"Lho, bukankah yang memiliki mata itu yang egois? Mereka tak mau kepadaku yang buta!" Aku merengut.
"Sebenarnya bukan egois. Kau harus nyadar diri."
Aku ingin berontak kenapa harus terlahir buta. Ini tak adil! Seharusnya kalau ingin adil, semua manusia memiliki mata yang bisa melihat, atau sebaliknya semua buta. Kenapa pula pasangan buta  harus dengan buta?
"Jangan pernah menyalahkan Tuhan. Bersyukurlah karena Tuhan telah membebaskanmu dari dosa mata selama kau buta. Sementara orang yang bisa melihat, mata bisa menjerumuskan mereka ke neraka. Syukuri sajalah!"
"Kau bisa berkata begitu karena bisa melihat," keluhku.
"Bukan begitu, Naf. Aku tak ingin kau kecewa karena terlalu berharap. Tipis kemungkinan Marina mau bersanding denganmu."
"Tak ada salahnya berharap, kan?"
"Jangan berharap terlalu tinggi. Kalau jatuh, sakitnya amat terasa Bersyukurlah, meski dirimu tak bisa memiliki Marina, novelmu itu bisa dimilikinya. Ingat, Nif, tidak setiap manusia bisa menulis. Tidak setiap penulis bisa melahirkan buku."
Oya, sebelum lupa, novel yang ada di tangan Marina itu kolaborasi antara aku dan Zainal. Aku yang bercerita, Zainal mengetiknya, bahkan mengajukan ke penerbit. Novel kami itu baru terbit seminggu lalu. Aku menghadiahkan satu eksamplar kepada Marina. Tertulis nama pengarang di sampul novel; Nalsif, Zainal dan Sanif.
***
Berbilang senja aku tak bisa berkunjung ke taman. Hujan begitu telaten merawat basah. Ada di manakah Marina? Apakah dendam rindunya sama dengan dendam rindu yang aku punya?