Mohon tunggu...
RifqiNuril Huda
RifqiNuril Huda Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fakultas Hukum, Ketua Forum Karang Taruna Kec. Srono, Kab. Banyuwangi, President YOT Banyuwangi, Ketua Badan Eksekutif FH Univ. 17 Agustus 1945 Banyuwangi. Direktur BUMDes "Surya Kebaman". Twitter : @nurilrifqi Ig :rifqinurilhuda

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menyoal Tugas Pokok dan Fungsi BPD Menuju Desa Partisipatif

11 Agustus 2018   15:14 Diperbarui: 11 Agustus 2018   15:27 4758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Keanggotaan LMD pemilihannya dilakukaan oleh Kepala Desa selaku Ketua LMD dan memiliki otoritas penuh dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 pasal  17, sehingga anggota LMD yang terpilih merupakan orang-orang atau kroni Kepala Desa untuk menjaga kepentingan politis Kepala Desa agar dapat menjaga , dan memperkuat serta melanggengkan kekuasaan Kepala Desa. Dampaknya LMD hanya sebagai "lembaga konspirasi", bukan sebagai lembaga kontrol.

 

            Pada struktural pemerintahan desa, maka selain membentuk LMD di desa, dibentuk juga Lembaga Keamanan Masyarakat Desa (LKMD) melalui instruksi Presiden No. 28 Tahun 1980 dan Instruksi mendagri No. 4 Tahun 1981. Tujuan pembentukan LKMD sebagai sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengkoordinasikan dan mengatur pelaksanaan proyek-proyek pembangunan di tingkat Desa. Permasalahannya kepengurusan LKMD hampir sama dengan LMD, ketua LKMD dijabat oleh Kepala Desa (ex officio). Keanggotaan dalam kepengurusan LKMD harus persetujuan Kepala Desa. Sehingga kroni-kroni Kepala Desa kembali menduduki keanggotaan LKMD.

            Uraian dari yang ada pada pengaturan baik Instruksi Presiden dan Instruksi Mendagri memberikan gambaran bagaimana pemerintahan desa dilaksanakan secara sentralistis, struktur kekuasaan yang monolitik telah menghilangkan tatanan pemerintahan yang demokratis karena tidak akan pernah terdengar pandangan-pandangan yang berbeda dengan Kepala Desa.

            Berakhirnya rezim orde baru hasil reformis yang diperjuangan oleh mahasiswa, mengakhiri segala otoriter politik kekuatan politik dan sosial yang selama ini berlangsung. Awal reformasi kekuasaan beralih ke tangan Habibie yang kemudian mulai membentuk kabinet reformasi. Implikasi kebijakan kabiner reformasi membawa dampak pada perubahan politik dan pola penyelenggaraan pemerintah pusat hingga ke Desa. Salah satu produk peraturan pada kabinet reformasi adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dan didalam undang-undang ini juga mengatur tentang Pemerintahan Desa.

            Latar belakang kelahiran maupun implementasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menurut Ryaas Rasyid antara lain adalah : " Pemerintah Desa harus dikembalikan kepada bentuk aslinya yang disebut self governing community.Pemerintahan Desa sebaiknya bukan merupakan pemerintahan pada level administratif yang paling rendah tetapi sebagai lembaga tradisional Desa."[2]

            Pelakasanaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, dilakukan oleh pemerintah desa bersama (Badan Perwakilan Desa) BPD. BPD merupakan penyempurnaan dari LMD karena BPD lebih bersifat independen pemilihan anggotanya dilakukan sendiri oleh masyarakat desa dari elit-elit desa yang mencalonkan diri untuk menjadi BPD.

            Undang-Undang Nomor  22 Tahun 1999 di set up untuk merubah sistem pemerintah desa yang sentralistik menjadi demokratis. Hal ini terlihat dari isi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang memisahkan antara kewenangan Kepala Desa dan BPD serta membatasi kewenangan Kepala Desa seperti Orde Baru.

            Hasil penelitian Iberamsyah di Gede Pangrango memperoleh temuan-temuan antara lain bahwa : "Pembentukan BPD sebagai lembaga perwakilan yang lebih otonom dan representatif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memunculkan tokoh-tokoh masyarakat sebagai elit formal baru mendampingi eksekutif dan birokrasi desa. Dominasi Kepala Desa terhadap lembaga perwakilan desa telah berakhir dan BPD menjadi penyeimbang kekuasaan elit formal desa. Pada proses pembuatan pembuatan keputusan desa BPD kadang lebih dominan, pembuatan keputusan juga mengalami perubahan semula dilakukan secara musyawarah dan mufakat berubah menjadi pemungutan suara terbanyak. Pemerintah Desa lebih terlihat otonom dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan desa, karena pemerintah ditingkat atasnya tidak melakukan interventis terhadap pembuatan keputusan".[3]

 

            Kutipan  di atas tersebut menunjukan implentasi kebijakan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah mempengaruhi pola penyelenggaraan pemerintah desa yang sebelumnya di Orde Baru berlangsung secara sentralistik kemudian berubah menjadi demokratis melalui kewenangan BPD. Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 telah membagi kekuasaan pada elit pemerintahan desa, sehingga muncul kekuasaan antara Kepala Desa dan BPD dalam penyelenggaraan pemerintah desa dan peraturan desa. BPD akhirnya menjadi peran yang aktif dalam penyeimbang kekuasaan Kepala Desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun