Rifqy Abdurraafi' Arifin
222121121
HKI_4D
Review Skripsi yang berjudul
Pemaksaan Perkawinan Oleh Orangtua Terhadap Anak Perempuan Dibawah UmurÂ
(Studi Kasus Di Desa Cigunungsari Kec. Tegalwaru Kab. Karawang)
PendahuluanÂ
Pernikahan adalah ikatan hukum yang memungkinkan pasangan untuk berbagi kepercayaan dan tanggung jawab serta membangun keluarga dan rumah tangga yang bahagia. Siapa pun yang belum dewasa dalam pernikahan tidak dapat mengharapkan kesuksesan dalam pernikahan. Pernikahan memerlukan kedewasaan dan tanggung jawab, serta kematangan mental dan spiritual. Oleh karena itu, pernikahan harus diawali dengan persiapan yang matang.
Perkawinan dalam undang-undang ini didefinisikan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan perkawinan diartikan sebagai tujuan tercapainya perkawinan yang bahagia dan terjalinnya keluarga (rumah tangga) kekal yang berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa .
Menurut syariat Islam, perkawinan adalah perkawinan, akad ketaatan yang sangat teguh terhadap perintah Allah, atau mitzakhan ghalizan yang pelaksanaannya merupakan ibadah. Akad nikah merupakan suatu perbuatan hukum yang sangat penting dan mempunyai akibat-akibat yang ditentukan oleh hukum Islam. Oleh karena itu, mengadakan akad nikah yang tidak sesuai dengan ketentuan syariat Islam merupakan perbuatan sia-sia bahkan haram yang harus dicegah oleh mereka yang mengetahuinya atau bila perkawinan tersebut batal.
Sebagai aturan, untuk membangun keluarga yang rukun, sejahtera, bahagia dan kekal dalam hubungan materiil dan spiritual antara dua individu, setiap perkawinan harus mempunyai hubungan materiil dalam kehidupan berkeluarga. Perkawinan paksa pada anak di bawah umur, dimana orang tua memaksa anak perempuan mereka yang masih di bawah umur untuk menikah dengan laki-laki pilihan mereka sendiri, merupakan hal yang biasa dalam kehidupan lokal, khususnya di komunitas Chigununsari. Motif pemaksaan seperti ini sering muncul karena orang tua tidak ingin anaknya menjadi korban kehamilan di luar nikah dan akhirnya terpaksa menikahkan anak di bawah umur. Alasan lainnya adalah faktor ekonomi dan pendidikan.
Berdasarkan pantauan sementara di Desa Chigununsari, Kecamatan Tegarwal, Kabupaten Karawang, terdapat beberapa pasangan suami istri yang terpaksa menikah di bawah usia sah menikah karena paksaan orang tua. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 mensyaratkan bahwa perkawinan itu sendiri harus dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan, dan Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yaitu: Pernikahan bukan sekedar perkawinan belaka menjelaskan bahwa ada. Izin diberikan kepada laki-laki dan perempuan yang telah mencapai usia 19 tahun.Umumnya, ketika seorang anak dipaksa menikah pada usia dini, alasan orang tuanya adalah agar anak tersebut dapat berkontribusi pada keluarga atau untuk menyelamatkan anak dari kemiskinan dalam keluarga. Kenyataannya, menikahkan anak terlalu dini akan menambah besarnya keluarga dan tidak meningkatkan kehidupan ekonomi keluarga.
Alasan memilih Judul Skripsi
Karena menurut penulis Skripsi ini sesuai dengan ruang lingkup yang ditugaskan dan berkaitan dengan judul Skripsi ini yakni " Pemaksaan Perkawinan Oleh Orangtua Terhadap Anak Perempuan Dibawah Umur terkhusus Di Desa Cigunungsari Kec. Tegalwaru Kab. Karawang." Menurut penulis menarik untuk dikupas mengenai isu tersebut terlebih di zaman sekarang ini yang banyak anak muda menikah dini akan tetapi berdampak pada psikologis anak karena yang seharusnya usia-usia muda ialah waktu untuk mencari relasi dan pengalaman akan tetapi malah sudah memikirkan keluarga. Seharusnya sebagai orang tua mampu bersikap bijak terhadap isu masalah seperti ini karena akan berdampak besar terhadap mental dan psikologis anak.
Pembahasan
Tinjauan Undang-Undang Perkawinan Tentang Pemaksaan Perkawinan Di Bawah Umur
 Syarat-Syarat Sah Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengatur dan menetapkan syarat-syarat sahnya suatu perkawinan di mata hukum. Syarat-syarat sahnya suatu perkawinan dibedakan menjadi syarat materil dan syarat formil. Persyaratan materil adalah persyaratan calon pengantin, sedangkan persyaratan formil adalah formalitas dan formalitas yang harus diselesaikan sebelum dan selama perkawinan.
- Syarat Material
Syarat material antara lain :
1) Diperlukan persetujuan calon pengantin.
Persyaratan ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan harus berdasarkan persetujuan calon pengantin dan kedua calon pengantin. Persyaratan ini dibuat untuk memastikan tidak ada paksaan dalam pernikahan.
2) Perkawinan hanya diperbolehkan apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan telah mencapai umur 19 tahun.
Pasal 7(1) UU Perkawinan mengatur bahwa perkawinan hanya diperbolehkan ketika seorang pria dan seorang wanita telah mencapai usia 19 tahun.
Pasal 7(2) memberikan kemungkinan untuk menyimpang dari ketentuan ayat 1 dengan terlebih dahulu mengajukan pengecualian ke pengadilan.
3) Kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 3, Ayat 2, dan Pasal 4 Akta Perkawinan, seseorang tidak terikat untuk mengawini orang lain
4) Mengenai masa tunggu bagi perempuan yang putus perkawinannya, Pasal 11(2) mengatur: a) 130 hari bila perkawinan putus karena kematian;
b) Tiga waktu suci atau sekurang-kurangnya 90 hari tanpa haid, ditentukan 90 hari.
c) Jika tidak ada haid, ditetapkan 90 hari.
d) Waktu tunggu melahirkan bila janda sedang hamil.
e) Jika hubungan seksual belum terjadi, tidak ada masa tunggu.
5) Tidak melanggar larangan perkawinan berdasarkan Pasal 8, 9 dan 10 UU Perkawinan, yaitu:
a) Sedarah dan sedarah
b) Sedarah Kembali ke halaman
c ) Hubungan seksual (keluarga hubungan termasuk perkawinan)
d) Hubungan seksual
e) Hubungan dengan istri atau dalam hal suami, sebagai bibi atau keponakan dari istri Memiliki lebih dari satu istri
f) Hubungan, perkawinan menurut agamanya atau aturan lain yang berlaku dan peraturan dilarang.
g) Perceraian kedua dan perkawinan selanjutnya dengan orang
b. Â Syarat Formal
Syarat-syarat formal yaitu syarat utama sesuai prosedur hukum, yang meliputi
1)   Pemberitahuan    kehendak    akan    melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.
2) Â Â Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
3)    Pelaksanaan   perkawinan   menurut   agamanya   dan kepercayaannya masing-masing.
4)   Pencatatan   Perkawinan   oleh   Pegawai   PencatatPerkawinan.
Pencatatan Perkawinan
Pencatatan tidak menentukan sahnya suatu perkawinan tapi hanya bersifat administratif untuk menyatakan bahwa bener adanya diselenggerakan perkawinan. Dengan adanya pencatatan perkawinan, perkawinan akan jelas bagi calon mempelai dan masyarakat setempat.
Perkawinan Anak di Bawah Umur Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
Berdasarkan undang-undang Republik Indonesia yang berlaku, terdapat pengertian "dewasa" dan "belum dewasa". Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menyatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus mencapai usia 19 tahun untuk dapat menikah. Namun, mungkin ada penyimpangan dari ketentuan ini jika pengadilan memberikan pengecualian. Surat nikah menjadi sebuah kelegaan bagi pasangan yang masih berusia di bawah 19 tahun. Pengadilan dapat memberikan pengecualian dari perkawinan karena alasan tertentu.
Tujuan pencegahan perkawinan di bawah umur adalah untuk mencegah perkawinan berakhir dengan perceraian. Dukungan pernikahan juga terkait dengan permasalahan kependudukan, pencegahan pernikahan di bawah umur dan pengendalian angka kelahiran yang tinggi.
Tujuan Perkawinan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan. Tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 1 tentang Perkawinan Tahun 1974 adalah untuk mewujudkan keluarga atau rumah tangga yang kekal, membahagiakan kedua belah pihak, dan disesuaikan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Tujuan perkawinan untuk mencegah maksiyat, terjadinya perzinaan, dan atau pelacuran, sebagaimana sabda nabi. "Hai  para pemuda  jika diantara kamu mampu dan berkeinginan untuk kawin, hendaklah kawin" Selanjutnya Nabi berkata pula "Barangsiapa kawin dengan seorang wanita karena agamanya, niscaya Allah akan member karunia dan harta", dan "Kawinilah mereka dengan dasar agama dan sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik asalkan  ia  beragama".
Perkawinan Paksa
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kawin paksa merupakan salah satu cara yang digunakan masyarakat dalam menikah. Tidak ada ketentuan dalam syari'at yang mengharuskan ataupun melarang kawin paksa.
Akibat Kawin Paksa Terhadap Perempuan dibawah UmurÂ
1. Kurangnya keharmonisan suami istri Pernikahan dalam keadaan terpaksa dapat menimbulkan masalah seperti pertengkaran dalam keluarga. Hal ini disebabkan kurangnya komunikasi dan tidak dapat saling memahami karena belum saling mengenal.
2. Ketidakberdayaan Psikologis Perkawinan yang dilakukan secara paksa dapat menimbulkan rasa takut pada perempuan. Sebab perempuan merasa tidak punya kuasa untuk memilih calon pasangannya.
3. Dampak Buruk Terhadap Fisik Wanita Hubungan seksual yang dilakukan pada usia muda di bawah tekanan, tanpa pengetahuan dasar tentang kesehatan seksual dan reproduksi, dapat merusak organ intim yang ada. Dampak lainnya dalam jangka panjang adalah hilangnya kemampuan orgasme dan kemampuan berovulasi/hamil.
4. Terjadi Perceraian Perkawinan paksa terhadap perempuan di bawah umur dapat menimbulkan ketidakharmonisan keluarga dan dapat berujung pada perceraian.
5. Konflik terhadap keluarga pasangan kawin paksa
Faktor-Faktor Perkawinan PaksaÂ
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya Perkawinan paksa antara lain :
1. Pemilihan jodoh yang dicarikan oleh orang tua ataupun kerabat
2. Karena terjadinya insiden yang artinya karena telah melakukan hubungan seksual terlebih dahulu sebelum menikah.
3. Pernikahan  yang  dilakukan  karena  kehendak  orang  tua  tanpa melibatkan persetujuan dari anak hingga anak tidak bisa memilih dengan siapa ia akan menikah.
Pembatalan Perkawinan
Menurut Pasal 22 UU Perkawinan, pembatalan adalah upaya untuk membatalkan suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan. Perkawinan batal adalah perkawinan yang dilakukan antara calon suami dengan calon isteri. Namun, salah satu pihak dapat meminta pengadilan untuk membatalkan pernikahan tersebut.
Praktek Pemaksaan Perkawinaan Di Desa Cigunungsari
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Mayoritas masyarakat di Desa Chigununsari bermata pencaharian sebagai buruh tani, petani, dan pedagang. Namun, banyak masyarakat di Desa Chigununsari yang memilih bermigrasi dari desa tersebut untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Masyarakat Chignungsari tidak lepas dari perilaku keagamaan dan sosial budaya. Hal ini dibuktikan dengan sikap gotong royong dan kekeluargaan yang terus terjalin di masyarakat, solidaritas dan toleransi yang tinggi, keimanan dan ketaatan yang kuat terhadap Islam, serta mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Â
Praktik Perkawinan di Desa Cigunungsari
Â
Pernikahan seringkali dipandang sebagai kewajiban sosial dibandingkan kehendak bebas setiap individu. Pada umumnya pemikiran masyarakat bersifat tradisional, dan perkawinan dimaknai sebagai suatu kebutuhan sosial yang merupakan bagian dari warisan tradisi sosial. Berdasarkan data yang penulis temukan di desa Chigununsari, terdapat beberapa kasus kawin paksa di desa ini. Ada kurang lebih 11 pasangan yang menikah dengan unsur paksaan.
Hasil wawancara dengan pelaku kawin paksa menunjukkan bahwa orang tua dan anggota keluarga memberikan kontribusi yang signifikan sejak awal perjodohan hingga tahap pernikahan. Anak tidak dapat memilih pasangan hidupnya sendiri karena orang tua dan keluarga memaksanya untuk menikah dengan calon pilihannya. Dari 11 pasangan yang menikah, 5 pasangan mengakhiri perjodohan dan tidak ingin melanjutkan pernikahan.
Â
Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Paksa di Desa CigunungsariÂ
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dilakukannya Perkawinan Pasa di Desa Cigunungsari diantarannya ialah,
Faktor EkonomiÂ
Tidak dapat dipungkiri bahwa keadaan ekonomi seseorang sangat berperngaruh termasuk dalam kehidupan rumah tangga, karena mampu secara finansial dapat menunjang apapun yang diinginkan setiap orang. Juga seringkali ekonomi menjadi tolak ukur kebahagian dikalangan masyarakat, jika keadaan ekonomi baik maka kehidupan akan dianggap bahagia.
4 dari 11 pasangan yang diwawancarai penulis terjerumus ke dalam perkawinan paksa dengan alasan ekonomi, orang tua mereka memiliki pola pikir bahwa  menikahkan  anak  akan  mengurangi  beban  hidup, sehingga dapat mengatasi himpitan ekonomi.
Faktor LingkunganÂ
Maraknya seks bebas di kalangan remaja dan dewasa muda menjadi sebab orang tua di Desa Cigunungsari menikahkan putra putrinya. Ditambah Meningkatnya angka aborsi di Indonesia merupakan indikasi bahwa tingkat pergaulan bebas sudah berada di tahap mengkhawatirkan. Juga tidak sedikit dari kalangan gadis muda di desa Cigunungsari yang berakhir menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK).
Faktor Orang tua atau Keluarga
Bahwa orang tua dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan sudah saling berteman lama. Hal ini yang memicu para orang tua/keluarga untuk menikahkan anak mereka dengan alasan agar bisa mempererat tali silaturrahim keluarga mereka meskipun sang anak menolak untuk dinikahkan.
Faktor Putus SekolahÂ
Tidak sedikit anak di desa Cigunungsari yang putus sekolah disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Sebagian besar putus sekolah disebabkan karena ekonomi keluarga yang kurang baik dan juga pengaruh dari lingkungan.
Faktor Hamil diluar Nikah
Banyak anak-anak yang hamil di luar nikah dan diakibatkan karena pergaulan budaya bebas yang mereka dapatkan melalui internet sehingga membuat mereka ingin mencobanya. Pengaruh internet yang seringkali memuat situs porno atau menampilkan pornografi.
