Pada akhirnya, para demonstran itu akan mati
Tak ada yang tersisa kecuali puisi
Juga anyir darah yang amisnya
Masih tercium sepanjang peristiwa
Â
Di jalanan, tempat kita berdiri
Menantang wajah matahari
Sambil melepaskan suara angin
Ke balik gedung kota yang dingin
Â
Kita berdiri
Atas nama pilar bangsa yang retak
Kehilangan setiap mimpi
Yang diruntuhkan oleh kejamnya sebuah negeri
Â
Lalu, untuk siapa bendera berkibar di udara
Bila akhirnya menjadi lusuh dan kehilangan tanda?
Â
Kita terlantar dalam mimpi
Terkapar di atas tanah sendiri
Sedangkan secangkir kopi yang mengepul sepanjang sunyi
Hanya tinggal ampas dan melesap ke tengah malam yang nisbi
Â
Â
Maka, kita tak perlu murung, Sahabat…
Pancangkan kuat-kuat kaki di bumi
Meneriakkan suara langit
Ke balik wajah-wajah bertopeng yang menghimpit
Â
Kemudian, kita berlari menjumpai sebuah jalan
Sambil membawa sisa-sisa luka
Bagi anak-anak yang kehilangan puisi
Lebih-lebih bagi ibu yang menunggu di dada matahari
Â
Sampai akhirnya, kita akan sama-sama gugur
Di atas sepetak tanah yang subur
Sebagai sebuah nama
Yang kekal di bawah tiang bendera
Â
Sumenep, 29 Maret 2015
Â
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI