Mohon tunggu...
Rifky Julio
Rifky Julio Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate (Baca: Penggangguran)

Sekedar menulis apa yang ingin ditulis. Antropologi | Anime | Daily Life | Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Terdampar di Pulau Fisip Antropologi

14 Maret 2021   00:08 Diperbarui: 14 Maret 2021   00:37 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya adalah seorang pengelana dari sebuah kota kecil bernama Cigombong di pelosok selatan Bogor. Sudah habis waktu saya disini, masa belajar 12 tahun telah ditempuh, kini saatnya mencari ilmu yang lebih jauh dan pastinya tidak bisa saya dapat di kota ini. 

Saya mempersiapkan diri serta mempersiapkan perahu yang siap mengarungi lautan SBMPTN yang ganas ini. Saya harus bisa mencapai Pulau Fikom Unpad, harus bisa.

Bulan Mei saya berangkat. Perjalanan pada awalnya terasa lancar, laut masih bersahabat dengan saya. Seiring berjalannya waktu, lautan mulai menunjukkan sifat aslinya. Di malam hari perahu saya terombang-ambing bagai sehelai bulu pelikan yang rontok. Hampir hilang semangat ini, rasa pasrah menyelimuti saya di malam yang buruk itu. 

Kemudian, tiba-tiba perahu ini mulai hilang keseimbangan. Seketika saya tidak sadarkan diri. Saya tidak pernah mengira lautan ini penuh dengan kejutan. Saya hanya berharap saya bisa selamat kali ini.

Panasnya terik matahari, tubuh ini seperti sedang berada diatas pasir. Perlahan saya membuka mata. Saya terkejut, karena sekarang saya berada di sebuah pulau.

Apa yang terjadi? Kenapa saya berada disini? Kemanakah perahu saya? Pulau apa ini?

Pertanyaan-pertanyaan mulai berkumpul di kepala saya. Saya melihat seseorang yang mungkin adalah warga pulau ini. Saya bertanya kepadanya mengenai pulau ini. 

Dia menjawab bahwa pulau ini adalah Wilayah Antropologi di Pulau Fisip, salah satu pulau dari Kepulauan Unpad. Dan, dia bukanlah warga lokal, dia ternyata adalah seorang pengelana juga yang telah lama disini. 

Saya merasa sedikit kecewa. Seharusnya saya menuju Pulau Fikom bukan malah di pulau ini. Lalu pengelana tadi mengajak saya bertemu pengelana lain di Pulau Fisip.

Para pengelana berkumpul di tepi pantai. Pengelana disini tidak terlalu banyak, hanya sekitar lima puluh empat orang, dan berasal dari berbagai daerah. Bahkan ada yang berasal dari Sumatera Barat, itu daerah yang sangat jauh. 

Yang membuat saya merasa malu adalah, kebanyakan dari mereka ternyata memang sudah berniat untuk berada di pulau ini. Bukan seperti saya yang hanya kebetulan terdampar. 

Namun, mereka semua orang yang baik. Dengan latar belakang yang berbeda-beda membuat kami tidak pernah kehabisan topik. Ada yang dari Padang, Ciamis, Bandung, Jakarta, Semarang, dan Jogja, itu semua adalah wilayah yang jauh dari kota asal saya. 

Mulai dari agama, cara berbicara, dan hobi, semuanya memiliki ciri masing-masing. Karena merasa nyaman, akhirnya saya putuskan untuk menetap sementara di Pulau Fisip.

Saya berkeliling melihat-lihat isi pulau. Banyak warga lokal juga rupanya. Mereka didominasi oleh warga suku Sunda. Namun bahasa sunda yang mereka gunakan terdengar sedikit halus dibanding bahasa sunda yang ada di kota asal saya. 

Mereka terlihat sudah terbiasa melihat kami para pengelana dari wilayah lain. Atau mungkin mereka memang selalu menunggu kami para pengelana untuk datang ke pulau ini. Terlihat dari profesi mereka yang rata-rata adalah pedagang dan penyewa sebuat tempat tinggal sementara yang disebut kost. Banyak sekali kost yang disewakan di pulau ini. 

Semuanya menawarkan harga yang berbeda-beda dengan fasilitas yang sesuai dengan harga juga. Ada yang menawarkan fasilitas kamar mandi di dalam atau luar, fasilitas wifi, dan fasilitas laundry. 

Tempat kostnya juga memiliki bentuk masing-masing. Ada yang seperti kontrakan, rumah, pondok, bahkan apartemen. Tempat-tempat kost itu juga ada yang khusus untuk putri, putra, dan bahkan ada yang campuran. 

Beberapa tempat sudah penuh ditempati oleh para pengelana. Kebanyakan para pengelana memilih kost yang memiliki kamar mandi di dalam dengan fasilitas wifi dan yang bentuknya pondok dan bukan yang bercampur. 

Namun, masih banyak kost yang belum ditempati dengan harga yang masih terjangkau. Mekanisme penyewaan kost disini kebanyakan adalah sewa tahunan dibanding sewa bulanan. Para pemilik kost berujar, mereka memasang sewa tahunan agar mereka bisa segera balik modal.

Selanjutnya saya melihat banyak toko fotokopi dan print, hanya saja toko-toko itu berbeda dari yang ada di kota asal saya. Perbedaannya terlihat pada banyaknya komputer beserta printer yang disediakan. 

Awalnya saya pikir ini adalah warnet, namun saya tidak menemukan tulisan warnet di toko-toko itu. Setelah mengamati beberapa pengunjung, saya pikir saya tahu maksud dari toko-toko itu menyediakan banyak komputer beserta printer. Mereka menyediakan banyak komputer beserta printernya agar para pengunjung tidak menumpuk. 

Sebab banyak sekali pengelana yang berkunjung ke toko-toko untuk mengeprint. Jadi, pemilik toko memudahkan para pengunjung agar langsung bisa mencetak di printer tanpa harus menunggu giliran yang lama. Saya cukup terkesan dengan hal itu, ini sangat memudahkan kami para pengelana dalam menyelesaikan tugas. 

Terakhir yang menarik perhatian saya adalah banyaknya pedagang makanan disini. Mulai dari makanan ringan atau jajanan hingga makanan berat. Hal yang membuat saya takjub adalah harganya yang sangat terjangkau. 

Contoh yang paling unik adalah masakan padang yang harganya hanya sembilan ribu rupiah. Harga ini tidak pernah saya dapatkan di kota asal saya. Biasanya harganya bisa sampai dua puluh ribuan. 

Saya pun penasaran dan memesan nasi ayam goreng di salah satu rumah makan padang. Ternyata harganya tidak mengurangi banyak makanannya. 

Banyaknya sama seperti nasi padang yang ada di tempat lain. Tak hanya masakan padang saja yang murah, hampir semua pedagang kaki lima menawarkan harga yang terjangkau. Mulai dari ayam goreng, ayam geprek, ketoprak, dan lain-lain.

Rasanya pulau ini memang khusus untuk kami para pengelana. Semua serba ada dan harga untuk makanannya pun sangat bersahabat. Tapi warga lokal bilang kepada saya bahwa di pulau lain di Kepulauan Unpad ini semua sama. 

Itu artinya tidak hanya di Pulau Fisip, Pulau Fikom dan yang lainnya pun sama seperti ini. Lengkap dan siap menyambut kami para pengelana. Saya pun memikirkan kembali niat saya untuk pergi ke Pulau Fikom walau perahu sudah tak ada. 

Namun Pulau Fikom jaraknya lumayan jauh dari sini. Apalagi jika mengingat lautan SBMPTN yang ganas. Saya pikir, saya sudah beruntung bisa selamat sampai disini.

Setelah memikirkan banyak hal, akhirnya saya putuskan untuk bertahan di Pulau Fisip. Rasa penasaran pada Ilmu Antropologi menjadi pemicu utama. Karena setelah dipikir-pikir, kita sebagai manusia jika datang ke tempat baru pastinya menemukan banyak hal yang baru juga, dan kita pasti bertanya-tanya dan timbul rasa penasaran terhadap hal baru tersebut. 

Saya pikir itu sudah termasuk sebagai dasar antropolog. Tapi saya ingin memastikan Ilmu Antropologi itu seperti apa. Disinilah saya sekarang, di Pulau Fisip, menelaah dan mendalami Ilmu Antropologi bersama pengelana lain di Kepulauan Unpad yang besar ini.

2 tahun 8 bulan kemudian...

Saya bangun dari kasur nyaman nan menggoda. Kantuk masih menyelimuti pikiran, tapi kelas sudah menanti. Lepas membasuh muka dan menyeduh kopi, saya menyalakan laptop di kamar rumah. 

Benar, saya sudah tidak lagi berada di Pulau Fisip. Bukan berarti saya diusir karena telah melakukan hal tabu disana. Ini semua hanya takdir, hanya sebuah jalan cerita yang dibuat oleh Yang Maha Kuasa.

Pandemi Covid-19 menyerang seluruh negeri. Semua pengelana di Kepulauan Unpad telah dipulangkan ke habitatnya masing-masing. Alam telah berkehendak, kami tak bisa mengelak. Setelah bersusah payah melewati lautan ganas SBMPTN, saya dipaksa kembali ke Cigombong, mengeram di kamar menunggu Messiah mengalahkan Covid-19.

Kini semua dialihkan ke dunia virtual. Ilmu Antropologi saya dapatkan melalui laptop yang sedang menyala di depan mata. 

Hanya dengan memasukkan kode, kelas tetap berlangsung, para pengelana bisa saling bertemu walau hanya memajang foto dan nama. Ini bukanlah hal yang saya inginkan saat membuat perahu dulu.

Namun apa daya, semua telah terjadi. Sungguh timeskip yang anti klimaks. Lebih anti klimaks dari nasib sepakbola tanah air, dongeng burung biru, ending Star Wars Episode IX, dan sebagainya (boleh tambahkan di kolom komentar).

Sambil mendengarkan ceramah virtual di kelas, terbesit dalam pikiran, kapan saya bisa terdampar kembali ke pulau itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun