Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ayah Work from Home, Anak Study from Home, Kalau Ibu?

13 Mei 2020   12:58 Diperbarui: 15 Mei 2020   21:41 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Thinkstockphoto via theintegratedmind.com)

Selama WFH suami saya mengharapkan bisa bekerja di perpustakaan rumah kami dengan penuh ketenangan. Laptop menyala, headset sudah dipakai, handphone di-charge di sebelah laptop, kopi ada di atas meja beserta pulpen dan buku catatan.

Dia mengharapkan bisa menulis email, membuat laporan, menganalisa data, berkomunikasi via telepon dengan rekan kerjanya, tanpa gangguan. Catat ya, tanpa gangguan, mulai dari pukul 8 pagi sampai pukul 12 siang lalu dilanjutkan lagi pukul 1 siang sampai pukul 6 sore.

Ya, tidak mungkin, Bos.

Perpustakaan rumah adalah ruang komunal, satu-satunya tempat kami semua (dua orang dewasa dan dua orang anak) bisa bekerja dan belajar dengan tenang. Di situ ada tatami (sehingga kami bisa rebahan kalau sudah lelah duduk terlalu lama), komputer, printer, alat tulis, kertas, buku-buku, pokoknya semua yang diperlukan untuk bekerja, belajar, dan bersantai sejenak.

Suami saya tidak menggunakan ruangan itu sendirian. Dia harus membaginya dengan dua orang anak selama minimal 7 jam sehari. Anak-anak belajar sambil mengeluarkan banyak bunyi; anak-anak mana yang belajar sambil berbisik-bisik?

Waktu conference call mereka akan banyak bertanya pada guru, berdiskusi dengan teman, bersenda-gurau, dan tertawa lepas. Mau ruangan yang selalu sepi tanpa suara? Ya, tidak mungkin.

Hal ini yang sering kali tidak disadari oleh suami saya. Keributan di sekitarnya membuat fokus dan konsentrasinya menurun. Akibatnya dia merasa jengkel dan terganggu hampir setiap saat, serta menjadi tidak  sabaran terhadap anak-anak.

Waktu saya mengungkapkan hal ini padanya, baru dia tersadar. Sejak saat itu dia langsung pergi ke teras kalau perlu menelepon orang lain. Dia juga menyingkir ke kamar tidur kami kalau anak-anak belajar online dengan suara bising.

Yang kedua, me-manage ekspektasi saya.

Ada hal aneh, selama empat minggu pertama saya melihat suami sebagai bala bantuan di rumah. Saya banyak berharap dia akan mengambil alih tugas menyiapkan sarapan, memandikan bayi waktu pagi, menyuapi bayi makan siangnya, dan memandikan bayi waktu sore. Semua itu sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dua anak yang SFH dan tentu saja sambil bekerja seperti biasa.

Luar biasa ya ekspektasi saya. Padahal seharusnya sewaktu jam istirahat (pukul 12 sampai pukul 1 siang) suami benar-benar beristirahat.

Seusai makan siang seharusnya dia bisa duduk berleha-leha menikmati kopi sambil membaca berita di HP atau bercakap-cakap dengan kedua anak kami yang paling besar. Eh saya malah membebaninya dengan berbagai macam tugas karena saya yakin dia pasti mau membantu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun