Mohon tunggu...
RifqiNuril Huda
RifqiNuril Huda Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fakultas Hukum, Ketua Forum Karang Taruna Kec. Srono, Kab. Banyuwangi, President YOT Banyuwangi, Ketua Badan Eksekutif FH Univ. 17 Agustus 1945 Banyuwangi. Direktur BUMDes "Surya Kebaman". Twitter : @nurilrifqi Ig :rifqinurilhuda

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menyoal Tugas Pokok dan Fungsi BPD Menuju Desa Partisipatif

11 Agustus 2018   15:14 Diperbarui: 11 Agustus 2018   15:27 4758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Desa dalam sejarah pembentukan negara kesatuan republik Indonesia yang lebih kepada pemerintahan, tercatat bahwa desa telah ada sejak zaman dahulu kala, jauh sebelum kolonial datang dan negara Indonesia terbentuk. Sebagai suatu bentuk organisasi pemerintahan, desa memiliki otonomi asli. Otonomi asli yaitu hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus atau menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, yang diperoleh dari dalam masyarakat desa itu sendiri berdasarkan hukum adat.

            Selain dari pada itu pada sisi sosiologis masyarakat desa lebih pada kebiasaan-kebiasaan yang dianut sejak nenek moyang. Mulai dari pernikahan, syukuran, hingga pada pengaturan pemerintahannya. Yang dimana desa lebih menyukai aturan yang disebut dengan aturan kebiasaan masyarakat desa.

            Tetapi, seiring berjalannya waktu dan keinginan pemerintah pusat untuk membangun hukum berdasarkan peraturan yang dibuat mulai dari atas hingga ke bawah (up to down). Penyelenggaraan pemerintah desa yang semula diatur berdasarkan hukum adat atau kebiasaan secara demokratis untuk mengatur masyarakat desa, kemudian mulai mengalami perubahan dengan munculnya campur tangan penguasa atau pemerintah. Dalam hal ini desa dijadikan objek kekuasaan daripada subjek oleh pemerintah. Terbukti pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintah desa. Yang isinya :

            "Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai keesatuan masyarakat termasuk didalamnya masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia"[1]

 

            Secara definisi desa mengalami kerancuan bagi penyelenggaraan pemerintah desa yang demokratis, karena di satu sisi memberikan kewenangan kepada desa untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri dan di sisi lain pemerintah desa disebutkan sebagai organisasi pemerintahan di bawah camat.

 

            Rezim Orde Baru juga menetapkan Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Kepala Desa yang terpilih oleh masyarakat desa bertanggung jawab kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II atau Walikotamadya Tingkat II, melalui camat sebagai pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan Kepala Desa. Seharusnya kepala desa bertanggung jawab kepada masyarakat desa yang telah memilihnya. Hal tersebut merupakan suatu bentuk kesalahan dalam melaksanakan pemerintahan yang demokratis yang menjadi ciri kehidupan masyarakat desa dan bentuk penyelenggaraan pemerintah desa.

 

            Selain kepala desa sebagai lembaga eksekutif, di desa dibentuk pula Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagai lembaga legislatif yang pembentukannya bertujuan sebagai sarana demokratisasi di desa dan difungsikan sebagai pengontrol dari kinerja Kepala Desa dan perangkatnya dalam menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan desa.

 

            Keanggotaan LMD pemilihannya dilakukaan oleh Kepala Desa selaku Ketua LMD dan memiliki otoritas penuh dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 pasal  17, sehingga anggota LMD yang terpilih merupakan orang-orang atau kroni Kepala Desa untuk menjaga kepentingan politis Kepala Desa agar dapat menjaga , dan memperkuat serta melanggengkan kekuasaan Kepala Desa. Dampaknya LMD hanya sebagai "lembaga konspirasi", bukan sebagai lembaga kontrol.

 

            Pada struktural pemerintahan desa, maka selain membentuk LMD di desa, dibentuk juga Lembaga Keamanan Masyarakat Desa (LKMD) melalui instruksi Presiden No. 28 Tahun 1980 dan Instruksi mendagri No. 4 Tahun 1981. Tujuan pembentukan LKMD sebagai sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengkoordinasikan dan mengatur pelaksanaan proyek-proyek pembangunan di tingkat Desa. Permasalahannya kepengurusan LKMD hampir sama dengan LMD, ketua LKMD dijabat oleh Kepala Desa (ex officio). Keanggotaan dalam kepengurusan LKMD harus persetujuan Kepala Desa. Sehingga kroni-kroni Kepala Desa kembali menduduki keanggotaan LKMD.

            Uraian dari yang ada pada pengaturan baik Instruksi Presiden dan Instruksi Mendagri memberikan gambaran bagaimana pemerintahan desa dilaksanakan secara sentralistis, struktur kekuasaan yang monolitik telah menghilangkan tatanan pemerintahan yang demokratis karena tidak akan pernah terdengar pandangan-pandangan yang berbeda dengan Kepala Desa.

            Berakhirnya rezim orde baru hasil reformis yang diperjuangan oleh mahasiswa, mengakhiri segala otoriter politik kekuatan politik dan sosial yang selama ini berlangsung. Awal reformasi kekuasaan beralih ke tangan Habibie yang kemudian mulai membentuk kabinet reformasi. Implikasi kebijakan kabiner reformasi membawa dampak pada perubahan politik dan pola penyelenggaraan pemerintah pusat hingga ke Desa. Salah satu produk peraturan pada kabinet reformasi adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dan didalam undang-undang ini juga mengatur tentang Pemerintahan Desa.

            Latar belakang kelahiran maupun implementasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menurut Ryaas Rasyid antara lain adalah : " Pemerintah Desa harus dikembalikan kepada bentuk aslinya yang disebut self governing community.Pemerintahan Desa sebaiknya bukan merupakan pemerintahan pada level administratif yang paling rendah tetapi sebagai lembaga tradisional Desa."[2]

            Pelakasanaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, dilakukan oleh pemerintah desa bersama (Badan Perwakilan Desa) BPD. BPD merupakan penyempurnaan dari LMD karena BPD lebih bersifat independen pemilihan anggotanya dilakukan sendiri oleh masyarakat desa dari elit-elit desa yang mencalonkan diri untuk menjadi BPD.

            Undang-Undang Nomor  22 Tahun 1999 di set up untuk merubah sistem pemerintah desa yang sentralistik menjadi demokratis. Hal ini terlihat dari isi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang memisahkan antara kewenangan Kepala Desa dan BPD serta membatasi kewenangan Kepala Desa seperti Orde Baru.

            Hasil penelitian Iberamsyah di Gede Pangrango memperoleh temuan-temuan antara lain bahwa : "Pembentukan BPD sebagai lembaga perwakilan yang lebih otonom dan representatif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memunculkan tokoh-tokoh masyarakat sebagai elit formal baru mendampingi eksekutif dan birokrasi desa. Dominasi Kepala Desa terhadap lembaga perwakilan desa telah berakhir dan BPD menjadi penyeimbang kekuasaan elit formal desa. Pada proses pembuatan pembuatan keputusan desa BPD kadang lebih dominan, pembuatan keputusan juga mengalami perubahan semula dilakukan secara musyawarah dan mufakat berubah menjadi pemungutan suara terbanyak. Pemerintah Desa lebih terlihat otonom dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan desa, karena pemerintah ditingkat atasnya tidak melakukan interventis terhadap pembuatan keputusan".[3]

 

            Kutipan  di atas tersebut menunjukan implentasi kebijakan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah mempengaruhi pola penyelenggaraan pemerintah desa yang sebelumnya di Orde Baru berlangsung secara sentralistik kemudian berubah menjadi demokratis melalui kewenangan BPD. Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 telah membagi kekuasaan pada elit pemerintahan desa, sehingga muncul kekuasaan antara Kepala Desa dan BPD dalam penyelenggaraan pemerintah desa dan peraturan desa. BPD akhirnya menjadi peran yang aktif dalam penyeimbang kekuasaan Kepala Desa.

 

            Pada tahun 2004 dan berbagai konflik atas implementasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahu 1999 tentang pemerintahan daerah, menyebabkan pemerintah mengundangkan peraturan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, karena pada undang-undang sebelumnya tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.

 

            Dalam analisis penulis perubahan yang mendasar pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah ada dua hal yaitu, pertama, Badan Perwakilan Desa (BPD) diganti menjadi Badan Permusywaratan Desa (BDP) dengan penetapan dilakukan secara musyawarah dan mufakat. Perubahan tersebut diharapkan dapat mencegah konflik dan mewujudkan demokratisasi desa. Kedua, sekretaris Desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.

 

Munculnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa 

 

            Pemerintahan pada era Joko Widodo mengeluarkan kebijakan, desa mendapatkan dana satu miliar lebih dengan berlandaskan pada aturan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Yang dimana menurut penulis dalam hal ini pemerintah memulai langkah untuk mewujudkan pemerintahan desa yang otonom dan mandiri, dan menegaskan bahwa dalam pemerintahan desa terdapat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang mempunyai lembaga legislatif di tingkat desa.

 

            Pengurus Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan badan permusyawaratan yang terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat yang ada di Desa yang berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintah Desa.

 

            Badan Permusywaratan Desa (BPD) berperan dalam membuat Rancangan Peraturan Desa yang secara bersama-sama Pemerintah Desa kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Desa. Dalam hal ini, BPD sebagai lembaga pengawasan berperan untuk melakukan kontrol terhadap implementasi peraturan desa serta anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes).

 

            Pada pasal  55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa fungsi Badan Permusyawaratan Desa ada 3, yaitu : membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa  bersama Kepala Desa, menampung dan menyepakati aspirasi masyarakat Desa, serta melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.

 

            Tetapi dalam implementasinya fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak terlaksananya secara optimal. Yang disebabkan dua faktor yaitu, pertama hambatan intern, yang dimana pengurus BPD mempunyai pekerjaan diluar daripada tugas BPD dana operasional yang tidak memenuhi. Dan terkadang BPD tidak secara profesional melaksanakan fungsinya sebagaimana amanat undang-undang. Kedua, Hambatan Ekstern, yaitu hambatan luar BPD yaitu  mekanisme kerja dari pemerintah desa yang kurang terbuka kepada BPD serta kurangnya pemahaman dari pemerintah desa dan masyarakat atas kedudukan BPD di Desa.

 

Kesimpulan 

 

            Sejarah peraturan yang mengatur Badan Pemusyawaratan Desa (BPD mulai dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan lebih spesialis lagi pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Menjadi tolak ukur bahwa Pemerintahan Desa adalah  bagian yang sangat penting bagi pembangunan nasional.

 

            Sampai saat ini peraturan yang ada masih belum bisa mengakomodir secara efektif dan lengkap untuk fungsi dan wewenang Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Hal ini terbukti dari berbagai permasalahan yang ada, baik secara internal yaitu yang dimana pengurus BPD mempunyai pekerjaan diluar daripada tugas BPD dana operasional yang tidak memenuhi. Dan terkadang BPD tidak secara profesional melaksanakan fungsinya sebagaimana amanat undang-undang, dan ekseternal yaitu hambatan luar BPD yaitu  mekanisme kerja dari pemerintah desa yang kurang terbuka kepada BPD serta kurangnya pemahaman dari pemerintah desa dan masyarakat atas kedudukan BPD di Desa.

 

            Sehingga perlu ada pembaharuan yang mengatur secara lengkap fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa  yaitu memasukkan klausal dana operasional Badan Permusyawatan Desa(BPD) dan Peningkatan kualitas sumber daya Badan Permusyawatan Desa (BPD) melalui pelatihan masih guna menunjang fungsi BPD menuju desa mandiri dan partisipatif.

[1] Suhartono, et.al, Parlemen Desa Dinamika kelurahan dan DPRK Gotong Royong, Yogyakarta, Lapera, 2000, Hlm. 12.

   

[2] Purwo Santoso, (ED.), Pembaharuan Desa Secara Partisipatif, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003. Hlm 26.

   

[3] Iberamsyah, "Elit Desa dalam Perubahan Politik:Suatu Penelitian 

   

Oleh : Rifqi Nuril Huda

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi 

rifqinhuda@gmail.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun