Tahun 2020 ini memiliki dua hari Jumat yang jatuh pada tanggal 13, yaitu pada bulan Maret dan bulan November, alias hari ini.
Hari Jumat yang jatuh pada tanggal 13 selalu dianggap sebagai hari sial. Legenda yang melatarbelakanginya ada banyak dan bisa dibaca sendiri di Wikipedia. Yang jelas, film dan serial dari Hollywood yang masuk ke Indonesia sejak tahun 1980-an semakin mengukuhkan hari Jumat yang jatuh pada tanggal 13 sebagai hari yang harus membuat kita semua berhati-hati.
Katanya sih begitu.
Manusia memang pada dasarnya suka ilmu cocokologi. Alasan apa pun bisa disambung-sambungkan untuk mendukung argumennya, walaupun alasan itu tidak rasional dan tidak logis.
Jika sesuatu yang tidak enak terjadi pada Friday, the 13th, maka hari itu akan disalahkan, dijadikan kambing pink (bosen kambing hitam) sebagai penyebab semua ketidakberuntungan. Jika sesuatu yang menyenangkan terjadi pada Friday, the 13th, maka orang-orang akan bilang: "ah, hari sial itu 'kan cuma mitos".
Friday, the 13th pertama yang saya alami adalah waktu saya berumur 12 atau 13 tahun. Waktu itu saya sakit maag dan diare parah dan tidak bisa bersekolah selama kurang-lebih seminggu. Penyebabnya? So pasti stres, haha.
Anak abege bisa stres kenapa sih? Wah, jangan salah, penyebab stres anak abege itu ada banyak.
Pelajaran yang susah apalagi Fisika dan Biologi, sungguh saya tidak pernah suka kedua mata pelajaran itu. Teman yang ga ada angin, ga ada hujan tiba-tiba nyuekin. Guru yang judes waktu menerangkan program Lotus, yang setiap kali ditanya jawabannya adalah: "coba aja sendiri". Sampai sekarang saya penasaran di mana dia dan bekerja sebagai apa. Murid yang dia buat sakit hati bukan saya satu-satunya.
Pada hari yang menurut saya naas itu, cicit laki-laki pertama dari nenek saya lahir. Sekeluarga besar bersukacita. Namun saya dengan dodolnya mengingat hari kelahirannya sebagai hari yang menyebalkan karena dipenuhi oleh ketidaknyamanan. Maklum, waktu itu saya abege yang masih sering galau dan cocokologi.
Friday, the 13th yang pertama tahun ini jatuh pada bulan Maret lalu, beberapa saat setelah pemerintah pusat mengumumkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sehari sebelumnya anak saya yang sulung seharusnya mementasikan kesenian dari seluruh penjuru Indonesia. Rencananya dia dan teman-temannya akan menarikan tari Tor-tor dari Sumatera Utara dan memainkan lagu-lagu daerah dengan biola.
Mereka semua sudah berlatih sangat keras, sangat rajin, setiap hari gladi resik. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih; sehari sebelum pementasan ada gosip beredar salah satu murid di sekolah yang berada di yayasan yang sama, namun berbeda kota, telah positif terinfeksi Covid-19. Akibatnya orang tua dilarang datang untuk menonton langsung pementasan di sekolah. Semua disiarkan melalui IG Live yang tentu saja tidak maksimal. Sampai sekarang tidak ada video pementasan itu di akun Youtube sekolah.
Ketika itu sebangsa setanah air masih berada pada tahap shocked, tidak percaya bahwa virus yang berasal dari negara yang terletak jutaan kilometer dari tanah kita akhirnya bisa sampai juga di sini. Ketika itu belum terpikir untuk contact tracing. Sumber dayanya yang belum memadai, ditambah gosip yang santer beredar dan kebingungan publik itu, membuat sekolah memutuskan Kamis, 12 Maret 2020 sebagai hari terakhir siswa belajar di sekolah.
Pada Friday, the 13th itu siswa diliburkan dan kami pun mengunjungi rumah orang tua saya. Saya mulai cemas karena pada sore harinya ada email tugas segudang dari guru-guru kedua anak saya. Ceritanya mereka akan men-drop materi pelajaran, saya yang harus mengajari anak di rumah, menguji anak, men-submit hasil ujiannya, dan tetap membayar uang sekolah dengan nominal normal.
'Kan mateng?
Pada hari "sial" itulah dimulainya perjuangan saya dan suami untuk mengembalikan hak anak-anak kami untuk mendapat pendidikan sesuai dengan kewajiban yang telah kami tunaikan. Sebuah perjuangan yang menguras tenaga dan air mata, yang membuka karakter sebenar-benarnya dari seseorang.
Semua tentang crazy School from Home bermula dari Friday, the 13th itu, jadi pada benak saya hari itu adalah hari yang tidak mengenakkan.
Nah, bagaimana dengan Friday, the 13th pada hari ini?
Hari ini berjalan biasa dengan segala kesibukan menyangkut anak-anak dan rumah tangga. Tapi ..., ada satu hal istimewa nih. Saya diberi kesempatan untuk mempromosikan dua buku karya saya, yang pertama adalah "Randomness Inside My Head" yang terbit pada tahun 2016 dan yang kedua adalah "The Cringe Stories" yang saat ini sedang dicetak, pada sesi Zoom Klub Buku KLIP malam ini.
Satu hal yang membuat saya malu-malu sungguh malu sejak menjadi penulis komersil adalah keharusan untuk mempromosikan diri.
Beneran lho, saya banyak malunya kalau harus melakukan ini. Apakah mempromosikan diri bisa dihindari? Bisa saja, tapi bagaimana karya dan diri saya bisa dikenal kalau saya diam-diam di pojokan? Saya lebih ingin buku saya dikenal, dan bukan pribadi saya. Sebuah hal yang tidak mungkin 'kan; kedua hal ini sudah satu paket yang tidak bisa dipisahkan.
Mempromosikan buku yang sudah lama sekali saya tulis membuat saya harus membaca cepat buku itu tadi siang. Saya sudah lupa kedua belas ceritanya. Ada beberapa cerita yang saya masih ingat latar belakang idenya, tapi tidak secara terperinci.
Sebagai contoh, untuk kisah pembajakan mobil di buku "Randomness" saya mengacu pada nasihat Mama saya yang tak pernah lelah selalu mengingatkan saya untuk mengunci pintu begitu memasuki mobil. Maklum, mobil saya dulu Avanza model lama yang kuncinya naik-turun dan tidak otomatis. Mama saya selalu berkata, "Segera kunci pintu, jangan sampe ada orang lain masuk."
Nah, kalau ada orang lain masuk ke mobil saya waktu saya belum sempat mengunci pintu, lalu bagaimana? If that happens, then what? Else, what will happen?
Perandaian seperti itulah yang pada akhirnya membuat saya "melahirkan" cerita tersebut setelah mengantarkan Mama saya pulang ke rumahnya pada hari itu. Enaknya menjadi penulis fiksi adalah adanya kebebasan untuk berandai-andai tanpa batasan. Semuanya mungkin terjadi, wong semesta dan semua makhluk hidup di dalamnya adalah kewenangan kita sebagai pencipta. Enak bisa playing god sesekali.
Waktu teman saya, Len-chin bercerita bahwa kisah pembajakan itu benar-benar terjadi di Malaysia, saya cuma bisa ketawa. Tidak ada yang baru di bawah matahari. Semua ide adalah hasil daur ulang, cara mengemukakan ide itu yang unik bagi setiap orang.
Saya tidak pernah mendengar berita pembajakan mobil di Malayasia yang Len-chin sebutkan, tapi saya tidak menafikan kenyataan bahwa hal itu mungkin pernah, sedang, dan akan terjadi. Logika dari cerita pembajakan mobil itu sangat sederhana: kamu yang tidak hati-hati bisa dicelakai oleh orang lain. Kejahatan terkadang terjadi bukan karena niat, tapi karena ada kesempatan.
Pada pertanyaan yang lain, Len-chin juga menyatakan keheranannya tentang cerpen saya dalam buku "Randomness" yang menceritakan dua orang wanita yang berteman akrab, dimana salah satunya berniat tidak menikah dan langsung pergi ke bank sperma supaya bisa mendapatkan anak.
Ide cerita yang sama menjadi premis bagi sebuah drakor hits berjudul "Oh My Baby", yang dibintangi oleh Jang Nara dan ditayangkan pada tahun ini. Bedanya, di cerita saya tidak ada alur yang memasukkan tokoh-tokoh pria potensial yang mungkin menjadi calon daddy. Percakapan yang saya dengar secara tak sengaja di ruang tunggu sebuah rumah sakit empat tahun lalu itu hanya berkutat di sekitar what if.
