"Penyesalan itu datangnya belakangan, kalau duluan namanya antisipasi."
Aku berhenti berkeliling ketika kudengar kalimat itu. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum kusadari yang barusan bicara sedang melayang-layang di atasku. Kalau aku masih punya jantung, pasti jantungku sudah berhenti.
"Lho, Pak RT?"
"Apa kabar, Bu? Sehat-sehat saja, bukan?"
Kalau aku masih punya mulut pasti aku akan ternganga. Pak RT yang rumahnya hanya berjarak sebelas rumah dari rumahku kini terbang di udara sepertiku. Tubuhnya berwarna putih transparan, namun wajahnya masih terukir jelas, tanda bahwa dia belum lama meninggal.
"Kok bisa, Pak?" tanyaku setelah sekian menit termangu.
"Ya bisa dong, semua orang mati, Bu," kelakarnya.
Aku menoleh ke arah suara anjing yang melolong di kejauhan.
"Si Bleki tahu saya masih di sini makanya dia masih suka manggil saya."
"Kapan ..., Pak?" Dengan hati-hati aku melontarkan pertanyaan itu. Aku masih ingat betul temperamennya yang kasar dan meledak-ledak di balik wajahnya yang terlihat santun dan manis.
"Dua hari lalu, Bu. Stroke."