Mohon tunggu...
Rifky Bagas Nugrahanto
Rifky Bagas Nugrahanto Mohon Tunggu... Penulis - Pegawai Negeri Sipil

Mengawali penulisan artikel di situs pajak.go.id, serta merambah pada publikasi di media cetak. Beberapa artikel telah terbit di antaranya di Harian Ekonomi Neraca dan Investor Daily Indonesia. Perjalanan menulis ini pun mengantarkan saya dapat ikut tercatat dalam buku dokumentasi “Voyage Indonesia 2018 : Kala Dunia Memandang Indonesia” dalam momen Annual Meetings WBG-IMF tahun 2018, Bali. Menjadi salah satu dari 100 artikel opini dan feature yang menyuarakan tentang momen berharga itu dan manfaatnya untuk Indonesia. Beberapa dokumentasi tulisan saya dapat dilihat juga pada https://rifkyjournals.blogspot.com/.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepenuh Hati Cinta Purnama

23 Mei 2019   15:30 Diperbarui: 23 Mei 2019   15:50 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari masih malu-malu, namun Purnama terlihat tergesa-gesa. Sambil memakai sepatu yang terkadang terbalik posisinya, dia pun mempercepat gerakannya. Seketika pun terdengar panggilan ibunya.

"Pur, ini sepiring nasi kecap sama telur dadar, makan dulu sebelum berangkat sekolah!"

"Ini uang sakumu ya"

Ibunya memberikan selembar 5000 ribu rupiah kepada Purnama sambil menaruhnya di atas meja.

"Bu, minta uang receh 500, buat bayar naik bis, tuker uang Bu."

Ibunya merogoh kantong, namun hanya menemukan uang keeping 500 sebanyak 2 buah. Purnama menerimanya dan menukar kembali dengan uang seribuan yang ada di kantongnya kepada ibunya.

"Udah, tambahan aja itu Pur, simpan saja buah kamu"

"Kamu nanti jangan pulang sore-sore ya, bantu Bapakmu ngaduk semen," kata ibunya.

Sambil melahap nasi kecap dan telur dadar, Purnama menganggukan semua yang dikatakan ibunya.

"Salim. Bu." Purnama mencium tangan ibunya.

"Bu, Pur berangkat dulu, Assalammualaikum"

"Walaikumsalam." jawab ibunya sambil melihat ke arah Purnama pergi.

Bergegas Purnama menuju pintu dan melambaikan tangan ke ibunya

"Hati-hati, Nak." Ibunya membalas dengan lambaian tangan pula.

Purnama berjalan cepat menyusuri gang rumahnya menuju terminal bis yang kurang lebih berjarak 800  meter dari rumahnya.

Sehari-hari ketika jam berangkat sekolah, dia selalu menggunakan jasa transportasi umum bis yang memang terkenal murahnya, hanya 500 rupiah sekali jalan untuk anak sekolah. Jika dia bisa naik bis yang jadwal berangkatnya jam 06.00 WIB, Purnama bisa masuk ke sekolahnya kurang lebih 06.30 WIB di SMP Negeri 8 Semarang. Diperlukan waktu 5 menit untuk berjalan sedikit mendaki dari pemberhentian bis dari lokasi jalan raya.

Sesampai di kelas II A, teringat bahwa dirinya terjadwal untuk piket pagi hari maka segeralah Purnama mengambil sapu setelah meletakkan tas punggungnya di kursi favoritnya. Dia lebih memilih menyapu lantai daripada mengelap kaca jendela karena dirasa lebih mudah. Kegiatan piket sendiri merupakan kegiatan harian dan tujuannya juga melatih rasa tanggung jawab serta empati dengan lingkungan sekitarnya.

Setelah 10 menit menyapu lantai bersama temannya yaitu Priska, terdengar suara orang lain memanggil Purnama.

"Pur, aku lihat dong PR mu, aku kesulitan jawab nomor 5"

"Bingung aku, sama persamaan linear yang diajarkan Bu Tatiek 2 hari yang lalu dan pagi ini dibahas kan?" kata Ruri.

"Aku juga lihat ya, Pur," sela Priska.

Purnama mengambil catatan PR nya dan membuka selembar demi lembar menuju jawaban atas soal yang ditanyakan Ruri. Mereka pun membahas dengan agresifnya. Walaupun hanya 15 menit, setidaknya mereka bisa menyegarkan ingatan kembali, sekiranya hari ini ada ulangan dadakan, yang terkadang sering Bu Tatiek berikan.

Mungkin itulah yang Purnama sukai dari pertemanan mereka. Cara mereka berteman seperti keluarga yang mengajarkan hal-hal bermanfaat. Saling mengoreksi satu sama lain dan mengajarkan sesuatu yang teman lain belum dimengerti. Bukan karena satus sosial mereka , namun semangat belajarlah yang menyatukan mereka. Ketiganya memang berkompetisi secara sehat dan ketiga sahabat itu masuk dalam urutan peringkat lima besar di kelasnya.

Pelajaran matematika selesai, dan benar, Bu Tatiek memberikan ulangan mendadak, namun terlihat mereka menguasai semua materi itu.

Berpindah ke pelajaran kedua yaitu bahasa Indonesia, termasuk pelajaran kegemaran Purnama. Bu Indah, guru bahasa Indonesia, kala itu menjelaskan mengenai jenis-jenis sebuah karangan. Bu Indah menceritakan bahwa terdapat perbedaan teknis dari tiap-tiap jenisnya.

"Anak-anak, ada perlombaan membuat cerpen, ada yang daftar?"

"Lomba ini diselenggarakan oleh JIC, organisasi Jepang untuk tingkat kecamatan saja. Ada lima sekolah yang terdaftar se-kecamatan Candisari."

"Kalau mau ikut tiga hari lagi dikumpulkan di meja saya ya, format penulisan ada di brosur ini. Lumayan ada uang saku dan sertifikat," kata Bu Indah.

Saat istirahat Purnama, Priska dan Ruri memilih makan di kantin sekolah. Mereka bertiga masih membahas perlombaan cerpen tersebut. Sambil melahap soto ayam seharga 1000 rupiah dan meneguk bekal air minum, mereka mengobrol untuk membuat cerita dari tema yang ditetapkan.

"Pu, kamu mau nulis apa tentang tema lingkungan sekitar?"

"Aku sih kurang bisa mengarang, bingung juga mau buat cerita apa"

"Drama korea sih suka lihat, tapi suka nonton aja," kata Priska, sambil senyum-senyum sendiri.

"Aku juga belum punya ide," jawab Purnama.

"Apalagi aku, aslinya ga suka baca buku. Dikasih waktu enam bulan juga ga mungkin bisa jadi tuh cerpennya," sela Ruri sambil tertawa dan meledek dirinya sendiri.

Seharian pelajaran sudah dilewati oleh Purnama dan teman-temannya. Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB, semua anak-anak di sekolah tersebut berbondong-bondong pulang menuju ke rumah mereka masing-masing. Ruri selalu dijemput ayahnya yang seorang PNS di Kementerian, sedangkan Priska dijemput oleh sopir keluarganya. Terkadang Priska menawarkan untuk mengantar pulang, namun Purnama bersikukuh menolak secara halus karena arah rumah mereka berlawanan. Sehingga Purnama tidak ingin merepotkan dan memilih untuk naik bis pulang ke rumah.

Sesampai di perhentian bis dekat rumahnya, sekitar lima menit, Purnama pun sampai ke rumahnya.

"Assalammualaikum, Pur dah pulang Bu"

"Bu, Bapak dah pulang kerja Bu?" Purnama memanggil ibunya.

"Ada, Bapak seharian ga kerja, badannya ga enak"

"Oh iya Pur, kata Bapak ga jadi plester tembok. Uangnya kepakai bayar obat Bapakmu sama bayar seragam adikmu"

"Lagian kamu harus bayar biaya buku kamu kan," ibunya berkata.

"Loh, ga jadi plester rumah Bu?" sela Purnama

"Iya Bu, ada buku ajaran baru, tapi Pur bisa pinjam sama kakak kelas. Bu. Atau fotokopi buku saja".

"Ga usah, ini uang buku, 120,000 rupiah. Jangan lupa dibayarkan ya Pur."

 "Doain aja ada rejeki, nanti uangnya buat beli semen," doa ibunya.

Sebenarnya rumah keluarga Purnama masih dalam perbaikan. Mereka sekeluarga harus pindah dari rumah kontrak yang lama karena rumah tersebut sudah terjual. Kondisi rumah mereka pun dapat dibilang belum dapat dihuni sempurna. Sehingga pembangunannya pun sedikit mencicil bagian tiap bagian.

Melihat kondisi tersebut, Purnama teringat perlombaan cerpen tersebut. Jikalau menang, setidaknya dia bisa menggunakan uang tersebut untuk membeli semen. Tanpa berpikir lama, segeralah dia kembali ke kamarnya, mengumpulkan ide untuk cerpen yang ingin dibuatnya.

Sudah tiga hari, dia mengumpulkan ide dan malam hari sebelum jatuh tempo pengumpulan. Dia menuliskan semuanya cerita dan kegundahan dalam hatinya dalam sebuah karyanya. Dia berdoa semoga karya ini dapat mengabulkan keinginannya untuk dapat memenangkan hadiah.

Setelah menunggu sekitar dua minggu, Bu Indah memanggil Purnama untuk ke ruangannya.

"Selamat ya, Purnama kamu cerpen kamu menang juara 2." Bu Indah menyampaikan.

"Terima kasih, Bu." Purnama berkata lembut dan sedikit meneteskan air mata.

Sesampainya di rumah Purnama berlari memanggilnya ibunya dan menyerahkan semua uang yang dia terima. Ibunya terkejut dan sangat bersyukur. Uang yang tak seberapa itu, diberikan Purnama dengan sepenuh hati dan rasa cinta kepada keluarganya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun