"Aku harus menjaga kehormatan suamiku, kan?"
"Pasti, Nyonya!"
"Begini." Nyonya walikota mulai bercerita, bahwa ia mempunyai tukang kebun yang tak bisa disebut tampan, tapi sangat pantas disebut jantan. Berapa bulan belakangan ini, bapak walikota selalu sibuk kampanye karena ingin menjabat walikota periode kedua. Yang namanya kampanye pastilah menguras waktu, pikiran dan tenaga. Begitu si bapak sampai di rumah, pilihannya tidur dan mendengkur. Berbilang minggu, berbilang bulan.
Sebagai wanita normal, si nyonya walikota ada main dengan si tukang kebun, dan...
Sam cepat menyela. "Dan aku tahu, nyonya pasti sedang gembung."
"Maksud Prof?" Nyonya walikota bingung. Sam memperagakan tangan di depan perutnya. "Ya, itu masalahnya. Aku hamil! Aku ingin kau mengugurkannya!"
"Sudah kuduga. Dan kau pasti tahu apa jawabanku; T-I-D-A-K."
"Tolonglah, Prof. Masalah ini bisa membuatnya gagal menjadi walikota."
"Aku tak ingin melanggar dispilin ilmu yang kuamalkan selama ini." Nyonya walikota menyebut nominal menggiurkan. Sam menggeleng tegas. Nominal ini sama saja upah melayani sepasang pasien tanpa keturunan. Nyonya walikota menaikkan tawaran hampir dua kali lipat. Sam membantah, itu melanggar disiplin ilmu. Tawaran bertambah empat kali lipat. Sam mengatakan takut berurusan dengan hukum. Nyonya walikota menaikkan sepuluh kali lipat. Sam membelalak. Keringat dingin menjalari tengkuknya.
"Aku takut dosa!" tegas Sam.
"Siapa yang bisa melihat dosa?" Mimik Sam terlihat agak goyah. "Apa prof pernah menjamahnya? Apa pernah prof menciumnya? Pikirkanlah satu-dua hari ini. Sepuluh kali lipat dari yang biasa prof terima. Bukankah itu menggiurkan?" Nyonya walikota beranjak berdiri. Sam menahan pahanya, lalu buru-buru meminta maaf karena tak sopan.