Mohon tunggu...
Rika Salsabila Raya
Rika Salsabila Raya Mohon Tunggu... Lainnya - Jurnalisme dan ibu dua anak

Pernah bekerja sebagai Staff Komisioner Komnas Anak dan Staff Komunikasi di Ngertihukum.ID

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Langit Kelabu Jakarta

14 Juli 2024   21:16 Diperbarui: 14 Juli 2024   21:18 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

imohon untuk tidak meniru tulisan ini tanpa izin dan jika para pembaca melihat cerita yang sama di lain tempat, harap hubungi penulis. 

. 

. 

Jakarta Selatan, pagi itu sahut menyahut ayam jago milik pak Haji Nasa terdengar. Adzan subuh sedari tadi masih saja membuat para penghuni kontrakan terlelap. Seakan mereka sudah lelah dan berharap uang yang turun dari langit. 

Akhir dekade 90-an itu hanya kelabu, bagi kami yang miskin. Setidaknya kontrakan pak Haji Nasa masih bisa dipakai untuk tidur dan mandi. PHK besar-besaran masih mengejar kami dan tanpa henti dibayangi makan hanya singkong karena bahan pangan yang naik. Perkenalkan, saya Daud. Usia sudah 22 tapi saya harus menghidupi 2 adik yang masih SMP. 

. 

Dua hari lalu kabar terdengar dari warga Kampung Ciliwung, akan ada demo besar-besaran yang meledakan jakarta. JAKARTA AKAN KACAU!, seruan itu memancing obrolan di tengah masyarakat. Kampung di bantaran kali Ciliwung yang berbatasan dengan Jakarta Timur ini masih takut akan kabar penyusup yang siap membakar rumah-rumah warga. Haji Nasa yang tanahnya luas saja sudah mulai kompromi baik terhadap pejabat formal dimulai RT sampai ke para preman pasar. Jawara Betawi itu juga memanggil para pesilat dari Condet, Ciracas sampai Kalibata. jikalau ada rusuh setidaknya kampung ini dijaga, begitu harapnya. Haji Masa membiayai peralatan keamanan warga kampung, para ibu kompak membekali para bapak-bapak kopi dan cemilan untuk berjaga. Anak-anak mulai diberi peringatan untuk jangan mendekat ke arah keramaian. 

Sampai suatu ketika.. 

"Duaaar!!!", 

" Allahuakbar!!!"

"Mati kalian!!!"

"Masuk Rumah semuanya!!!!"

"Rusuh, mal kebakaran". 

Siang menuju sore itu kami semua ketakutan. Teriakan itu terdengar di sepanjang jalan Pasar Minggu ke arah pusat perbelanjaan. 

Kami menjauhi jalan raya Pasar Minggu, tidak ada yang boleh kesana. Haji Nasa mengabari melalui pemuda kampung, tahan semua kakinya untuk berjalan mendekat ke sana. Penjarahan terjadi selama itu, banyak warga kampung yang tiba-tiba sudah dapat baju, kue, blender, sampai tas dan celana dalam. 

Kabar dua hari lalu dari mulut ke mulut kesampaian. Orang-orang penghuni kontrakan Haji Nasa masuk ke dalam rumah dan hanya Kong Amir yang berani duduk di teras sedari malam. Para bapak-bapak mulai mengambil alat tajam sampai ada yang memamerkan badik, Bendo, Mandau. Warga bersatu menjaga jalan masuk kampung yang tepat di sebelah rel kereta menghadap pasar. 

. 

Saya melihat bagaimana pemilik toko yang rata-rata etnis Tionghoa menangis. Tak sedikit yang hanya mengintip di lantai atas ruko mereka. Ada yang ngumpet di perkampungan warga belakang rel kereta api. Salah satunya keluarga Ko Lio, dua anak perempuannya dititipkan di rumah pak RT. Sekeluarga itu kompak bersembunyi di rumah Haji Nasa, entah bagaimana kehidupan mereka selanjutnya tapi Haji Nasa menyuruh mereka untuk diam dan jangan keluar dahulu. Ko Lio menelpon pakai telepon rumah, dapat dibayangkan pengaruh Haji Nasa di lingkungan kampung ini. 

Sementara itu, Kong Amir memang terkenal ganas, mantan jawara itu dulunya preman di pasar minggu. Ia berjalan sambil membawa tongkat, layak engkong Betawi yang memakai peci agak miring, cincin batu merah di jari manis, dengan jam tangan mahal di tangan kiri.

"JAUHIN PASAR NOK!"

Saya melihat sendiri bagaimana ia berteriak kepada seorang preman yang kekar badannya

Preman itu salam kepada Kong Amir, dengan keringat di tubuhnya ia pun tak bisa berbohong. INI BUKAN PERBUATAN PREMAN KELAS TERI.

Preman itu bilang, "Kong, ini rusuh tiba-tiba. Bukan kite ini. Orang ambilin barang di dalam toko". 

Kong Amir tetap tegas menyuruh preman itu pergi menjauhi pasar. 

Tak lama berselang, dua adik saya itu bilang kepada kami yang berjaga. "Pak Hamzah meninggal". 

Ternyata pak Hamzah kaget terjadi huru-hara, jantungnya kumat. Sebagian bapak-bapak mengurus pak Hamzah dan saya menyuruh adik pulang dan mengunci rumah. Dari sekian banyak obrolan, tiap adegan di mana warga mendapatkan TV, lemari, piring sampai beras dari hasil menjarah, hanya satu adegan yang saya ingat: "Seorang ibu yang mencari anaknya". 

"Pak, lihat bocah gak pake baju Oren tadi mau lihat kebakaran katanya". 

Jelas kami tidak tahu, daritadi banyak warga yang menjarah. Ibu itu histeris menangis namun tak berani mendekat ke arah pasar yang dibakar. 

Saya juga melihat bagaiamana polisi hanya diam dan tentara yang mulai berdatangan dari arah mampang. Warga yang kerasukan itu mulai ikut membakar barang-barang jarahan. Hanya Kong Amir yang terdiam dan sesekali menyuruh warga yang ingin menjarah untuk pulang dengan kata-kata kasarnya "MASUK BEGO! BEGO LU KALAU MAU NYURI, DIBAKAR LU NANTI, UDEH PADA MASUK AJE". 

Ibu itu tetap histeris di dekat kami, berharap anaknya tidak terjebak di dalam kebakaran. 

Sore pun tiba, maghrib itu langit sudah mulai meredup. Cahaya kelabu membayangi langit pasar minggu. Bau asap, bau gosong, bau kepedihan itu bercampur. 

Ibu itu histeris, sampai akhirnya pingsan. Akhirnya diboyong ke rumah warga. Ibu itu jalan jauh ternyata, berjalan dari Duren Tiga ke pasar minggu, hanya untuk menunggu anaknya yang baru berusia 10 tahun. 

Saya tak tega menulis ini, tapi anak itu cuma ingin MEMBAWAKAN IBUNYA SUSU KALENGAN UNTUK ADIK-ADIKNYA. Betapa harga susu melonjak tinggi, kami semua yang menangis karena harga yang melonjak tinggi. Ibu itu histeris berharap anaknya pulang, berharap ke arah langit kelabu bahwa Jakarta tidak pernah rusuh seperti ini dan mengambil anaknya. 

Malam itu masih mencekam, beberapa prajurit TNI datang melakukan SORTIR. Warga kompak melindungi satu sama lain, tidak ada dari kami yang merusuh. Pada akhirnya kami semua mulai bergantian menjaga kampung, bahkan dalam kerusuhan itu, sungai Ciliwung ikut kelabu. Airnya tak lagi hanya berwarna coklat muda melainkan mulai kelabu. Jika diperhatikan dari tebing tinggi di pinggir kampung, air itu kadang berbusa yang tiba-tiba terdapat mayat mengapung. Begitu kelabunya bumi, jakarta dan harapan manusia di dalamnya. 

Jakarta Kelabu itu ditutup dengan kabar bahwa sang ibu dijemput oleh suaminya dari Duren Tiga, hingga kami semua mulai berpamitan. Tak lama kemudian, pemuda kampung mendapat kabar bahwa banyak mayat terbakar di dalam pasar. Ibu itu cemas mukanya, tak lama ibu itu pergi, warga kampung Ciliwung mulai mencari anggota keluarganya yang belum pulang sampai kabar penangkapan Kong Amir datang ke telinga kami. 

Langit kelabu itu memang ciptaan manusia, bukan Tuhan. Tuhan mengirimkan langit kelabu untuk menandakan datangnya hujan badai, tapi ini.. Manusia itu mendatangkan langit kelabu untuk membunuh, memfitnah satu sama lain. Kerusakan akibat langit kelabu itu mendatangkan suka dan duka bagi mereka yang percaya takdir. Semoga Jakarta tak lagi kelabu, kelam dan membiru hanya karena para manusia oportunis yang tak tahu malu di atas penderitaan rakyat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun