Semanis kamu, batinku malu-malu. Marina bercerita banyak tentang isi novel. Meski baru baca setengah, dia bisa meraba akhir cerita akan bahagia. Seperti kita, Sayang, batinku kembali malu-malu.
Dia bercerita telah diterima menjadi foto model. Pasti dia amat menarik, cantik, tinggi semampai, dan memiliki kaki jenjang seperti milik bangau, anggun. Ingin sekali aku memeluk, memilikinya. Tapi, biarlah aku hanya bisa memiliki suaranya yang renyah, tawanya yang empuk, dan aroma shampo di rambutnya.
Kami berbincang ngalor-ngidul hingga gelap menjerit. Kata Marina, lampu taman mulai menyala. Kami harus berpisah. Tapi, bayangnya tetap memenuhi ruang kepala ini. Bahkan dia amat mengganggu saat aku sedang Shalat Maghrib. Aku merasa amat bersalah. Tapi, tak sanggup pula aku menghalau bayangnya yang selalu melintas.
Aku menjadi tak enak makan, tak ingin tidur. Mungkin sah-sah saja aku mengatakan cinta kepada Marina. Pasti dia akan menerima cintaku. Eh, bukan pasti, tapi mungkin menerima. Dua puluh persen aku pikir tak berlebihan.
"Belum tidur, Sanif? Dari tadi kau cuma bolak-bolik terus di atas kasur."
"Belum, Nal!"
"Belum makan malam juga?"
"Tak nafsu."
"Masih memikirkan Marina? Sadar, Sanif. Siapa sebenarnya dirimu dan siapa Marina? Dia memiliki mata dan maaf, kau buta. Jangan egois. Biarkanlah dia berpasangan dengan lelaki yang memiliki mata. Kau carilah pasangan perempuan yang serupa dirimu.."
"Aku  juga memiliki mata!"
"Mata yang bisa melihat, maksudku."