Sebentar saja dengkurnya yang keras memenuhi kamar rias jenazah itu. Derit pintu pertanda ada yang masuk, masih kalah kuat.
Tiba-tiba lampu mati. Suasana lumayan gelap. Angin malam begitu deras masuk dari pintu yang terbuka setengah. Lolongan anjing bertambah dekat. Sangat menakutkan! Hujan gerimis turun setetes demi setetes.
Jenazah di sebelah Yayan duduk, mengelus-ngelus kumis tipisnya. Entah kenapa lelaki ini terseyum geli. Dia bermimpi sedang digelitiki Ijah. Jenazah kemudian memukul pipinya.
Yayan tersentak, terjatuh. Seumur-umur dia belum pernah mengalami hal semenyeramkan ini. Saat mendengar tawa halus, mengertilah dia. Lampu tiba-tiba menyala. Gondang berdiri di dekat stop kontak sambil menutup mulut menahan geli. Bonar memegang punggung jenazah. Perlahan dia merebahkannya kembali.
"Setan kalian. Kalau nakutin kira-kira dong. Lihat, riasan jenazah jadi kusut." Dia membetulkan krah jenazah.
"Kau enak-enakan tidur. Di luar gerimis tahu! Untung kami berhasil membawa jenazah itu hingga teras."
"Ada jenazah baru malam-malam begini? Aku ngantuk berat, nih. Besok aja!" Yayan kembali tidur di sebelah jenazah itu.
"Ngantuk sih ngantuk. Kerja harus lanjut. Berhubung yang sekarang ini jenazah korban kecelakaan, jadi wajahnya sebagian rusak. Pokoknya bisa-bisakah kaulah mempercantiknya. Kalau saja secantik sebelumnya. Foto masa hidupnya kuletakkan di sebelah jenazah. Besok keluarganya akan menjemput,"
Sambil menggerutu, Yayan berjalan ke teras. Dua kawannya itu entah pergi kemana . Sesosok jenasah menggunduk di situ. Masih berdarah. Matanya terbelalak, membuat Yayan merinding. Perlahan dia mendorong jenazah ke dalam ruangan. Yayan kesal betul. Ngelembur lagi.
Beruntung dia kawakan merias jenazah. Pukul dua belas teng selesai sudah. Rasa kantuk Yayan lumayan berat. Namun seberkas sinar di tangan jenazah yang baru dirias, membuatnya melirik waspada ke kiri dan ke kanan. Ternyata tak ada orang. Dia teringat Ijah. Dia menarik sesuatu dari jemari si jenazah. Keras betul. Yayan terpaksa ke kamar mandi untuk mengambil sabun. Akh, berhasil sudah.
Itulah sebabnya dia seperti cacing kepanasan menunggu seluruh jenazah diambil keluarganya. Pukul sepuluh pagi, Yayan bisa tersenyum. Dia duduk di warung Ijah. Dia memesan lauk tanpa nasi. Melihat wajah Ijah saja dia sudah kenyang. Apalagi melihat senyum perempuan itu ketika menerima cincin bertatahkan cahaya. Puas Yayan mendengar puji-pujian mengangkasa. Kaulah si tampan. Kaulah si gagah. Meskipun dia merasa bergigi bemo. Tak salah juga dia ingin mengecup pipi Ijah. Tapi karena janur kuning belum melengkung, ditahannya hasrat menggulung.