Terkadang aku berbuat gila saat bangun pagi, menghitung kancing baju. Hujan, tidak, hujan, Â tidah, hujan. Aku kesal, dan senja memang hujan. Aku memulainya dengan kata, tidak, hujan, tidak, hujan, tidak. Aku bernapas lega, dan senja memang tidak panas, tapi hujan. Seperti inikah keadaan orang mabuk cinta? Terkadang tingkahnya masuk akal, namun lebih sering gila.
Senja ini adalah  senja kesepuluh aku tak ke taman, bila saja hujan tetap turun. Aku sudah kapok menghitung kancing baju. Apakah ini yang menyebabkan tiba-tiba tak turun hujan? Aku sendiri tak tahu.
Tiba-tiba aku teringat Zainal. Sepuluh senja  batang hidungnya menghilang.  Aku sering ingin bercerita kepadanya ketika gundah, karena hujan turun terus. Sekarang aku juga ingin mendengar petuahnya, sebab hujan tak turun, dan inilah kesempatanku bertemu Marina.
Telah cukup aku memendam rasa. Tiba saatnya aku harus berterus terang kepada Marina, Â bahwa aku jatuh cinta kepadanya. Terserah kelak apa tanggapannya, menerima cintaku atau tidak. Pembuktian cinta itu perlu keterusterangan.
Aku memakai pakaian terbaik agar kelihatan tampan. Mematut-matut sebentar di cermin, sehingga aku terlihat kurang waras. Sejak kapan orang buta butuh cermin? Cermin itu peninggalan Zainal yang tak pulang-pulang. Â
Setelah semua terasa lengkap, aku meraih  pegangan pintu. Tapi, pintu lebih dulu terbuka. Perasaanku mengatakan ada perempuan cantik tengah berdiri nun di ambang pintu. Dapat kurasakan aroma shamponya yang khas. Dapat kutebak siapa pemilik napas terburu itu.
Dia melangkah masuk, menutup pintu dan menguncinya. Dia mendorongku hingga terjajar ke dekat lemari. Apa yang hendak Marina lakukan? Kalau dia ingin  mengatakan cinta, bukan begini cara yang kuinginkan.
Aku ingin mendorong tubuhnya, tapi alam bawah sadar memaksaku pasrah agar dia semakin masuk. Dulu mendiang ayah pernah mengatakan, "Hati-hati saat kau hanya berdua dengan perempuan yang muhrim, apalagi bukan. Sebab yang ketiga adalah setan."
Aku pun bisa menguasai bawah sadar.  Saat aku ingin mengingatkan Marina, tapi dia lebih dulu menjerit kesenangan. Dia  mecubit gemas pinggangku.
"Tahu kenapa aku nekad ke kosanmu? Zainal ada di mana?
"Aku tak tak tahu kenapa kau menggrebek kosanku." Dia cekikan. "Di sini kau tak akan menemukan Zainal."