"Mas!" Kali ini suamiku membanting piring di hadapannya. Spageti dan sausnya berhamburan ke mana-mana. Wanita yang dimaksud anakku hanya terkesiap, tapi kemudian ia sigap mengambil tisu dan mulai membereskan kekacauan yang dibuat suamiku.
Anak bungsuku hanya tertegun memandangi gelasnya yang berisi soda. Soda. Untuk makan malam. Huh. Kalau aku masih hidup, ini tidak akan terjadi.
Suamiku memang selalu ceroboh soal makanan yang bergizi untuk anak-anak. Ketika yang sulung berusia lima tahun dia sukses diopname di rumah sakit karena diare berkepanjangan. Lima hari dan dua puluh juta Rupiah hanya gara-gara dua potong cireng.
Percakapan selanjutnya tak kuikuti karena aku sibuk memandangi anak bungsuku. Anakku sayang, anakku malang. Aku meninggalkannya ketika dia bahkan belum akil baligh. Aku meninggalkannya terlalu tiba-tiba.
Dialah orang yang mendapatiku sudah meninggal dalam tidur. Hanya gara-gara aku tak kunjung menjemputnya, dia nekat pulang jalan kaki dari sekolahnya yang terletak lumayan jauh dari rumah. Waktu itu rohku sudah keluar dari tubuhku, tapi masih bisa kulihat ia menjerit histeris memanggil namaku dari balik pintu kawat nyamuk.
Tanganku ingin menggapainya, namun ragaku sudah tertinggal. Semua usahaku untuk mendekati dan memeluknya hanyalah usaha menjaring angin. Hatiku pedih tercabik-cabik, tapi tak ada tangis yang bisa keluar.
Dengan putus asa kulihat para tetangga merusak lubang kunci dan memaksa masuk ke dalam. Kupandangi anak bungsuku yang memelukku erat sambil berteriak minta maaf.
"Jangan pergi, Mama, jangan mati! Aku janji matematika ga akan dapat nilai nol lagi!"
Dia terus-menerus mengulangi kata-kata itu sambil melolong kesakitan. Para tetangga tak berusaha lagi memisahkannya dari tubuhku yang sudah mendingin. Mereka hanya bisa menundukkan kepala, ikut merasakan kepiluan anakku.
Aku menyesali waktu kami bersama di dunia yang tak banyak, tapi anakku menyesali nilainya yang buruk sesaat sebelum aku meninggal. Betapa satu momen bisa diartikan berbeda oleh isi kepala yang tak sama.
Aku mengayunkan kedua kakiku sambil duduk di atap rumahku. Peristiwa demi peristiwa berkelebat di benakku. Sudah satu bulan berlalu sejak kulihat suamiku membawa pulang wanita itu. Sudah tiga hari berlalu sejak kulihat truk-truk datang silih-berganti mengangkut barang-barang keluar dari rumah yang telah kutinggali selama dua puluh tahun.