What if tidak menikah tapi ingin punya anak? Then what (adopsi anak, misalnya)? Else what (mencari donor sperma, misalnya)?
Dari situ saya kemudian ditanya: bagaimana cara mendapatkan dan mengembangkan ide?
Tips saya cuma satu: banyak-banyaklah melihat.
Melihat tidak hanya dengan mata, tapi juga dengan empat indra yang lain. Dengar, rasakan, endus, kecap, manfaatkan semua indra itu tanpa kecuali untuk mendukung penglihatan.
Supaya ketika kita sebagai penulis memandang hujan, kita tidak hanya melihat tetesan air yang jatuh dari langit. Kita mendengar suaranya yang jatuh memercik ke permukaan bumi. Kita mencium aromanya yang harum karena membasahi tanah. Kita merasakan kelembutan yang menggelincir di kulit kita ketika kita kehujanan. Kita mencicipi butiran yang dingin dan segar ketika kita membuka mulut untuk mengecap hujan.
Pergunakan semua panca indra, mainkan semua. Banyak melihat juga berarti banyak menonton, apalagi kalau menonton film, serial, atau drama Korea. Mengamati cara bercerita orang lain bisa memberikan inspirasi kepada cara kita sendiri bercerita. Inspirasi ya, ingat, bukan plagiasi. Tidak ada yang benar-benar baru di bawah matahari bukan berarti kita bebas mengklaim apa yang bukan milik kita. Malulah pada diri sendiri dan generasi penerus kita, ketahuan ataupun tidak.
Teman yang lain menanyakan bagaimana proses kreatif saya dalam menghasilkan cerita. Empat tahun lalu saya bisa menyelesaikan satu cerpen dalam sekali duduk. Mulai tahun ini, setelah dua tahun hiatus, saya tidak bisa lagi melakukannya.
Buku kumpulan cerpen saya yang berjudul "The Cringe Stories" adalah kumpulan cerpan (cerita panjang, bukan pendek karena cerita yang paling pendek sepanjang tujuh halaman dan paling banyak dua puluh enam halaman) yang saya tulis sebagai setoran KLIP mulai bulan Juli lalu. Pada tahun ini saya menyadari bahwa saya sangat menikmati menulis cerpen.
Saya suka berlama-lama menjelaskan latar belakang dan memperkaya alur. Saya tahu tujuan penceritaaan dan saya tidak terburu-buru untuk tiba di sana. Mungkin ini adalah akibat proses kontemplasi yang saya tuliskan di sini tentang alasan menulis dua ribu kata dalam sekali duduk. Silakan baca jika kamu berkenan.
Setiap cerita dalam "The Cringe Stories" saya tulis dalam tiga sampai empat babak. Satu-satunya cerita yang saya tulis sekali jadi adalah cerita pertama di dalam buku ini, tentang seorang pria yang selalu membawa pisau. Hmmm, penasaran 'kan? Tunggu kehadirannya ya .... Eh jadi promosi, hahaha.
Sebelum sesi Zoom dimulai sebenarnya saya sudah menyiapkan beberapa poin untuk saya bagikan kepada rekan-rekan sesama penulis. Akan tetapi, kesibukan sepanjang hari membuat saya tidak mempunyai waktu untuk mempersiapkan diri secara maksimal. Wong saya baru sampai di rumah setelah dua pembicara sebelum saya selesai berbagi. Adrenalin masih mengalir deras setelah ngebut menempuh 20 kilometer dalam 30 menit. Adrenaline rush masih saya rasakan benar ketika mulai mempromosikan kedua buku saya tersebut.
Untuk buku pertama saya membuka dengan sebuah kalimat: menerbitkan buku hari gini tidak sulit. Saya menceritakan bagaimana saya mulai menulis cerpen lagi setelah hiatus selama enam belas tahun. Tanggapan teman-teman yang membaca cerpen saya di FB Notes. Dorongan suami untuk membukukan sembilan cerpen saya yang pertama. Kritik dan saran yang jujur dari suami dan adik-adik saya yang juga kutu buku.
Saya juga menceritakan tentang ditolak oleh enam belas penerbit karena menurut mereka buku berbahasa Inggris tidak bisa dijual. Prinsip saya ketika itu: kalau tidak ada pintu yang terbuka, bikin aja pintu sendiri. Kenekatan saya mencari link untuk bisa memajang buku saya di toko buku K dan P yang menjual buku-buku berbahasa Inggris. Perjuangan saya yang melibatkan anak-anak di setiap proses; tidak ada perjalanan dan meeting dengan mitra usaha yang tidak dihadiri juga oleh mereka ketika mereka masih berusia tujuh dan tiga tahun.
Saya juga membagikan rencana saya ke depannya untuk berjualan buku secara online setelah berkaca pada pengalaman sebelumnya mendistribusikan, membuat kontrak, melakukan penagihan, mengecek inventori, sampai menjemput buku yang diretur, yang semuanya dilakukan sendirian. Dengan kondisi keluarga sekarang, saya memilih cara berjualan yang paling efisien dalam hal waktu, tenaga, dan biaya. Sebuah toko buku online sudah dibuat di salah satu market place untuk menjual buku-buku karya saya dan suami saya.
Sebuah pertanyaan kemudian dilemparkan oleh Mbak Halida yang berasal dari IP Jerman. Ini kali pertama saya bertemu secara virtual dengan Mbak Halida dan saya senang sekali karena beliau memberikan pertanyaan yang sangat bagus. Beliau bertanya tentang missing link yang ditemukan pada novel-novel laris.
Misalnya pada sebuah alur diceritakan seseorang pergi ke suatu tempat dengan sepeda. Kemudian diceritakan bahwa orang itu pulang dari tempat itu dengan menggunakan angkot. Apa yang hilang di sini? Apa yang terjadi dengan sepedanya sehingga tokoh itu pulang dengan alat transportasi lain? Mbak Halida menanyakan pendapat saya tentang missing link ini; apakah selama menulis alur, apalagi novel, perlu ada pencatatan?
Saya jawab, ya. Ketika menciptakan karakter, tokoh utama maupun sampingan, hal pertama yang perlu dicatat adalah usia. Hal ini penting karena usia akan menentukan cara berbicara, wawasan, dan persepsi yang mereka miliki terhadap diri sendiri dan lingkungan di sekitar mereka.
Saya ambil sebuah contoh. Misalnya tokoh utama di dalam cerita kita adalah seorang anak berusia empat tahun. Jika kita tidak mencatat usianya dan "melupakan" fakta tersebut saat sedang asyik menulis alur cerita, maka ada kemungkinan kita membuat dia mengucapkan kata-kata yang sulit seperti "persepsi", "kolaborasi", dan kata lain sejenisnya. Sebuah hal yang sulit diterima nalar, bukan?
Menentukan usia sebuah tokoh adalah tonggak sebelum mencatat hal berikutnya.
Rentang waktu atau garis perjalanan waktu. Jika misalnya diceritakan tokoh-tokoh utamanya bertemu, lalu berpisah, lalu bertemu kembali sekian tahun kemudian, semua tahun yang dijadikan setting tempat dan waktu harus dicatat dengan baik. Jangan sampai , misalnya, cerita terjadi pada tahun 1980-an dan penulis khilaf menyebutkan perjumpaan kembali tokoh-tokoh ini terjadi sepuluh tahun kemudian pada tahun 2020.
Hal ketiga yang perlu dicatat jika misalnya cerita melibatkan hubungan keluarga atau relasi yang sangat personal di antara tokoh-tokohnya adalah pembuatan pohon keluarga atau diagram kekerabatan.
Misalnya cerita berkutat di seputar kehidupan tiga generasi dari dua keluarga yang saling bermusuhan. Generasi ketiga pada kedua keluarga itu saling jatuh cinta walau ditentang oleh semua orang (tipikal sekali ya?). Supaya tidak belibet dan salah menyebutkan nama tokoh dan jenis hubungan keluarganya di tengah-tengah buku, penulis lebih cepat lebih baik menggambar pohon keluarga dari tokoh-tokoh yang dia ciptakan tersebut.
Hal keempat dan terakhir yang perlu dicatat selama menulis alur supaya missing link itu tidak terjadi adalah semua hal yang berhubungan dengan profesi dari karakter yang kita ciptakan. Mengapa ini penting? Supaya profesi yang kita pilih menjadi kesatuan dari kepribadian karakter itu, bukan sekedar tempelan untuk mengatakan karakter ini seorang pekerja dan bukan pengangguran.
Misalnya, tokoh utama kita adalah seorang dokter yang bekerja di bagian Instalasi Gawat Darurat. Suatu hari seorang pasien dengan cardiac arrest datang. Sebagai penulis, kita perlu mencari tahu semua hal penting, meriset dengan menyeluruh prosedur apa yang harus diikuti dan peralatan apa yang digunakan oleh seorang dokter yang bertugas di IGD. Jangan sampai kita menulis, misalnya, dokter menggunakan ventilator, alih-alih defibrillator, untuk mengejutkan jantung pasien itu. Nanti kita ditertawakan oleh pembaca kita, apalagi mereka yang berprofesi sebagai dokter ....
Sebagai penutup, saya mengatakan perlunya sesekali membagikan karya fiksi yang kita tulis di media sosial. Bagikanlah untuk kurun waktu tertentu saja, jangan lama-lama supaya idenya tidak dicuri orang lain. Kalau memungkinkan, tetapkan password khusus untuk pembaca yang kita targetkan, misalnya teman-teman di komunitas penulis, supaya bisa membukanya dan syukur-syukur memberikan kritik dan saran.
Untuk buku pertama saya, "Randomness Inside My Head", hanya empat atau lima dari total dua belas cerita yang saya pernah pajang di media sosial. Begitu cerpen-cerpen itu dikumpulkan ke dalam sebuah buku, semua cerpen yang ada di Facebook saya hapus.
Sedangkan untuk buku kedua "The Cringe Stories", hanya tiga dari total sembilan cerita yang saya bagikan di blog selama beberapa hari sebagai teaser untuk kehadiran buku kedua ini. Ketiga cerita itu pun tidak saya berikan ending-nya supaya pembaca penasaran dan menantikan kapan buku selesai dicetak. Semoga saja sih, hehehe.
Selain itu saya juga memberikan tips untuk proses swasunting. Terkadang proses penyuntingan bikin seorang penulis sangat malas, lebih malas daripada waktu menulis cerita itu sendiri. Mengapa demikian? Karena pada proses penyuntingan, penulis diperhadapkan, dibenturkan dengan kapabilitas dirinya sendiri.
Dia dituntut untuk dengan rendah hati mengambil sudut pandang lain supaya buku lebih bisa diterima oleh pembaca, lebih laku, dan lain sebagainya. Ego penulis terkadang tidak mengijinkan hal itu, sehingga banyak penulis yang saya tahu sangat enggan memulai penyuntingan sebelum mengirimkan naskah ke penerbit karena enggan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang mungkin dia sudah buat.
Tips untuk memulai proses swasunting adalah dengan mengendapkan naskah, jika memungkinkan, selama kurun waktu tertentu. Saya pernah mencoba menulis sampai selesai tanpa menyunting, mengendapkan naskah itu selama satu sampai empat minggu, lalu kembali memegangnya untuk memulai penyuntingan. Dari pengalaman tersebut saya mengambil kesimpulan: satu minggu adalah waktu yang paling tepat untuk merevisi struktur, alur, atau bahkan sudut pandang penceritaan (PoV), tanpa mengubah garis besar cerita.
Jika naskah dipegang kembali setelah ditinggalkan lebih dari satu minggu, maka kita sebagai penulis akan melihat naskah itu dengan mata yang sama sekali baru. Dalam satu bulan hidup kita bergerak cepat dan diri kita pun banyak berubah. Perubahan-perubahan dalam hidup akan mengubah cara kita bercerita. Alih-alih "hanya" merevisi naskah yang sudah jadi dan hanya perlu dimatangkan, bisa-bisa kita merombak keseluruhan cerita dan membuat sebuah cerita baru.
'Kan sayang? Waktunya, tenaganya, dan lain sebagainya.
Jadi, untuk diri saya sendiri jika waktu memungkinkan saya akan mengendapkan naskah selama satu minggu sebelum melakukan swasunting. Itulah yang saya lakukan dengan naskah buku "The Cringe Stories". Selain menulis satu cerpan dalam beberapa babak, saya juag berlama-lama mengambil waktu, menjaga jarak dengan tulisan saya supaya saya punya sudut pandang yang lebih segar ketika "kami bertemu lagi".
Aktivitas promosi kedua buku saya pada sesi Zoom kali ini malah lebih seperti workshop menulis kreatif, ya, dan bukan marketing buku? Hehehe. Pada intinya, saya senang berbagi. Dan teori yang dijabarkan panjang kali lebar kali luas di dalam beribu-ribu buku, buat saya pribadi lebih enak didengar dan akan lebih nyantol di kepala jika didengar sebagai pengalaman dari penulis lain.
Jadi, kata siapa Friday, the 13th adalah hari sial? Bukan hari sial jika dihabiskan bersama Klub Buku KLIP. Eaaa.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H