Faktor Tradisi
Mayoritas dari orang tua maupun anak di Desa Cigunungsari yang melaksanakan perkawinan dibawah umur memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga membuat masyarakat kurang memahami hukum perkawinan. Menurut masyarakat, jika seorang bapak  sudah mencarikan laki-laki sebagai calon pasangan hidup untuk anak perempuannya maka anak tersebut harus setuju sebab jika anak tersebut menolak maka akan dianggap tidak sopan dan tidak berbakti kepada orang tuanya.
Dampak Negatif dari Perkawinan Paksa pada Perempuan Dibawah Umur Di Desa Cigunungsari
1. Pendidikan
Perempuan yang melakukan perkawinan terutama pada usia yang masih di  bawah  umur,  keinginannya untuk  melanjutkan  sekolah lagi  atau menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi tidak akan tercapai atau tidak akan terwujud karena telah terhalang untuk memikirkan kehidupan keluarga juga akan menurunnya otivasi untuk belajar.
2. Kesehatan Fisik dan Psikologis
Perkawinan  paksa pada  perempuan dibawah umur berpotensi ke banyak resiko, termasuk ke janin yang dikandung dan kesehatan si perempuan sendiri. Dampak medis yang dapat muncul antara lain infeksi pada kandungan dan kanker mulut rahim serta mengalami banyak gangguan pada saat mengandung maupun melahirkan.
3. Tidak Harmonisnya keluarga
Ditinjau dari sisi sosial, perkawinan paksa dibawah umur dapat mengurangi harmonisasi dalam keluarga, karena emosi perempuan dibawah umur cenderung labil/belum stabil disertai dengan pola pikir yang belum dewasa juga Perempuan dibawah umur akan lebih  rentan terkena stress karena jiwa dan mentalnya belum matang/siap untuk menghadapi masalah-masalah yang  muncul dalam rumah  tangganya.
4. Terjadinya Perceraian
Adanya perkawinan secara paksa dapat meningkatkan angka perceraian di masyarakat karena pasangan muda dibawah umur masih kurang kesadarannya untuk berkomitmen dan bertanggungjawab dalam membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis.
Dari uraian diatas bahwa perkawinan dibawah umur (anak) lebih  banyak  mudharat  daripada  manfaatnya.  Oleh  karena  itu  patut ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak.
Analisis Hukum Positif Terhadap Perkawinan Paksa Pada Perempuan Dibawah Umur Di Desa Cigunungsari
Fokus Permasalahan Pada Pernikahan di Bawah Umur
Dapat disimpulkan bahwa praktik kawin paksa terhadap anak di bawah umur di Desa Chigununsari tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Hal ini menunjukkan bahwa mereka berusia di bawah 19 tahun dan menikah karena paksaan. Sebaliknya, Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dengan jelas menyebutkan bahwa seorang pria dan seorang wanita boleh menikah jika telah mencapai usia 19 tahun. Ketika mempertimbangkan perkawinan paksa dengan anak di bawah umur, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
1. Kawin paksa dengan perempuan di bawah umur merupakan salah satu bentuk pelanggaran mendasar terhadap hak asasi anak karena menghalangi anak untuk memperoleh pendidikan; Sekalipun mereka tidak dapat menyelesaikan pendidikannya, impian mereka dapat membahayakan kesehatan mereka.
2. Pernikahan paksa mempersulit anak perempuan di bawah umur untuk mencapai standar kesehatan tertinggi, termasuk hak atas pendidikan dan kesehatan seksual dan reproduksi. Dari segi kesehatan, hal ini mempunyai dampak negatif, apalagi perempuan sudah siap secara fisik menghadapi proses kehamilan.
3. Kawin paksa pada anak perempuan di bawah umur mempunyai risiko yang mematikan dan dapat mengakibatkan penyakit menular seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan, Ketidaksiapan fisik dan mental menghadapi persalinan hanya akan berdampak buruk bagi kesehatan janin. Secara psikologis, anak perempuan di bawah umur belum cukup matang untuk menjadi seorang ibu sehingga membutuhkan bimbingan dan bimbingan.
Â
Perkawinan  Paksa  terhadap  Perempuan  Dibawah  Umur  dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
Al-Qur'an dan Hadits yang berdasarkan hukum Islam tidak memberikan penjelasan rinci mengenai usia minimal untuk menikah. Syarat umum dalam masyarakat adalah untuk menikah seseorang harus dewasa, sehat mental, dan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tidak ada batasan usia dalam pernikahan adat, namun dalam pernikahan adat, perubahan bagian tubuh biasanya menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang.
Karena ada undang-undang negara yang mengatur mengenai perkawinan yaitu uu nomor 16 tahun 2019 , maka untuk mencapai tujuan perkawinan maka syarat pihak yang hendak menikah harus sudah matang secara jasmani dan rohani harus dipenuhi . Oleh karena itu, pasal 7 ayat 1 bab 2 uu nomor 16 tahun 2019 menjelaskan bahwa usia minimal menikah adalah 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Karena adanya batasan usia untuk menikah, maka dapat disimpulkan bahwa undang-undang nomor 16 tahun 2019 tidak mengamanatkan pelaksanaan pernikahan dengan anak di bawah umur.
Perlindungan Hukum terhadap Perkawinan di Bawah Umur
Perlindungan hukum perkawinan anak di bawah umur berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2019 Perlindungan apabila terjadi penyimpangan terhadap Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan sebagai berikut: Perkawinan anak di bawah umur tunduk pada penyimpangan yang diminta oleh kedua belah pihak laki-laki atau sehubungan dengan perlindungan hukum terhadap perkawinan anak di bawah umur, sesuai dengan Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
Pasal 7(1) UU Perkawinan mengatur bahwa jika anak di bawah umur menikah, pihak laki-laki atau perempuan dapat mengajukan pengecualian ke pengadilan. Namun apabila salah satu orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan niatnya, maka cukup mendapat izin atau pengecualian dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang boleh menyatakan niatnya untuk mengawini anak di bawah umur itu. Akan tetapi, apabila orang tuanya telah meninggal dunia atau tidak dapat menyatakan keinginannya, maka persetujuan wali atau sanak saudaranya diperlukan hanya jika orang tuanya masih hidup dan dapat menyatakan keinginannya. Selain itu, meskipun perkawinan dilangsungkan setelah izin diperoleh, calon pengantin perempuan pada mulanya ditinggal bersama orang tuanya sampai ia cukup umur untuk menunaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang istri.
KesimpulanÂ
Kawin paksa melanggar aturan hukum perkawinan. Menurut Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, perkawinan baru diakui ketika seorang pria dan seorang wanita telah mencapai usia 19 tahun. Praktek kawin paksa di desa Chigununsari disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: factor Kehendak orang tua, terutama mediasi orang tua (paksaan), faktor ekonomi, faktor lingkungan, faktor pendidikan yang terpaksa dan tidak lengkap. Faktor penyebab hamil di luar nikah. faktor tradisional. Kurangnya pemahaman terhadap hukum perkawinan juga menjadi salah satu faktornya. Pernikahan paksa pada anak di bawah umur berdampak pada lingkungan keluarga dan suasana kekeluargaan, termasuk kurang harmonisnya antar keluarga.
Rencana Skripsi
Untuk skripsi yang rencana penulis ingin teliti yakni berkaitan dengan masalah isu pernikahan dini, mengapa demikian? Karena melihat program studi yang penulis ambil ialah Hukum Keluarga Islam maka sudah sepantasnya materi yang diambil masih berkaitan dengan masalah keluarga dan juga melihat pernikahan di usia dini sekarang ini sedang marak di kalangan masyarakat Indonesia. Meneliti apa yang menjadi sebab masyarakat melakukan pernikahan di usia dini beserta dampak yang terjadi di masyarakat khususnya ketika pranikah maupun pasca nikah.
#uinsurakarta2024
#prodiHKI
#fasyauinsaidsurakarta #hukumperdataislamindonesia #muhammadjulijanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H