Preman itu bilang, "Kong, ini rusuh tiba-tiba. Bukan kite ini. Orang ambilin barang di dalam toko".Â
Kong Amir tetap tegas menyuruh preman itu pergi menjauhi pasar.Â
Tak lama berselang, dua adik saya itu bilang kepada kami yang berjaga. "Pak Hamzah meninggal".Â
Ternyata pak Hamzah kaget terjadi huru-hara, jantungnya kumat. Sebagian bapak-bapak mengurus pak Hamzah dan saya menyuruh adik pulang dan mengunci rumah. Dari sekian banyak obrolan, tiap adegan di mana warga mendapatkan TV, lemari, piring sampai beras dari hasil menjarah, hanya satu adegan yang saya ingat: "Seorang ibu yang mencari anaknya".Â
"Pak, lihat bocah gak pake baju Oren tadi mau lihat kebakaran katanya".Â
Jelas kami tidak tahu, daritadi banyak warga yang menjarah. Ibu itu histeris menangis namun tak berani mendekat ke arah pasar yang dibakar.Â
Saya juga melihat bagaiamana polisi hanya diam dan tentara yang mulai berdatangan dari arah mampang. Warga yang kerasukan itu mulai ikut membakar barang-barang jarahan. Hanya Kong Amir yang terdiam dan sesekali menyuruh warga yang ingin menjarah untuk pulang dengan kata-kata kasarnya "MASUK BEGO! BEGO LU KALAU MAU NYURI, DIBAKAR LU NANTI, UDEH PADA MASUK AJE".Â
Ibu itu tetap histeris di dekat kami, berharap anaknya tidak terjebak di dalam kebakaran.Â
Sore pun tiba, maghrib itu langit sudah mulai meredup. Cahaya kelabu membayangi langit pasar minggu. Bau asap, bau gosong, bau kepedihan itu bercampur.Â
Ibu itu histeris, sampai akhirnya pingsan. Akhirnya diboyong ke rumah warga. Ibu itu jalan jauh ternyata, berjalan dari Duren Tiga ke pasar minggu, hanya untuk menunggu anaknya yang baru berusia 10 tahun.Â
Saya tak tega menulis ini, tapi anak itu cuma ingin MEMBAWAKAN IBUNYA SUSU KALENGAN UNTUK ADIK-ADIKNYA. Betapa harga susu melonjak tinggi, kami semua yang menangis karena harga yang melonjak tinggi. Ibu itu histeris berharap anaknya pulang, berharap ke arah langit kelabu bahwa Jakarta tidak pernah rusuh seperti ini dan mengambil anaknya.Â