indonesia yang diduga melakukan malapraktik. Beliau menyebutkan bahwa kasus kasus malapraktik yang muncul di masyarakat itu ibarat gunung es yang puncaknya sedikit muncul di tengah lautan ( Hukum Kesehatan Tentang Hukum Malapraktik Kesehatan, jilid 2, 2020,    hal. 434 )

Prof. Remy menuturkan : 'Banyaknya malapraktik yang dilakukan oleh Tenaga Medis (dokter) dan sikap tidak profesional dari para Tenaga Medis (dokter) telah menimbulkan kekesalan dan keresahan bagi masyarakat Indonesia yang pada saat ini sudah semakin terdidik, semakin sadar hukum dan makin banyak pengetahuannya mengenai kesehatan ( Hukum Kesehatan Tentang Hukum Malapraktik Kesehatan, jilid 1,2020, hal, 80 ).

Setelah memaparkan jumlah kasus Malapraktik Tenaga Medis di Indonesia, beliau mengatakan, '.....besarnya jumlah Malapraktik Tenaga Medis di Indonesia sudah mencapai tingkat yang serius sekali ( hal.84 )

PENYEBAB TUNTUTAN HUKUM

Pertanyaan kita ialah kenapa para Tenaga Medis (dokter/dokter gigi) sering dilaporkan oleh pasien maupun keluarganya kepada Polisi atas dugaan kesalahan/kelalaian dalam melakukan tindakan medis dengan sebuah narasi tendensius, malapraktik  ?.

Dr. dr. Nasser, Sp.D.V.E, D. Law di dalam kuliah Tindak Pidana Medik ( Medical Crime ) pada tanggal 3 Februari 2024 yang disampaikan secara daring kepada mahasiswa STHM Prodi MHKes Angkatan-V mengemukakan 2 penyebab utama dari sisi hubungan dokter dan pasien.

Pertama. Ekspektasi ( harapan ) yang keliru terhadap upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter. Pasien dan keluarganya menganggap bahwa upaya yang dilakukan oleh dokter dalam melakukan pengobatan haruslah selalu menghasilkan kesembuhan.

Padahal, sebagaimana diketahui bahwa dalam hubungan perjanjian/perikatan yang mengikat dokter dan pasiennya - yang lazim dikenal dengan Kontrak Terapeutik - titik beratnya adalah pada upaya maksimal yang harus dilakukan oleh dokter ( inspanning verbintennis ) dan bukan ditujukan kepada hasil pengobatan yang berupa kesembuhan penyakit pasien ( resultaat verbintennis ).

Ketidakpahaman akan tujuan pengobatan dan harapan yang keliru terhadap pelayanan kesehatan/tindakan medis yang diberikan oleh dokter ini umumnya diakibatkan oleh komunikasi yang jelek antara dokter dengan pasien dan keluarganya.

Di dalam kuliahnya, Dr. Nasser sempat menyebutkan penelitian yang pernah dilakukan terhadap beberapa kasus tuntutan pasien terhadap dokter. Penelitian tersebut membuktikan bahwa munculnya tuntutan pasien terhadap dokter lebih diakibatkan oleh kurangnya komunikasi ataupun komunikasi yang tidak baik diantara dokter dengan pasiennya.

Levinson, W., Roter, D. L., Mullooly, J. P., Dull, V. T., & Frankel, R. M. (1997) misalnya di dalam penelitiannya menemukan bahwa komunikasi yang baik antara dokter dan pasien dapat mengurangi tuntutan pasien terhadap dugaan malapraktik yang dilakukan oleh dokter (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/9032162/)

Kedua. Ketidakpuasan terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter.

Tidak dapat dipungkiri, ada beberapa sikap maupun perilaku dari sebagian dokter yang menyebabkan pasien  melakukan tuntutan hukum terhadap mereka.

Ketidakberhasilan dalam penyembuhan atau munculnya cedera dan bahkan kematian acap kali disebut sebut sebagai 'biang keladi' pemicu munculnya ketidakpuasan dari pasien/keluarganya atas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter.

