Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Buta

23 Agustus 2019   14:18 Diperbarui: 23 Agustus 2019   14:27 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering sekali aku berharap suatu kali saat membuka mata, aku bisa melihatnya duduk santai di taman sambil menunggu gelap turun diam-diam, memaksa lampu memintal cahaya, menggantikan tugas matahari yang lelah menggarangi bumi.

Mungkin merah itu cantik. Kubayangkan pipinya merah merona. Mungkin putih itu indah. Kubayangkan selain pipi, sekujur tubuhnya putih bersih. Apakah dia memiliki rambut panjang indah? Apakah matanya coklat memesona?

Senja ini aku menangkap kembali suara hela napasnya, lembut pertanda hatinya senang. Aku memaksa ujung tongkat bekerja seakan memiliki mata. Akhirnya aku menemukan bangku panjang, perlahan menurunkan bokong sambil bernapas dalam-dalam, seakan ingin menghirup hawa senja bersemayam di dada. Mungkin sambil menikmati senja, dia sedang melanjutkan membaca novel yang kemarin baru dirampungkannya setengah.

"Hai, Sanif, ke mari! Aku di seberang." Ternyata dia melihatku datang. Aku tersipu.

"Senja ini indah, ya?"

Dia bergumam, "Hmm."

"Sedang melanjutkan membaca novel kemarin, ya?"

"Kok tahu?"

"Aku mendengar suara kertasnya kau balik?" Sesaat kami terdiam. Sebuah mobil ambulance---mungkin---sedang melintas di seberang taman. Suaranya menyalak senja. "Sudah halaman berapa?"

"Maksudmu?"

"Membaca novel itu."

"Halaman seratus lima belas."

"Pasti Sam akan mengatakan cinta kepada Sarlita. Perempuan itu menerimanya, meskipun tahu akan banyak penghalang  merintangi cinta mereka."

"Kok kau tahu Sanif?"

"Aku kan peramal!"

Dia tertawa, duduk di sebelahku. Aku mengaromai shampo. Mungkin rambutnya sangat dekat ke hidungku. Hmm, seandainya aku boleh memeluk kepala dan mengecup rambutnya. Tapi, ah, aku hanya mengkhayal.

Di bercerita senja ini cerah. Banyak pasangan, terkadang bersama anak-anak---mungkin anak mereka.

Ada pula yang asyik memainkan layang-layang. Seorang lelaki bertopi cupluk, duduk sekitar sepuluh meter dari kami. Dia sedang melukis.  Bisa jadi dia melukis senja, atau kami berdua. Marina tetawa lepas. Dia mengupas sesuatu. Sesuatu itu dia letakkan di bibirku; seulas jeruk.

"Enak?"

"Enak, dong!"

"Manis?"

Semanis kamu, batinku malu-malu. Marina bercerita banyak tentang isi novel. Meski baru baca setengah, dia bisa meraba akhir cerita akan bahagia. Seperti kita, Sayang, batinku kembali malu-malu.

Dia bercerita telah diterima menjadi foto model. Pasti dia amat menarik, cantik, tinggi semampai, dan memiliki kaki jenjang seperti milik bangau, anggun. Ingin sekali aku memeluk, memilikinya. Tapi, biarlah aku hanya bisa memiliki suaranya yang renyah, tawanya yang empuk, dan aroma shampo di rambutnya.

Kami berbincang ngalor-ngidul hingga gelap menjerit. Kata Marina, lampu taman mulai menyala. Kami harus berpisah. Tapi, bayangnya tetap memenuhi ruang kepala ini. Bahkan dia amat mengganggu saat aku sedang Shalat Maghrib. Aku merasa amat bersalah. Tapi, tak sanggup pula aku menghalau bayangnya yang selalu melintas.

Aku menjadi tak enak makan, tak ingin tidur. Mungkin sah-sah saja aku mengatakan cinta kepada Marina. Pasti dia akan menerima cintaku. Eh, bukan pasti, tapi mungkin menerima. Dua puluh persen aku pikir tak berlebihan.

"Belum tidur, Sanif? Dari tadi kau cuma bolak-bolik terus di atas kasur."

"Belum, Nal!"

"Belum makan malam juga?"

"Tak nafsu."

"Masih memikirkan Marina? Sadar, Sanif. Siapa sebenarnya dirimu dan siapa Marina? Dia memiliki mata dan maaf, kau buta. Jangan egois. Biarkanlah dia berpasangan dengan lelaki yang memiliki mata. Kau carilah pasangan perempuan yang serupa dirimu.."

"Aku  juga memiliki mata!"

"Mata yang bisa melihat, maksudku."

"Lho, bukankah yang memiliki mata itu yang egois? Mereka tak mau kepadaku yang buta!" Aku merengut.

"Sebenarnya bukan egois. Kau harus nyadar diri."

Aku ingin berontak kenapa harus terlahir buta. Ini tak adil! Seharusnya kalau ingin adil, semua manusia memiliki mata yang bisa melihat, atau sebaliknya semua buta. Kenapa pula pasangan buta  harus dengan buta?

"Jangan pernah menyalahkan Tuhan. Bersyukurlah karena Tuhan telah membebaskanmu dari dosa mata selama kau buta. Sementara orang yang bisa melihat, mata bisa menjerumuskan mereka ke neraka. Syukuri sajalah!"

"Kau bisa berkata begitu karena bisa melihat," keluhku.

"Bukan begitu, Naf. Aku tak ingin kau kecewa karena terlalu berharap. Tipis kemungkinan Marina mau bersanding denganmu."

"Tak ada salahnya berharap, kan?"

"Jangan berharap terlalu tinggi. Kalau jatuh, sakitnya amat terasa Bersyukurlah, meski dirimu tak bisa memiliki Marina, novelmu itu bisa dimilikinya. Ingat, Nif, tidak setiap manusia bisa menulis. Tidak setiap penulis bisa melahirkan buku."

Oya, sebelum lupa, novel yang ada di tangan Marina itu kolaborasi antara aku dan Zainal. Aku yang bercerita, Zainal mengetiknya, bahkan mengajukan ke penerbit. Novel kami itu baru terbit seminggu lalu. Aku menghadiahkan satu eksamplar kepada Marina. Tertulis nama pengarang di sampul novel; Nalsif, Zainal dan Sanif.

***

Berbilang senja aku tak bisa berkunjung ke taman. Hujan begitu telaten merawat basah. Ada di manakah Marina? Apakah dendam rindunya sama dengan dendam rindu yang aku punya?

Terkadang aku berbuat gila saat bangun pagi, menghitung kancing baju. Hujan, tidak, hujan,  tidah, hujan. Aku kesal, dan senja memang hujan. Aku memulainya dengan kata, tidak, hujan, tidak, hujan, tidak. Aku bernapas lega, dan senja memang tidak panas, tapi hujan. Seperti inikah keadaan orang mabuk cinta? Terkadang tingkahnya masuk akal, namun lebih sering gila.

Senja ini adalah  senja kesepuluh aku tak ke taman, bila saja hujan tetap turun. Aku sudah kapok menghitung kancing baju. Apakah ini yang menyebabkan tiba-tiba tak turun hujan? Aku sendiri tak tahu.

Tiba-tiba aku teringat Zainal. Sepuluh senja  batang hidungnya menghilang.  Aku sering ingin bercerita kepadanya ketika gundah, karena hujan turun terus. Sekarang aku juga ingin mendengar petuahnya, sebab hujan tak turun, dan inilah kesempatanku bertemu Marina.

Telah cukup aku memendam rasa. Tiba saatnya aku harus berterus terang kepada Marina,  bahwa aku jatuh cinta kepadanya. Terserah kelak apa tanggapannya, menerima cintaku atau tidak. Pembuktian cinta itu perlu keterusterangan.

Aku memakai pakaian terbaik agar kelihatan tampan. Mematut-matut sebentar di cermin, sehingga aku terlihat kurang waras. Sejak kapan orang buta butuh cermin? Cermin itu peninggalan Zainal yang tak pulang-pulang.  

Setelah semua terasa lengkap, aku meraih  pegangan pintu. Tapi, pintu lebih dulu terbuka. Perasaanku mengatakan ada perempuan cantik tengah berdiri nun di ambang pintu. Dapat kurasakan aroma shamponya yang khas. Dapat kutebak siapa pemilik napas terburu itu.

Dia melangkah masuk, menutup pintu dan menguncinya. Dia mendorongku hingga terjajar ke dekat lemari. Apa yang hendak Marina lakukan? Kalau dia ingin  mengatakan cinta, bukan begini cara yang kuinginkan.

Aku ingin mendorong tubuhnya, tapi alam bawah sadar memaksaku pasrah agar dia semakin masuk. Dulu mendiang ayah pernah mengatakan, "Hati-hati saat kau hanya berdua dengan perempuan yang muhrim, apalagi bukan. Sebab yang ketiga adalah setan."

Aku pun bisa menguasai bawah sadar.  Saat aku ingin mengingatkan Marina, tapi dia lebih dulu menjerit kesenangan. Dia  mecubit gemas pinggangku.

"Tahu kenapa aku nekad ke kosanmu? Zainal ada di mana?

"Aku tak tak tahu kenapa kau menggrebek kosanku." Dia cekikan. "Di sini kau tak akan menemukan Zainal."

Dia menuntunku ke arah tempat tidur. Kami duduk di bagian ujung. Apalagi yang ingin diperbuat Marina? Cukup aku terselamatkan dari zina mata, jangan malahan dijerumuskan ke zina badan.

"Nif, kenapa kau tak jujur kepadaku?" tanya Marina.

Jujur aku mencintaimu? Sabar Sanif, pelan-pelan sedikit. "Jujur kenapa?"

"Jujur mengatakan kalau novel berjudul Senja Buta yang kau hadiahkan kepadaku itu sebenarnya karya Zainal. Oh, aku terharu, Nif. Ceritanya sangat bagus. Aku sudah tamat dua kali. Rasanya masih kurang." Jantungku seperti dipukul godam.

"Lebih dari itu ada yang sangat membuatku bahagia."

"Bahagia kenapa?"

"Zainal mengatakan cinta kepadaku. Tapi, jangan bilang siapa-siapa, ya!"

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun