Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

“Berhamba pada Sang Anak” di Era Generasi Z

25 Mei 2016   15:46 Diperbarui: 25 Mei 2016   16:29 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga orang bapak berdiri agak berjauhan, dengan satu orang ibu menyelip di antaranya. Mereka semua memakai kain sarung dililit di pinggang, tetapi ujung bawahnya dipegang sehingga menggelembung. Beberapa meter di depannya, anak-anak mereka berdiri bersiap dengan memasang wajah sangat ceria.

Sementara itu di belakang anak-anak itu, berdiri tiga orang ibu dan satu orang bapak menyelip di antaranya membentuk garis lurus. Mereka kompak merunduk dengan tangan berposisi siap mengambil bola plastik di baskom plastik. Dengan satu aba-aba, mulailah lomba itu: si ibu mengambil bola, lalu berlari diserahkan ke anaknya, dan si anak melempar bola itu untuk lalu ditangkap ayahnya dengan bantuan sarung yang digelembungkan. Si ibu dan ayah terlihat semangat dengan wajah serius, si anak pun terlihat semangat dengan wajah BAHAGIA.

Itulah sepenggal acara Family Day di sekolah itu dengan perlombaan menangkap bola dengan sarung.

Sepintas sepertinya tidak ada yang menarik dari lomba itu. Hanya seru-seruan saja. Having fun. Hanya membuat anak-anak berteriak. Malah membuat capek ayah-ibu saja. Tapi, mari kita selami apa yang terjadi sebelumnya:

  • Tiga orang itu, ayah, anak dan ibu membentuk lingkaran kecil
  • Ayah berkata “Ayah yang nangkap bola, ibu yang ambil bola”
  • Ibu bisa jadi berkata “Kaki ibu sakit Yah, ibu saja yang nangkap bola”
  • Ayah berkata “Oke kalo begitu. Nangkap bolanya kayak begini ya Bu, biar bolanya masuk”
  • Ayah berkata lagi “Dek, nanti kalo lempar, arahnya ke atas ya. Jangan terlalu pelan. Oke!”

Saat perlombaan itu, rasanya tidak ada satu keluarga pun yang tidak berdiskusi kecil seperti ini.

Mari kita selami juga apa yang terjadi setelahnya:

  • Ayah berkata “Cas dulu. Kamu keren deh”
  • Ibu berkata “Keren Dek. Gak apa-apa kalah ya, yang penting kita kompak”
  • Ayah berkata “Seruuuu ya Dek”
  • Semuanya dilakukan dengan spontan dan diiringi senyum

Jadikan anak-anak sebagai generasi pembelajar. Dengan perasaan senang datang ke sekolah dan pulang sekolah – Anis Baswedan

Tanpa kebanyakan orang sadari, dalam aktivitas fun-day seperti itu, peran keluarga atau terlebih orang tua, dalam pendidikan anak sebenarnya terlihat sangat kentara. Ayah tanpa sadar memperlihatkan kepemimpinannya dengan mengajak diskusi, berbagi peran, meminta pendapat dan memutuskan pilihan.

Sementara ibu pun demikian, tidak tinggal diam, tetapi memberi pendapat. Bahkan si anak pun suaranya didengar. Semua unsur keluarga memiliki dan melakukan perannya masing-masing. Dan di akhir pun ditutup dengan pendidikan moral dan emotional intelegence– berbesar hati, kuat dan pantang menyerah. Di sini anak tanpa sadar menerima banyak sekali pendidikan: karakteristik, peran, tanggung jawab, budi pekerti, simpati-empati selain tentunya intelejensi.

Dialogue tanpa Dia.lo.gue

Hari Sabtu lain, pelataran sekolah yang sama itu ramai. Anak-anak duduk di lantai, dikelilingi ayah, ibu dan terkadang dengan kakak atau adiknya. Mereka terlihat bergembira. Panggung kecil di depan mereka sudah ditata dengan dekorasi sederhana namun menarik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun