Secara psikologis mereka tidak melihat rumah sebagai tempat bekerja dan belajar dalam jangka waktu lama. Secara psikologis mereka tidak siap memindahkan kegiatan utama sehari-hari dari luar rumah ke dalam rumah.
Kekacauan terjadi di rumah karena kesimpangsiuran jadwal dan rutinitas. Suami mulai bekerja tepat pukul 8 pagi, namun tidak demikian dengan anak-anak. Biasanya mereka mulai belajar di sekolah pukul 7 pagi, sekarang mundur 1 jam.
Suami dituntut untuk online setiap saat; dia baru bisa beristirahat waktu jam makan siang. Anak-anak sebenarnya memiliki tiga kali waktu istirahat di sekolah. Namun di rumah jam istirahat seakan-akan bertambah karena mereka tidak online setiap saat; ada jeda 1 sampai 1.5 jam di antara conference call.
Jadwal yang tidak teratur membuat prioritas dan waktu pengerjaan sebuah rutinitas bergeser. Anak-anak bisa main Lego dan membaca/membuat komik sambil menunggu waktu Skype berikutnya (dalam satu hari ada 3 sampai 5 kali jadwal Skype, masing-masing 30 menit).
Namun akibatnya mereka tidak bisa selesai belajar pada saat SFH selesai pukul 3 sore. Mereka memerlukan 2 sampai 3 jam lagi untuk membereskan pekerjaan di sekolah. Akibatnya, jam makan dan tidur malam jadi mundur semua. Besok paginya mereka akan bangun sangat siang. Ini kacau luar biasa.
Empat minggu lalu saya mengumpulkan suami dan anak-anak untuk membicarakan hal ini. Kekacauan tidak bisa dibiarkan. Kami memang sedang membentuk normalitas baru di dalam keluarga dan keseharian kami.
Oleh karena itu, kumpulan aturan dan kesepakatan yang menyesuaikan dengan kondisi kami yang #DiRumahAja harus segera dibuat. Kalau dibiarkan berlarut-larut, hal ini akan membuat kami selalu merasa stres, lelah tanpa alasan, dan membuang banyak waktu setiap hari.
Kunci utama menghilangkan stres akibat WFH dan SFH adalah managing expectation.
Mengatur ekspektasi yang dimiliki oleh setiap anggota keluarga. WFH dan SFH berarti benar-benar bekerja dan belajar dari rumah dengan bantuan internet untuk terhubung dengan orang lain.
Fokus, konsentrasi, dan alokasi waktu yang dibutuhkan harus sama dengan pada saat sebelum pandemi. Tidak boleh ada banyak perkecualian yang membuat jadwal dan rutinitas baru jadi lambat terbentuk. Saya sebagai penghuni rumah 24 jam sehari, sebelum dan sesudah pandemi, harus memastikan hal itu.