Tapi tak berapa lama kemudian mereka semua kocar kacir. Petugas Satpol PP datang. Semuanya kabur. Kecuali satu orang. Di sebuah dudukan beton di tepi taman kecamatan. Entah tidur. Atau pingsan.
Keesokan harinya,  ketika bus berhenti dan dia turun sebentar  untuk membeli sebungkus  nasi kuning, dilihatnya lelaki itu masih di tempat yang sama.
Maka di hari entah yang ke berapa, ketika hujan turun deras, yang ada di pikiran  Bahtar sejak bangun hingga duduk di kursi bus perusahaan adalah apakah orang itu akan di sana lagi pagi ini.
Benar saja orang itu tetap  ada di sana.  Hanya kali ini ada banyak botol di sekitarnya. Tangan kirinya yang terjulur ke bawah bahkan masih memegang ujung  botol.
"Dia sama seperti kamu. Seorang operator eskavator" Ucap mandornya.
Menurut cerita, lelaki itu sebenarnya lelaki yang baik dan bertanggungjawab. Sepanjang sejarah mabuknya tidak pernah dia memukul istrinya karena mabuk.Â
Jika dia berencana akan mabuk, akan disiapkannya  ranjang kayu tua di samping rumah. Di situlah dia akan berbaring saat pulang mabuk dari pangkalan.Â
Anak-anaknyapun tiada yang terlantar. Semua anaknya tersekolahkan hingga jenjang pendidikan tertinggi yang ada. Dan karena itu semua tak ada yang mengikuti jejaknya dalam hal mabuk-mabukan.
Tapi kemudian anak-anaknya jadi malu. Satu anaknya yang dosen, digandeng Kepolisian Daerah sebagai duta benci miras. Hari-harinya si anak berkampanye keliling kabupaten dalam provinsi. Sayang, baliho "Miras? Nggk lagi deh" yang dipampang di rumahnya, sering jadi selimut ayahnya ketika pulang mabuk-mabukan dari pangkalan.
Anaknya yang satu apa lagi. Jadi Muballig. Pengajiannya banyak. Jamaahnya juga tentu banyak. Suatu waktu pernah ada anggota jamaah yang bertanya apa yang harus ia lakukan terhadap orang tuanya yang masih suka minum khamar. Sang anak yang muballig langsung menangis seperti anak kecil. Jamaah terbengong-bengong.
Pikirannya tentang sang lelaki berhenti. Bis perusahaan sudah sampai. Di depan tebing menjulang, mandor proyek memperhatikan dengan seksama.