Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saat Anak Berkata: "Aku Rindu Sekolah"

7 Juni 2020   09:53 Diperbarui: 10 Juni 2021   14:26 5510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya kira kalimat di atas hanya menjadi suara hati anak-anak saya, tapi ternyata menjadi suara hati saya juga.

Hari Jumat kemarin saya dan anak-anak ke sekolah setelah tepat 3 bulan lamanya diam di rumah. Kami datang untuk mengambil buku, binder, tas pelajaran seni rupa, dan barang-barang lain yang anak-anak tinggalkan di ruang kelas karena School from Home (SFH) mendadak mulai pertengahan bulan Maret lalu.

Guru-guru mereka juga masuk kerja untuk pertama kalinya dan mengatur jadwal pengambilan barang siswa supaya tidak ada penumpukan orang yang datang ke sekolah. Begitu di pintu gerbang suhu tubuh kami diukur tapi saya tidak melihat ada hand sanitizer di dekat pos satpam.

Saya sudah mewanti-wanti anak-anak supaya tidak menyentuh apa pun. Himbauan yang mungkin sekilas saja terdengar karena mereka langsung lari melintasi lapangan basket yang biasanya menjadi tempat mereka menunggu sampai saya menjemput. Anak saya yang bungsu mengikuti kakak-kakaknya dengan sigap. Tiga bulan lalu ia belum lancar berjalan, sekarang ia ikut melompat-lompat bersama mereka.

Entah kenapa tenggorokan saya rasanya tercekat waktu melintasi lapangan itu. Anak-anak sepertinya juga dilanda emosi yang sama. Ah, memang pada dasarnya kami keluarga yang sentimentil, kami tiba-tiba terkenang akan rutinitas dan hari-hari sekolah biasa sebelum pandemi melanda. Lapangan basket adalah tempat berolahraga, tempat bertanding waktu acara 17 Agustus, tempat upacara, dan lain sebagainya.

Covid-19 telah merenggut hal penting dari anak-anak, komunitas, pergaulan, keakraban, dan mengubah drastis hidup mereka.

Baca juga: "Aku Rindu Sekolah", Buktikan!

Perjalanan kami diiringi seorang satpam untuk memastikan kami langsung menuju ruang kelas anak saya yang sulung. Area sekolah memang sangat luas dan ada banyak orang tua yang datang pada hari itu jika dilihat dari jumlah kendaraan yang parkir di luar gerbang.

Area pertama yang kami lewati dari gedung itu adalah kantin. Ini tempat anak saya makan siang. Letaknya bersebelahan dengan lapangan basket sehingga sehabis makan biasanya dia main lempar-tangkap bola bersama teman-temannya.

Dengan suara bergetar dia menunjuk loker tempat dia biasa menaruh tempat bekal dan biolanya.

"I miss school." Itu kali pertama dia mengucapkannya.

Anak tengah saya, adiknya, tidak berkata apa-apa. Maklum, ruang kelasnya berada di gedung berbeda jadi dia tidak merasakan nostalgia yang kakaknya rasakan.

Setelah kantin, kami melewati lorong tempat ruang kelas 3 berada. Ada guru di setiap ruangan dan anak-anak menyapa mereka dengan antusias. Para guru hanya melambaikan tangan dan mencoba tersenyum dengan mata mereka; tidak ada yang berani mendekat. Dari jauh mereka juga mengomentari si bungsu yang sudah mereka gadang-gadang sebagai calon siswa di situ.

Di lantai 2 si Kakak berhenti sejenak mengenang ruang kelasnya waktu dia kelas 4. Sesampainya di lantai 3, dia langsung menyerbu wali kelasnya yang dengan sopan meminta dia untuk menjaga jarak. Dia menurut tapi saya bisa merasakan kesedihannya.

Si Kakak dibantu oleh adiknya untuk membereskan barang-barangnya sementara saya bercakap-cakap dengan wali kelasnya dan 1 orang guru lagi. Kami membahas berbagai hal dari SFH: kendala teknis, rentang konsentrasi anak, penilaian tugas, pemberian ujian, dan lain-lain. Hanya protes si Abang yang menghentikan percakapan kami karena kami masih harus mengambil barang-barang di ruang kelasnya.

Sebelum berpisah saya sempat memfoto si Kakak dengan kedua gurunya. Walau ada wacana untuk membuka sekolah kembali pada bulan Agustus, keraguan masih menggelayuti hati kami sebagai orang tua. Sebelum sekolah memberikan penjelasan mendetail mengenai protokol kesehatan yang akan mereka terapkan, kami memilih untuk menahan anak-anak di rumah.

Turun dari lantai 3 kami melintasi lapangan basket lagi untuk menuju ke Gedung A (yang tadi Gedung B). Anak-anak menyapa para bapak satpam yang sehari-harinya menyambut mereka pada pagi hari dan mengantarkan mereka ke pintu gerbang pada sore hari.

Salah satu dari mereka berkata begini pada saya, "Seneng bisa lihat anak-anak lagi. Sekolah sepi banget kayak kuburan."

Saya memaklumi pernyataannya. Hanya langkah kami yang terdengar sepanjang teras, lobi, dan lorong yang menuju ruang kelas 1. Kami sempat melihat pintu ke arah kantin utama terbuka tapi semua meja dan kursi dibalik; tidak ada lagi jejak kios-kios yang pernah berjualan di sana.

Setibanya di ruang kelasnya si Abang melihat anak lain yang nomor absennya bersebelahan dengan dia. Si Abang dan anak itu langsung berlari saling mendekati untuk saling berangkulan. Saya, dua orang guru, dan ibu dari anak itu kontan berteriak.