Apalagi, ketidakpuasan ini disertai pula dengan komunikasi yang buruk, sikap arogan/keangkuhan pihak rumah sakit dan ketidakterbukaan atas informasi yang menyangkut penyakitnya, akan lebih mendorong pasien untuk melakukan tuntutan hukum terhadap dokter, demikian tutur Dr.Nasser

Kelly B. Haskard Zolnierek and M. Robin DiMatteo (2010). Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa komunikasi dokter secara signifikan berkorelasi positif dengan ketaatan pasien.Terdapat risiko tidak patuh yang 19% lebih tinggi pada pasien yang dokternya berkomunikasi buruk dibandingkan dengan pasien yang dokternya berkomunikasi dengan baik (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2728700/)

Artinya, dokter yang berkomunikasi dengan buruk cenderung mengakibatkan ketidakpatuhan atas instruksi medis yang diberikan sehingga upaya penyembuhan berpotensi menghasilkan kegagalan. Kegagalan penyembuhan ini tentu saja menimbulkan ketidakpuasan pasien sehingga memicu konflik, sengketa medis dan tuntutan pasien terhadap dokter.

PEMANTIK DISHARMONI

Dari hasil pembacaan saya terhadap beberapa tulisan dan pendapat para pakar hukum kesehatan,  menurut hemat saya,  disharmoni hubungan antara dokter dan pasien dipantik dengan  kondisi kondisi  berikut :

  • Pemahaman ajaran hukum murni terhadap hubungan kontraktual antara dokter dan pasien yang semata mata mengkaji 'law as it is written in the books', yang berorientasi positivistik dan bersifat dogmatis. Pandangan semacam ini bertolak dari pemikiran bahwa hukum hanyalah sekedar norma norma positip di dalam sistem perundang undangan.

  • Proses penerapan hukum kesehatan yang cenderung menganut paham positivisme telah mengesampingkan aspek aspek moral, etik, keluhuran budi,welas asih serta aspek spiritual dalam hubungan kontraktual dokter dan pasien.

  • Hubungan dokter dengan pasien mulanya bersifat sosial  yakni memberikan pelayanannya kepada pasien dengan ketulusan hati, keluhuran budi, keikhlasan tanpa pamrih yang berpijak kepada sumpah dan etik profesi  

  • Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan munculnya berbagai peraturan perundang undangan, hubungan dokter-pasien dalam konteks pelayanan kesehatan  mengalami pergeseran yang sangat signifikan dengan ikut sertanya aspek  dagang untuk keuntungan (bisnis)  dalam hubungan ini, yang  yang dipicu dengan pemberlakuan Undang Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Kesehatan dan Undang Undang nomor 44 tahun 2009  pada waktu itu.

    Hal ini juga dipicu dengan maraknya perkembangan dan pertumbuhan industri di bidang pelayanan kesehatan dengan investasi dana yang sangat besar. Singkat kata, telah terjadi pergeseran corak layanan kedokteran yang mulanya bersifat kemanusiaan berubah menjadi utilitarianistik dan materialistik dengan orientasi bisnis dan keuntungan ekonomi.

KESIMPULAN

Bertolak dari paparan di atas, kita menyimpulkan :

  • Saat ini, telah terjadi disharmoni dalam hubungan dokter dan pasien di era globalisasi dan digitalisasi ini yang diakibatkan oleh industrialisasi di bidang kesehatan, komersialisasi hubungan dokter pasien dan menguatnya pandangan positivistik dalam hubungan yuridis antara dokter dan pasien yang hanya sekadar dimaknai sebagai  hubungan kontraktual antara penyedia layanan/barang dengan konsumennya.

  • Konflik dan Sengketa Medik antara dokter dan pasien serta tuntutan hukum terhadap dokter lebih diakibatkan oleh buruknya komunikasi antara dokter dan rumah sakit di satu pihak dengan pasien di pihak yang lain dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.

SARAN

Untuk mengatasi atau mengantisipasi kemungkinan terjadinya disharmoni dalam hubungan dokter dan pasien di Indonesia yang dapat memunculkan konflik ataupun sengketa medik dan kemudian berujung kepada tuntutan hukum , tampaknya kita harus  meninjau ulang hubungan dokter  dan pasien yang bersifat yuridis kontraktual dan amat positivistik dengan kembali menerapkan prinsip prinsip hubungan yang berkeadilan dan bermartabat diantaranya komunikasi yang baik dan terbuka yang semestinya dilakukan oleh para Tenaga Medis, baik dokter maupun dokter gigi.

Terima kasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun