Setelah semua barang dikeluarkan dari meja dan loker, si Abang meminta untuk berfoto juga dengan wali kelasnya. Hari belajar tinggal 4 hari lagi. Sebentar lagi si Abang akan naik ke kelas 2. Jadi anggaplah foto tadi sebagai kenang-kenangan perjalanan di kelas 1 yang harus berhenti tiba-tiba.
Sebelum kami beranjak saya sempat melihat foto si Abang tertempel di dinding di bawah tulisan bulan lahirnya. Senyumnya terkembang, dasinya longgar, dan rambutnya kelihatan basah oleh keringat. Rupanya ibu guru mengambil foto itu sebulan sebelum pandemi. Dia berencana mengirimkan surat perpisahan kepada setiap anak bersama dengan pas foto mereka karena dia berniat berhenti bekerja setelah tahun ajaran ini berakhir.
Hati saya semakin sedih mendengarnya. Wali kelas si Abang ini luar biasa. Dia pandai mengajar, dia tulus memperhatikan anak, dan dia gemar mengajarkan isi Alkitab. Saya jadi teringat pada guru si Kakak waktu dia kelas 1 yang juga mengundurkan diri karena akan melahirkan bayi.
Baca juga: Surat Terbuka untuk Mas Nadiem: Mereka Rindu Sekolah tapi Protokol Kesehatan Terpaksa Diabaikan
Melihat mereka berdua saya jadi yakin sekali bahwa guru kelas 1 memang meletakkan fondasi yang penting supaya anak-anak suka belajar di SD yang notabene jauh lebih susah dari di TK. Dari kelas 1 sampai sekarang si sulung selalu menikmati proses belajar, sesulit apapun pelajarannya, dan saya harap si tengah juga akan begitu.
Sambil menyeret plastik-plastik besar berisi barang-barang si Abang, kami menyusuri lagi lorong, lobi, dan teras sekolah yang sunyi sebelum kami mencapai pintu gerbang. Pada suatu masa yang belum terlalu lama tempat-tempat itu penuh dengan derap kaki, gelak tawa, teriakan gembira, dan pengumuman orang tua yang menjemput siapa dari kelas berapa.
Entah kapan kami akan menemui hal-hal itu lagi.
Sekolah anak-anak adalah tempat kami mengukir kenangan selama 7 tahun terakhir. Tempat kami bermitra dengan para guru yang kami percayai untuk mendidik dan mengajar anak-anak kami; tempat kami bersama mereka membesarkan anak-anak. Meninggalkannya dengan tiba-tiba dan tidak tahu kapan akan kembali meninggalkan kepedihan di hati saya dan anak-anak.
Harapan untuk kembali menikmati lingkungan dan suasana sekolah sebelum mereka pindah tahun depan masih ada. Akan tetapi, titik terang yang belum juga terlihat membuat kami sedikit banyak putus asa.
"Aku rindu sekolah," kata si sulung untuk kedua kalinya waktu kami sudah masuk ke dalam mobil.
Iya, Nak, Mama juga.