"Jangan!"

Baca juga: Pergilah Covid...Pergilah! Kami Rindu Sekolah

Mereka berdua sudah saling memegang bahu dan menoleh ke kami dengan wajah syok.

"Kenapa?!" protes mereka.

Saya dan ibu dari anak itu saling melirik. Kalau saya bilang jangan dekat-dekat karena Corona, saya khawatir ibu itu tersinggung. Namun kita tidak bisa terlalu waspada ya kan, selama masih ada Orang Tanpa Gejala (OTG) di sekitar kita.

Untung ibu dari anak itu bijaksana. Dengan halus dia mengajak anaknya untuk meninggalkan kelas karena mereka sudah selesai mengambil barang-barang mereka. Anak saya dan anaknya hanya bisa saling melambaikan tangan dengan wajah kebingungan dan dengan janji untuk "kapan-kapan main lagi". Entah kapan.

"Kasihan si Abang," kata kakaknya. Bagi dia, lebih baik hanya melihat wajah temannya di layar komputer waktu conference call daripada bertemu dan tidak bisa berdekatan seperti dulu.

Setelah mereka dan 1 orang guru lagi pergi, saya menoleh ke wali kelas si Abang. "Saya ga kebayang gimana stresnya Miss nanti mengingatkan anak-anak sekecil itu untuk selalu jaga jarak. Dan cuci tangan. Dan tutup mulut waktu batuk. Dan lain sebagainya."

Ibu guru muda yang wajahnya sudah pucat pasi karena adegan tadi hanya bisa menganggukkan kepala. "Saya mungkin stres, tapi saya lebih kasihan pada mereka."

Saya mengiyakan. Dengan new normal dimana sekolah berencana menyelenggarakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dalam beberapa shift dengan waktu belajar yang hanya setengah dari biasanya, ada juga kekhawatiran akan kesehatan mental dan emosional anak-anak, selain akan kesehatan fisik mereka.

Kita manusia. Kita perlu kontak erat dengan orang lain. Kita perlu duduk bersebelahan. Kita perlu melihat langsung raut wajah dan gerak-gerik lawan bicara kita.

Kondisi new normal mungkin memberi kita kesempatan untuk melakukan semua itu lagi tapi dengan banyak batasan, banyak rambu, dan banyak kecemasan. Memikirkan apa yang harus anak-anak saya hadapi dalam konteks pergaulan sosial mereka pascapandemi cukup membuat saya down siang hari itu.

Setelah semua barang dikeluarkan dari meja dan loker, si Abang meminta untuk berfoto juga dengan wali kelasnya. Hari belajar tinggal 4 hari lagi. Sebentar lagi si Abang akan naik ke kelas 2. Jadi anggaplah foto tadi sebagai kenang-kenangan perjalanan di kelas 1 yang harus berhenti tiba-tiba.

Sebelum kami beranjak saya sempat melihat foto si Abang tertempel di dinding di bawah tulisan bulan lahirnya. Senyumnya terkembang, dasinya longgar, dan rambutnya kelihatan basah oleh keringat. Rupanya ibu guru mengambil foto itu sebulan sebelum pandemi. Dia berencana mengirimkan surat perpisahan kepada setiap anak bersama dengan pas foto mereka karena dia berniat berhenti bekerja setelah tahun ajaran ini berakhir.

Hati saya semakin sedih mendengarnya. Wali kelas si Abang ini luar biasa. Dia pandai mengajar, dia tulus memperhatikan anak, dan dia gemar mengajarkan isi Alkitab. Saya jadi teringat pada guru si Kakak waktu dia kelas 1 yang juga mengundurkan diri karena akan melahirkan bayi.

Baca juga: Surat Terbuka untuk Mas Nadiem: Mereka Rindu Sekolah tapi Protokol Kesehatan Terpaksa Diabaikan

Melihat mereka berdua saya jadi yakin sekali bahwa guru kelas 1 memang meletakkan fondasi yang penting supaya anak-anak suka belajar di SD yang notabene jauh lebih susah dari di TK. Dari kelas 1 sampai sekarang si sulung selalu menikmati proses belajar, sesulit apapun pelajarannya, dan saya harap si tengah juga akan begitu.

Sambil menyeret plastik-plastik besar berisi barang-barang si Abang, kami menyusuri lagi lorong, lobi, dan teras sekolah yang sunyi sebelum kami mencapai pintu gerbang. Pada suatu masa yang belum terlalu lama tempat-tempat itu penuh dengan derap kaki, gelak tawa, teriakan gembira, dan pengumuman orang tua yang menjemput siapa dari kelas berapa.

Entah kapan kami akan menemui hal-hal itu lagi.

Sekolah anak-anak adalah tempat kami mengukir kenangan selama 7 tahun terakhir. Tempat kami bermitra dengan para guru yang kami percayai untuk mendidik dan mengajar anak-anak kami; tempat kami bersama mereka membesarkan anak-anak. Meninggalkannya dengan tiba-tiba dan tidak tahu kapan akan kembali meninggalkan kepedihan di hati saya dan anak-anak.

Harapan untuk kembali menikmati lingkungan dan suasana sekolah sebelum mereka pindah tahun depan masih ada. Akan tetapi, titik terang yang belum juga terlihat membuat kami sedikit banyak putus asa.

"Aku rindu sekolah," kata si sulung untuk kedua kalinya waktu kami sudah masuk ke dalam mobil.

Iya, Nak, Mama juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun