Baca juga: Pergilah Covid...Pergilah! Kami Rindu Sekolah
Mereka berdua sudah saling memegang bahu dan menoleh ke kami dengan wajah syok.
"Kenapa?!" protes mereka.
Saya dan ibu dari anak itu saling melirik. Kalau saya bilang jangan dekat-dekat karena Corona, saya khawatir ibu itu tersinggung. Namun kita tidak bisa terlalu waspada ya kan, selama masih ada Orang Tanpa Gejala (OTG) di sekitar kita.
Untung ibu dari anak itu bijaksana. Dengan halus dia mengajak anaknya untuk meninggalkan kelas karena mereka sudah selesai mengambil barang-barang mereka. Anak saya dan anaknya hanya bisa saling melambaikan tangan dengan wajah kebingungan dan dengan janji untuk "kapan-kapan main lagi". Entah kapan.
"Kasihan si Abang," kata kakaknya. Bagi dia, lebih baik hanya melihat wajah temannya di layar komputer waktu conference call daripada bertemu dan tidak bisa berdekatan seperti dulu.
Setelah mereka dan 1 orang guru lagi pergi, saya menoleh ke wali kelas si Abang. "Saya ga kebayang gimana stresnya Miss nanti mengingatkan anak-anak sekecil itu untuk selalu jaga jarak. Dan cuci tangan. Dan tutup mulut waktu batuk. Dan lain sebagainya."
Ibu guru muda yang wajahnya sudah pucat pasi karena adegan tadi hanya bisa menganggukkan kepala. "Saya mungkin stres, tapi saya lebih kasihan pada mereka."
Saya mengiyakan. Dengan new normal dimana sekolah berencana menyelenggarakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dalam beberapa shift dengan waktu belajar yang hanya setengah dari biasanya, ada juga kekhawatiran akan kesehatan mental dan emosional anak-anak, selain akan kesehatan fisik mereka.
Kita manusia. Kita perlu kontak erat dengan orang lain. Kita perlu duduk bersebelahan. Kita perlu melihat langsung raut wajah dan gerak-gerik lawan bicara kita.
Kondisi new normal mungkin memberi kita kesempatan untuk melakukan semua itu lagi tapi dengan banyak batasan, banyak rambu, dan banyak kecemasan. Memikirkan apa yang harus anak-anak saya hadapi dalam konteks pergaulan sosial mereka pascapandemi cukup membuat saya down siang hari itu.