Supaya ketika kita sebagai penulis memandang hujan, kita tidak hanya melihat tetesan air yang jatuh dari langit. Kita mendengar suaranya yang jatuh memercik ke permukaan bumi. Kita mencium aromanya yang harum karena membasahi tanah. Kita merasakan kelembutan yang menggelincir di kulit kita ketika kita kehujanan. Kita mencicipi butiran yang dingin dan segar ketika kita membuka mulut untuk mengecap hujan.
Pergunakan semua panca indra, mainkan semua. Banyak melihat juga berarti banyak menonton, apalagi kalau menonton film, serial, atau drama Korea. Mengamati cara bercerita orang lain bisa memberikan inspirasi kepada cara kita sendiri bercerita. Inspirasi ya, ingat, bukan plagiasi. Tidak ada yang benar-benar baru di bawah matahari bukan berarti kita bebas mengklaim apa yang bukan milik kita. Malulah pada diri sendiri dan generasi penerus kita, ketahuan ataupun tidak.
Teman yang lain menanyakan bagaimana proses kreatif saya dalam menghasilkan cerita. Empat tahun lalu saya bisa menyelesaikan satu cerpen dalam sekali duduk. Mulai tahun ini, setelah dua tahun hiatus, saya tidak bisa lagi melakukannya.
Buku kumpulan cerpen saya yang berjudul "The Cringe Stories" adalah kumpulan cerpan (cerita panjang, bukan pendek karena cerita yang paling pendek sepanjang tujuh halaman dan paling banyak dua puluh enam halaman) yang saya tulis sebagai setoran KLIP mulai bulan Juli lalu. Pada tahun ini saya menyadari bahwa saya sangat menikmati menulis cerpen.
Saya suka berlama-lama menjelaskan latar belakang dan memperkaya alur. Saya tahu tujuan penceritaaan dan saya tidak terburu-buru untuk tiba di sana. Mungkin ini adalah akibat proses kontemplasi yang saya tuliskan di sini tentang alasan menulis dua ribu kata dalam sekali duduk. Silakan baca jika kamu berkenan.
Setiap cerita dalam "The Cringe Stories" saya tulis dalam tiga sampai empat babak. Satu-satunya cerita yang saya tulis sekali jadi adalah cerita pertama di dalam buku ini, tentang seorang pria yang selalu membawa pisau. Hmmm, penasaran 'kan? Tunggu kehadirannya ya .... Eh jadi promosi, hahaha.
Sebelum sesi Zoom dimulai sebenarnya saya sudah menyiapkan beberapa poin untuk saya bagikan kepada rekan-rekan sesama penulis. Akan tetapi, kesibukan sepanjang hari membuat saya tidak mempunyai waktu untuk mempersiapkan diri secara maksimal. Wong saya baru sampai di rumah setelah dua pembicara sebelum saya selesai berbagi. Adrenalin masih mengalir deras setelah ngebut menempuh 20 kilometer dalam 30 menit. Adrenaline rush masih saya rasakan benar ketika mulai mempromosikan kedua buku saya tersebut.
Untuk buku pertama saya membuka dengan sebuah kalimat: menerbitkan buku hari gini tidak sulit. Saya menceritakan bagaimana saya mulai menulis cerpen lagi setelah hiatus selama enam belas tahun. Tanggapan teman-teman yang membaca cerpen saya di FB Notes. Dorongan suami untuk membukukan sembilan cerpen saya yang pertama. Kritik dan saran yang jujur dari suami dan adik-adik saya yang juga kutu buku.
Saya juga menceritakan tentang ditolak oleh enam belas penerbit karena menurut mereka buku berbahasa Inggris tidak bisa dijual. Prinsip saya ketika itu: kalau tidak ada pintu yang terbuka, bikin aja pintu sendiri. Kenekatan saya mencari link untuk bisa memajang buku saya di toko buku K dan P yang menjual buku-buku berbahasa Inggris. Perjuangan saya yang melibatkan anak-anak di setiap proses; tidak ada perjalanan dan meeting dengan mitra usaha yang tidak dihadiri juga oleh mereka ketika mereka masih berusia tujuh dan tiga tahun.
Saya juga membagikan rencana saya ke depannya untuk berjualan buku secara online setelah berkaca pada pengalaman sebelumnya mendistribusikan, membuat kontrak, melakukan penagihan, mengecek inventori, sampai menjemput buku yang diretur, yang semuanya dilakukan sendirian. Dengan kondisi keluarga sekarang, saya memilih cara berjualan yang paling efisien dalam hal waktu, tenaga, dan biaya. Sebuah toko buku online sudah dibuat di salah satu market place untuk menjual buku-buku karya saya dan suami saya.
Sebuah pertanyaan kemudian dilemparkan oleh Mbak Halida yang berasal dari IP Jerman. Ini kali pertama saya bertemu secara virtual dengan Mbak Halida dan saya senang sekali karena beliau memberikan pertanyaan yang sangat bagus. Beliau bertanya tentang missing link yang ditemukan pada novel-novel laris.