Dari jauh aku bisa melihat anak-anakku sibuk berkemas. Aku tidak tahu apakah mereka akan mengikuti ayah mereka dan istri barunya, atau mereka akan tinggal di rumah yang berisi kenangan bersamaku.
Seandainya aku masih punya pita suara, seandainya aku masih punya kantung air mata, seandainya aku masih punya kuku untuk mencakar wajah pria yang pernah berjanji akan selalu setia padaku.
Manusia adalah makhluk dengan ingatan paling pendek. Dulu dia berjanji tidak akan menikah lagi jika aku meninggal duluan. Memulai suatu hubungan lagi dari awal sangatlah melelahkan, begitu katanya. Aku akan fokus mengurus anak-anak saja, sumpahnya.
Empat bulan setelah aku pergi, dia mulai mengirimkan banyak pesan ke telepon genggam seorang wanita di kantornya. Tiga bulan kemudian dia nekat memperkenalkannya kepada anak-anak.
Jiwaku belum bisa lepas dari rumah itu, dari anak-anakku; aku masih terikat pada mereka. Batas-batas alam roh tidak mengijinkanku mengikuti suamiku ke manapun dia pergi. Akan tetapi, aku bisa mengintip dia yang tersenyum simpul setiap kali memandang layar HP sambil menonton televisi. Aku tahu dia tidak lagi mendengar anak-anak bercerita tentang hari mereka. Aku tahu ada seseorang memenuhi benaknya.
Kupandangi tanganku yang tembus pandang. Jika ragaku masih ada, maka aku masih bisa melihat sepasang cincin emas melekat di jari manis kedua tanganku. Cincin kawin di tangan kanan dan cincin dengan ukiran nama anak-anak di tangan kiri.
Kedua cincin itu entah bagaimana nasibnya, sama seperti anak-anakku. Dengan cepat kukitari lagi rumahku yang berbentuk bujur sangkar. Ketika aku lewat pohon-pohon bergoyang kencang, rumput-rumput hampir rebah, dan anjing Pak RT menggonggong di kejauhan.
Brengsek, jahanam, penipu, umpatku.
Tak setia, tak bisa dipercaya, lebih baik mati saja, makiku.
Kalau saja aku tahu akan begini, dulu tak kuterima pinangannya. Dulu aku akan puas dengan karirku yang sedang menanjak. Dulu aku tidak akan mengorbankan banyak hal untuk membesarkan anak-anak tanpa bantuan.
Kenapa aku baru menyesal sekarang, setelah aku menjadi hantu?