Lolong anjing begitu panjang, bersahut-sahutan. Yayan tak peduli. Mungkin anjing sedang musim kawin, pikirnya menenangkan diri.
Dia menghirup kopi susu buatan Ijah. Matanya merem-melek membayangkan tubuh molek itu. Hmm, dia tiba-tiba membayangkan yang tidak-tidak.
Apakah nasib ini selalu dialami jomblo alot seperti dirinya? Bagaikan pungguk merindukan bulan. Pengkhayal kelas berat. Sudah karatan.
Tanpa sadar dia menendang bakiak. Seekor kucing hitam mengeong, mencakar jempol kakinya. Dia menepuk dada. Terkejut.
Tak jauh dari kucing hitam itu, kucing berbelang tiga, mengeong genit. Nah, kucing saja punya gandengan, mengapa dirinya tidak?
Angin malam berhembus cukup kencang. Lain dari biasanya. Malam ini malam Jum'at apa, ya? Yayan membelitkan sarung di leher. Topi kupluk semakin dibenamkan. Mungkin sebentar lagi hujan. Dia memutuskan masuk ke ruangan perias jenazah.
Sialnya, lampu berkedap-kedip pertanda akan putus. Harusnya dia meminta bohlam baru kepada Kusnen tadi siang. Tapi, sudahlah. Sekarang pekerjaan telah selesai. Dua jenazah perempuan dirias mirip akan kawinan. Jenazah laki-laki sangat tampan, siap-siap menghadiri pesta dansa kaum borjuis.
Pekerjaan Yayan lumayan ringan hari ini. Hanya ada tiga jenazah yang harus dirias. Biasanya dalam sehari dia beroleh jenazah sampai enam. Dia terpaksa melembur sampai pukul sebelas malam.Â
"Om, tutup dong matanya."
Dia menutup mata jenazah -yang selalu terbuka dari tadi. Perlahan dia rebahan sambil mendorong tangan kiri si jenazah.
"Maaf, aku tidur di sebelahmu. Kalau tidur di sebelah jenazah perempuan, nanti aku dituduh akan mengadakan pencabulan. Aku sih masih waras, tak akan mungkin menyukai jenazah. Hiii!" Dia pura-pura merinding sambil memejamkan mata.
Sebentar saja dengkurnya yang keras memenuhi kamar rias jenazah itu. Derit pintu pertanda ada yang masuk, masih kalah kuat.
Tiba-tiba lampu mati. Suasana lumayan gelap. Angin malam begitu deras masuk dari pintu yang terbuka setengah. Lolongan anjing bertambah dekat. Sangat menakutkan! Hujan gerimis turun setetes demi setetes.
Jenazah di sebelah Yayan duduk, mengelus-ngelus kumis tipisnya. Entah kenapa lelaki ini terseyum geli. Dia bermimpi sedang digelitiki Ijah. Jenazah kemudian memukul pipinya.
Yayan tersentak, terjatuh. Seumur-umur dia belum pernah mengalami hal semenyeramkan ini. Saat mendengar tawa halus, mengertilah dia. Lampu tiba-tiba menyala. Gondang berdiri di dekat stop kontak sambil menutup mulut menahan geli. Bonar memegang punggung jenazah. Perlahan dia merebahkannya kembali.
"Setan kalian. Kalau nakutin kira-kira dong. Lihat, riasan jenazah jadi kusut." Dia membetulkan krah jenazah.
"Kau enak-enakan tidur. Di luar gerimis tahu! Untung kami berhasil membawa jenazah itu hingga teras."
"Ada jenazah baru malam-malam begini? Aku ngantuk berat, nih. Besok aja!" Yayan kembali tidur di sebelah jenazah itu.
"Ngantuk sih ngantuk. Kerja harus lanjut. Berhubung yang sekarang ini jenazah korban kecelakaan, jadi wajahnya sebagian rusak. Pokoknya bisa-bisakah kaulah mempercantiknya. Kalau saja secantik sebelumnya. Foto masa hidupnya kuletakkan di sebelah jenazah. Besok keluarganya akan menjemput,"
Sambil menggerutu, Yayan berjalan ke teras. Dua kawannya itu entah pergi kemana . Sesosok jenasah menggunduk di situ. Masih berdarah. Matanya terbelalak, membuat Yayan merinding. Perlahan dia mendorong jenazah ke dalam ruangan. Yayan kesal betul. Ngelembur lagi.
Beruntung dia kawakan merias jenazah. Pukul dua belas teng selesai sudah. Rasa kantuk Yayan lumayan berat. Namun seberkas sinar di tangan jenazah yang baru dirias, membuatnya melirik waspada ke kiri dan ke kanan. Ternyata tak ada orang. Dia teringat Ijah. Dia menarik sesuatu dari jemari si jenazah. Keras betul. Yayan terpaksa ke kamar mandi untuk mengambil sabun. Akh, berhasil sudah.
Itulah sebabnya dia seperti cacing kepanasan menunggu seluruh jenazah diambil keluarganya. Pukul sepuluh pagi, Yayan bisa tersenyum. Dia duduk di warung Ijah. Dia memesan lauk tanpa nasi. Melihat wajah Ijah saja dia sudah kenyang. Apalagi melihat senyum perempuan itu ketika menerima cincin bertatahkan cahaya. Puas Yayan mendengar puji-pujian mengangkasa. Kaulah si tampan. Kaulah si gagah. Meskipun dia merasa bergigi bemo. Tak salah juga dia ingin mengecup pipi Ijah. Tapi karena janur kuning belum melengkung, ditahannya hasrat menggulung.
Dalam kepala Yayan hanya ada Ijah. Sampai malam, tak ada jenazah yang hendak dirias. Yayan tertidur di bangku panjang. Saat itulah dia melihat seorang perempuan. Dia menagih cincinnya yang dicuri Yayan. Itu cincin tunangan. Tapi ketika bangun besok paginya, Yayan menganggap itu hanya bunga-bunga tidur.
Setiap malam dia bermimpi perempuan itu, hingga si perempuan mengultimatum akan menikah dengan Yaya, bila cincin itu tak dikembalikan. Menikah itu artinya Yayan harus mati dulu. Itulah yang membuat lelaki ini blingsatan. Buru-buru dia mendatangi Ijah untuk menagih cincin itu.
Ijah tersenyum malu-malu. "Maaf, Mang. Cincin itu sudah adek jual untuk pembeli make up."
"Gubrak!" Yayan terjatuh. Apakah dia bisa tegak lagi?
---sekian---Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H