Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

“Berhamba pada Sang Anak” di Era Generasi Z

25 Mei 2016   15:46 Diperbarui: 25 Mei 2016   16:29 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Nyala untuk Yuyun, Senja Kala Pendidikan Indonesia”.

Demikian judul sebuah postingan di situs jejaring informasi yang muncul di mesin pencari. Judul itu terkait dengan meninggalnya Yuyun, seorang pelajar di Bengkulu yang meninggal setelah dinodai oleh empat belas orang lelaki. Judul yang mempertanyakan ke mana hasil dari pendidikan di negara kita sampai peristiwa itu terjadi.

Judul yang heboh karena menempatkan pendidikan di negara kita pada situasi senja kala. Istilahnya pendidikan nyaris mati. Judul yang sepertinya menggugat: tanggung jawab siapakah pendidikan itu?

Ya, tanggung jawab siapakah pendidikan itu?

Apakah pendidikan anak itu adalah tanggung jawab orang tua? Ataukah tanggung jawab pemerintah – dalam hal ini diwakili sekolah?

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sepertinya tidak memberi penekanan secara jelas untuk jawaban itu. UU lebih menjelaskan bahwa UUD 1945 mengamanatkan Pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

UU itu pun tidak secara spesifik menjelaskan tanggung jawab orang tua, selain hak orang tua memilih satuan pendidikan dan kewajiban orang tua memberikan pendidikan dasar kepada anaknya (UU No.230 tahnu 2003 Pasal 7)1. Pendidikan dasar yang dimaksud adalah berbentuk SD dan SMP, seperti dinyatakan Pasal 17.

Apakah ini berarti bawa tanggung jawab orang tua telah ditunaikan setelah anak diberi pendidikan dasar, dalam hal ini dimasukan ke sekolah? Tidak ada penjelasan rinci dalam Undang Undang itu. Perlu pendalaman lebih lanjut apakah ada Peraturan Pemerintah atau Peratutan Menteri yang menjelaskan hal ini.

Berhamba pada anak

Namun demikian, Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, secara gamblang justru menyatakan bahwa pendidikan anak terletak di pangkuan orang tua.

Pokoknya pendidikan harus terletak di dalam pangkuan ibu bapak karena hanya dua orang inilah yang dapat “berhamba pada sang anak” dengan semurni-murninya dan se-ikhlas-ikhlasnya, sebab cinta kasihnya kepada anak-anaknya boleh dibilang cinta kasih tak terbatas (Karya Ki Hajar Dewantara, Pendidikan, halaman 382)

Seperti berulang kali dikupas dan disosialisasikan, orang tua masa kini pun pastinya memahami hal tersebut, bahwa orang tua dan keluarga memegang peranan yang sangat penting dalam pendidikan anak. Mungkin terkadang saking gencarnya tekanan dan informasi terkait pentingnya peran keluarga dan orang tua dalam pendidikan anak membuat mereka – para orang tua sebagai individu – menjadi terlalu terbiasa dengan jargon itu. Keterbiasaan yang “menulikan”. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Tanpa masuk di hati. Apatah lagi sebuah aksi.

“Ya...ya.... memberi pengetahuan agama sejak dini. Ya...ya...mengontrol, mengawasi apa yang dilakukan anak. Ya...ya...membatasi waktu dan mendisiplinkan. Ya...ya.....”. Padahal mereka – orang tua - pun dihujani tekanan kehidupan di sana sini yang semakin menjadi-jadi. Tanpa adanya daya tarik atau daya tekan bagi mereka untuk tetap menjalankan peran sebagai orang tua dalam mendidik anak, jadilah mereka menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah. Jadilah mereka kehilangan kedekatan dengan anak. Kedekatan sebagai sumber pertama keberhasilan pendidikan.

Sekolah kehilangan “ruh” pendidikan

Memang selama ini sekolah dan orang tua atau keluarga sepertinya selalu berada dalam dua kutub berbeda. Kedekatan orang tua dengan sekolah tidak ada. Orang tua atau keluarga “menyerahkan” sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah. Sementara itu sekolah “mengembalikan” tugas itu kepada orang tua atau keluarga mengingat itulah tugas utama orang tua – berhamba pada anak. Jadilah Jaka sembung bermain wayang. Gak nyambungsayang.

Sekolah lalu menjadi tempat membuat anak menjadi pintar nan pandai, berIQ bak Habibie, rapor mentereng dengan nilai yang genjreng, rangking satu tujuan nangkring, berujung ulangan, PR dan tugas tak tuntas-tuntas. Pucing pala babe. Pucing pula pala bini. Au ah gelap.

Hal ini diperberat dengan beban seorang guru yang bejibun beserta dengan kebingungan yang menyertainya. Bukankah gonta-ganti kebijakan itu membingungkan dan tidak membumi? Kebingungan yang menggiring para guru menjalani profesinya bak seorang buruh, hanya mengejar KPI (key performance indicator) dan tuntutan dari kurikulum.

Seperti apa yang diutarakan oleh Bu Anni, seorang guru dari Sukabumi, “Profesi guru sudah kehilangan "ruh" pendidik. Banyak guru yang menjadikan profesinya semata-mata hanya sebagai mata pencaharian saja. Mengajar, setelah itu pulang. Mereka tidak melaksanakan tugas utama guru, yaitu mendidik! Makanya wajar, produknya adalah anak-anak yang sekolah tapi kelakuannya kurang ajar”2.

Let’s having fun!

Buah kelapa buah kedondong. Gimana dong?

Mari kita bergembira ria. Let’s having fun

Loh. Buah kelapa dibelah batu. Masa begitu?

Coba kita lihat kegembiraan di sebuah taman kanak-kanak di bilangan Pamulang, Tangerang Selatan pada suatu hari.

Tiga orang bapak berdiri agak berjauhan, dengan satu orang ibu menyelip di antaranya. Mereka semua memakai kain sarung dililit di pinggang, tetapi ujung bawahnya dipegang sehingga menggelembung. Beberapa meter di depannya, anak-anak mereka berdiri bersiap dengan memasang wajah sangat ceria.

Sementara itu di belakang anak-anak itu, berdiri tiga orang ibu dan satu orang bapak menyelip di antaranya membentuk garis lurus. Mereka kompak merunduk dengan tangan berposisi siap mengambil bola plastik di baskom plastik. Dengan satu aba-aba, mulailah lomba itu: si ibu mengambil bola, lalu berlari diserahkan ke anaknya, dan si anak melempar bola itu untuk lalu ditangkap ayahnya dengan bantuan sarung yang digelembungkan. Si ibu dan ayah terlihat semangat dengan wajah serius, si anak pun terlihat semangat dengan wajah BAHAGIA.

Itulah sepenggal acara Family Day di sekolah itu dengan perlombaan menangkap bola dengan sarung.

Sepintas sepertinya tidak ada yang menarik dari lomba itu. Hanya seru-seruan saja. Having fun. Hanya membuat anak-anak berteriak. Malah membuat capek ayah-ibu saja. Tapi, mari kita selami apa yang terjadi sebelumnya:

  • Tiga orang itu, ayah, anak dan ibu membentuk lingkaran kecil
  • Ayah berkata “Ayah yang nangkap bola, ibu yang ambil bola”
  • Ibu bisa jadi berkata “Kaki ibu sakit Yah, ibu saja yang nangkap bola”
  • Ayah berkata “Oke kalo begitu. Nangkap bolanya kayak begini ya Bu, biar bolanya masuk”
  • Ayah berkata lagi “Dek, nanti kalo lempar, arahnya ke atas ya. Jangan terlalu pelan. Oke!”

Saat perlombaan itu, rasanya tidak ada satu keluarga pun yang tidak berdiskusi kecil seperti ini.

Mari kita selami juga apa yang terjadi setelahnya:

  • Ayah berkata “Cas dulu. Kamu keren deh”
  • Ibu berkata “Keren Dek. Gak apa-apa kalah ya, yang penting kita kompak”
  • Ayah berkata “Seruuuu ya Dek”
  • Semuanya dilakukan dengan spontan dan diiringi senyum

Jadikan anak-anak sebagai generasi pembelajar. Dengan perasaan senang datang ke sekolah dan pulang sekolah – Anis Baswedan

Tanpa kebanyakan orang sadari, dalam aktivitas fun-day seperti itu, peran keluarga atau terlebih orang tua, dalam pendidikan anak sebenarnya terlihat sangat kentara. Ayah tanpa sadar memperlihatkan kepemimpinannya dengan mengajak diskusi, berbagi peran, meminta pendapat dan memutuskan pilihan.

Sementara ibu pun demikian, tidak tinggal diam, tetapi memberi pendapat. Bahkan si anak pun suaranya didengar. Semua unsur keluarga memiliki dan melakukan perannya masing-masing. Dan di akhir pun ditutup dengan pendidikan moral dan emotional intelegence– berbesar hati, kuat dan pantang menyerah. Di sini anak tanpa sadar menerima banyak sekali pendidikan: karakteristik, peran, tanggung jawab, budi pekerti, simpati-empati selain tentunya intelejensi.

Dialogue tanpa Dia.lo.gue

Hari Sabtu lain, pelataran sekolah yang sama itu ramai. Anak-anak duduk di lantai, dikelilingi ayah, ibu dan terkadang dengan kakak atau adiknya. Mereka terlihat bergembira. Panggung kecil di depan mereka sudah ditata dengan dekorasi sederhana namun menarik.

Lalu muncul ke atas panggung itu siswa TKB berjilbab beserta ayahnya. Juga ibunya. Dan kakaknya. Di tangan-tangannya, mereka memegang lingkaran-lingkaran dari kertas karton bekas yang diwarnai. Ukurannya berbeda-beda. Lalu si Ayah mulai bercerita tentang gerhana matahari total yang menimpa Indonesia. Dia berdialog bersama sang Anak, si kakak dan juga ibunya. Bermain peran sebagai mentari, bulan dan bumi tempat dipijaknya. Diakhiri dengan senyum cerita.

Panggung lalu kemudian berganti dihuni sebuah keluarga muda. Ayah berperan sebagai pencerita. Ibu melakukan profesi ganda: sebagai ratu dan sebagai emban pembantu. Si Anak dan kakaknya sejenak menjadi putri. Princess Muslimah. Cerita mengalir. Dialog mencair. Permainan peran berjalan. Akhir segmen pun penuh tepuk tangan.

Itulah puncak acara Book Week yang seru, gembira dan ceria. Puncak acara di mana terjadi kedekatan antara orang tua dan sekolah. Juga hubungan anak dan orang tua serta keluarga diperlihatkan. Kulminasi sebuah proses pendekatan orang tua dan keluarga dengan anak yang telah dimulai seminggu sebelumnya.

Itulah tatkala para Bunda Guru mencetuskan acara seminggu bertema buku. Aktivitas di mana anak diminta untuk membawa buku yang sudah dibacanya, meminta mereka membaca buku bersama orangtua dan keluarganya, lalu bercerita di depan teman-temannya. Tak lupa para Bunda meminta mereka semua ikut berlomba bercerita bersama keluarga, berupa dialog dengan memakai alat peraga yang berasal dari barang daur ulang dan tidak berharga. Ya. Dialogue sebagai percakapan dengan engagement dua arah. Ada chemistry. Bukan dialogue sebagai dia, lo dan gue, berjalan sendiri-sendiri. Tidak artifisial.

Seminggu itu anak didik berdekatan dengan orang tua dan keluarga, berlatih bersama untuk lomba, berdiskusi menentukan cerita, dan saling bahu membahu membuat alat peraga. Dan rengekan anak ingin piala hadiah lomba, bolehlah menjadi pemantik sang ayah atau bunda menyisihkan sedikit waktu kerja atau waktu setelah kerjanya untuk berusaha bersama-sama. Agar anak bahagia. Dan acara puncak di akhir minggu? Ah, sekali berkorban, merelakan me-time. Kenapa segan? Let’s having fun.

Perang antar generasi? Mari nikmati bermain peran.

Tidak ada fun atau keceriaan jika chemistry antara orang tua dan anak tidak menyambung. Dan tidak menyambung orang tua dan anak karena memang mereka berasal dari dunia yang berbeda, dari generasi yang berbeda. Keukeuh dengan dunia di generasinya, muncullah elu dan gua tadi. Jadilah dia.lo.gue, bukan dialogue. Harus memahami dan menempatkan diri di generasi anak? Tidak semudah yang diduga. Juga tidak seikhlas yang disangka. Memaksakan diri? Biterhamen, bibir tersenyum, hati menjerit. Hati gundah gulana. Gelisah tak terkira. Lalu, terjadi armagedon – perang antar generasi. Gen-war.

Hm... a little bit lebay. Karena sejatinya kunci menyelami dunia anak adalah menjadi anak.

Kembali ke acara Book Week di sekolah itu. Penulis diminta istri untuk tampil bersama si Bungsu di acara puncak itu. Konsekuensinya, kami berdua banyak bertinteraksi dan berkomunikasi, mulai dari pemilihan tema, bagaimana dialog yang akan dijalin, dan tentu saja alat peraga apa yang mau dibuat. DI sini penulis yang merupakan Generasi X, berusaha masuk ke alam Generasi Z atau iGen. Penulis mencoba bermain peran. Dan peran yang coba dipahami adalah bagaimana Generasi Z memanfaatkan gadget dan teknologi dalam kehidupan atau permainan sehari-hari.

Itulah tatkala penulis bersama anak mencari tahu dari google tentang alat peraga dari bahan daur ulang apa yang menarik dibuat. Lalu bersama-sama pula kami lihat bagaimana cara membuat alat peraga itu melalui youtube. Bahkan penulis memanfaatkan sosial media, seperti facebook, untuk meminta pendapat orang tua lain, atau mensharing apa yang akan kita lakukan.

Saat itu, penulis secara diam-diam sudah bermain peran. Peran sebagai seorang anak generasi terkini yang akrab dengan gadget. Apapun hasilnya, yang pasti terjadi komunikasi, terjadi kedekatan, dan terjadi pemanfaatan gadget terkini. Bermain peran lah, dan perang antar-generasi pun bisa teratasi.

Sekolah sebagai penguat peran keluarga dalam pendidikan anak

Aktivitas family fun-week seperti di atas tidak akan terjadi jika para bunda guru di KB/TK Hanifa Pamulang, Tangerang Selatan itu hanya bertindak mengutamakan intelejensi anak, seperti ulangan, hafalan dan tugas rumah. Para Bunda guru mengembalikan guru kepada khittahnya, mendidik.

The best teacher teach from the heart, not from the book – Kungfu Panda 3

Dengan mendidik dari hati, para Bunda Guru berhasil mengintervensi para orang tua dalam berkomunisasi dan berdekatan dengan anak. Bunda Guru berhasil “memaksa” orang tua terlibat dan “Menghamba kepada anak”. Para Bunda Guru berhasil mengembalikan jati diri orang tua sebagai pendidik kepada anaknya. Para Bunda Guru berhasil memperkuat peran keluarga dalam mendidik anak.

Namun pada saat yang sama ternyata sekolah pun membutuhkan intervensi, untuk kembali mendidik anak, seperti yang dilakukan oleh para Bunda Guru di sekolah di atas, bukan hanya mengajar. Intervensi di sini berupa peran serta pemerintah dalam bentuk membuat aturan, kurikulum dan regulasi lainnya yang sesuai dengan tujuan mendidik sehingga para guru bisa bekerja dalam mendidik dengan hati.

Gerakan Family Fun Week

Pemerintah – dalam hal ini Departemen Pendidikan atau Dinas Pendidikan di daerah akan menjadi penggerak awal dalam penguatan peran keluarga dalam mendidik anak dengan meninggalkan sekolah sebagai wahana memberikan edukasi berupa intelejensi semata. Pemerintah mampu dan bisa memfasilitasi sekolah sebagai menjadi inisiator, pembuka jalan, pembuat jembatan yang menghubungkan dua kutub yang sepertinya berbeda itu, orang tua dan sekolah.

Pemerintah langsung atau tidak langsung bisa membuat sekolah menjadi katalisator tumbuhnya peran orang tua atau keluarga sehingga mereka bisa terpacu dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik anak dan “berhamba pada anak”. Sehingga sekolah bisa membuat sesuatu yang melibatkan semua; sekolah, anak, orang tua dan keluarga. Dengan membuat aktivitas yang gembira ria dan bahagia bersuka cita. Senang. Riang.

Pemerintah bisa mewujudkan hal ini dengan mencetuskan Gerakan Family Fun Week di sekolah-sekolah. Gerakan yang tidak hanya ditujukan untuk pendidikan dasar di level taman kanak-kanak, tapi juga bisa diterapkan di level sekolah dasar, jenjang pendidikan lanjut maupun jenjang universitas. Tentunya, bentuk family fun week di tiap jenjang pendidikan harus dibuat berbeda disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan di level tersebut dan karakteristik anak didik di level itu. Peran sekolah dan guru akan sangat penting dalam memahami psikologi anak pada tingkatan yang tepat, serta menemukan aktivitas apa di acara family fun-weekitu, serta sejauh mana peran keterlibatan keluarga dan orang tua dalam aktivitas itu.

Dengan adanya sebuah Gerakan, maka semua sekolah “diformalkan” atau “dipaksa” untuk membuat sebuah aktivitas family fun weekitu. Silakan sekolah menentukan tema aktivitasnya masing-masing., Bahkan, sebuah aktivitas pertandingan olah raga antar kelas pun bisa disulap menjadi aktivitas menyenangkan di mana orang tua “harus” datang menyaksikan anaknya bertanding, dan lalu bersua rekan-rekan orang tua lainnya, dan mendekati dan didekati guru sekolahnya. Semua akan merasakan sebuah kedekatan. Engaged.

Gen Z – Kembali ke Khittah

Apakah Gerakan family fun week itu cocok dengan generasi terkini, Generasi Z?

Cocok atau tidak cocok sebenarnya dikembalikan lagi kepada khittah (asal) dari sebuah pendidikan, yaitu komunikasi. Bukankah hal ini, komunikasi, adalah awal pendidikan yang dikenalkan oleh Nabi Ibrahim? Bukankah beliau berkomunikasi dengan puteranya, Nabi Ismail, bahkan kala harus menyampaikan berita yang tidak dia inginkan?

Begitu pula lah pendekatan yang harus dilakukan terhadap Gen Z. Kembalikan ke intinya: komunikasi. Meski semua yang terlibat – orang tua, sekolah, pemerintah – harus sadar bagaimana untuk mendekati anak-anak generasi Z. Ambil tema yang mendekati dengan karakteristik Gen-Z. Jika karakter Gen-Z cenderung multi-tasking yang berbasis teknologi, buatlah aktivitas family fun week yang senada: multi tasking, teknologi, media sosial, aplikatif dan menyenangkan.

Jadi, buatlah Gerakan family fun week dengan dasar komunikasi yang memahami karakter generasi.


 Semoga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun