Namanya Profesor Darko. Bertubuh pendek nyaris samekot (satu meter kotor). Dia terakhir mengukur tinggi badan saat tes Akabri sekian puluh tahun lalu. Dan tebakanmu benar. Dia tak diterima menjadi salah seorang petugas pertahanan negara itu. Tapi jangan pernah kau berpikir otaknya pendek. Seandainya otaknya tak panjang, mana mungkin dia mendapat gelar profesor pada usia yang tergolong sangat muda.Â
Dia pelit wajah, artinya jauh dari kata tampan, dengan totol-totol hitam yang memenuhi seluruh kerut wajahnya. Di tambah kepala yang botak bagian belakang, sementara jambul tebal, wajarlah dia sering kena bully.Â
Hukum cocoklogi, orang berdisiplin ilmu seperti Profesor Darko, harusnya botak di depan, karena yang dipikirkannya hanya masalah ke depan. Â Botak di belakang milik ahli sejarah atau para arkeologi, karena yang mereka pikirkan melulu masa lalu.
Ketika berkonsultasi dengan Profesor Darko, pasien memanggilnya Prof. Tapi, ketika di belakang, pasien membully dengan sebutan Sam. Dan itu sama sekali tak keren, sebab kepanjangannya samekot. Kau pasti faham. Saya sudah menyebutkannya di paragraf pertama, dan tak perlu lagi saya ulang. Itu memubazirkan karakter. Saya juga ingin memanggilnya Sam---bukan sebab ingin membully---semata-mata tak ingin boros karakter.
Supaya jelas bagimu siapa si Sam ini, dia adalah pakar kandungan. Â Pakar di sini bukan karena dia bisa merawat ibu hamil, dan membantu melahirkan jabang bayi. Bidan pun saya rasa sudah bisa menanganinya. Kepakaran Sam adalah khusus bagi yang bermasalah dengan keturunan.
Dia bertangan dingin. Pernah sepasang suami-istri tanpa keturunan menemuinya, persis setelah ulang tahun pernikahan perak mereka. Alhasil, Sam berhasil menghadiahi mereka bayi. Karena kepakarannya itulah dia akhirnya mendapat gelar profesor.
Rumah Sam di bilangan sudirman, dan dia selalu sibuk. Dari pagi hingga dini hari. Sam malahan tak pernah tahu kapan dia tidur dan kapan dia bangun. Ketika tertidur terkadang dia sedang menikmati makan malam yang terlambat. Baru terbangun setelah dia sedang berada di closet duduk lantaran dia kebanyakan memakan sambal.
Hingga di suatu petang, ada nyonya besar menemuinya. Sam tahu dia perempuan subur. Sam juga tahu cantiknya selangit. Dan dia tahu ada yang tak beres di selangkangannya. Sam lajang normal. Dia sama sekali tak bermasalah dengan kejantanan, hanya dia selalu kalah dalam ukuran ketampanan.
Sam semakin gelisah, entah bergairah, setelah si nyonya cantik berbisik, ingin berbincang empat mata di suatu tempat. Maka dipilihlah kamar tamu Sam yang mentereng. Sebentar Sam menyuruh pelayan menghidangkan dua loki sampanye. Sam juga buru-buru menyemprotkan pengharum ruangan. Lalu, si nyonya cantik duduk di bibir ranjang. Sam malu-malu mengepitkan kakinya, duduk di sebelah si nyonya.
"Pak Sam tahu aku nyonya walikota," kata perempuan itu memulai obrolan.
"Siapapun tahu, Nya."
"Aku harus menjaga kehormatan suamiku, kan?"
"Pasti, Nyonya!"
"Begini." Nyonya walikota mulai bercerita, bahwa ia mempunyai tukang kebun yang tak bisa disebut tampan, tapi sangat pantas disebut jantan. Berapa bulan belakangan ini, bapak walikota selalu sibuk kampanye karena ingin menjabat walikota periode kedua. Yang namanya kampanye pastilah menguras waktu, pikiran dan tenaga. Begitu si bapak sampai di rumah, pilihannya tidur dan mendengkur. Berbilang minggu, berbilang bulan.
Sebagai wanita normal, si nyonya walikota ada main dengan si tukang kebun, dan...
Sam cepat menyela. "Dan aku tahu, nyonya pasti sedang gembung."
"Maksud Prof?" Nyonya walikota bingung. Sam memperagakan tangan di depan perutnya. "Ya, itu masalahnya. Aku hamil! Aku ingin kau mengugurkannya!"
"Sudah kuduga. Dan kau pasti tahu apa jawabanku; T-I-D-A-K."
"Tolonglah, Prof. Masalah ini bisa membuatnya gagal menjadi walikota."
"Aku tak ingin melanggar dispilin ilmu yang kuamalkan selama ini." Nyonya walikota menyebut nominal menggiurkan. Sam menggeleng tegas. Nominal ini sama saja upah melayani sepasang pasien tanpa keturunan. Nyonya walikota menaikkan tawaran hampir dua kali lipat. Sam membantah, itu melanggar disiplin ilmu. Tawaran bertambah empat kali lipat. Sam mengatakan takut berurusan dengan hukum. Nyonya walikota menaikkan sepuluh kali lipat. Sam membelalak. Keringat dingin menjalari tengkuknya.
"Aku takut dosa!" tegas Sam.
"Siapa yang bisa melihat dosa?" Mimik Sam terlihat agak goyah. "Apa prof pernah menjamahnya? Apa pernah prof menciumnya? Pikirkanlah satu-dua hari ini. Sepuluh kali lipat dari yang biasa prof terima. Bukankah itu menggiurkan?" Nyonya walikota beranjak berdiri. Sam menahan pahanya, lalu buru-buru meminta maaf karena tak sopan.
"Ya, aku mau, Nya!"
"Jamin tak akan celaka?"
"Jamin! Aman sentosa."
Dan ternyata kerjaan Sam memang tokcer. Tugas lamanya yang membantu menumbuhkan nyawa-nyawa baru, sekarang berbalik membunuh nyawa-nyawa yang menyusul.
Sam tak ingin perbuatannya terbongkar. Dia pindah praktek di bilangan pinggir kota, berdekatan dengan kampung kumuh. Ternyata tangannya yang panas mulai dicari orang. Dia bisa membunuh nyawa baru dengan mulus. Bahkan yang sudah berusia tujuh bulan. Dengan jaminan si calon ibu aman sentosa.
Saya di sini tak ingin membongkar di mana alamat tepatnya, karena itu melanggar aturan percerpenan. Yang pasti, disekelingnya banyak tempat pelacuran, hotel-hotel jam-jaman. Pasien yang kecelakan pun berdatangan seperti jamur di musim penghujan, meski itu harus melego uang sepuluh kali lipat dari tarif membantu menumbuhkan nyawa.
Sam semakin diincar pelanggannya yang semakin banyak. Hampir seratus nyawa terbuang di comberan belakang rumah; merah, bergumpal-gumpal. Dan malam ini Sam menorehkan jam terbangnya yang keseratus satu. Saat itulah dia seperti mendengar suara anak kecil meminta tolong. Seorang-dua, dua orang-tiga, bahkan  ramai. Sam bergegas menutup tempat prakteknya, lalu mandi dan mencoba tidur. Suara anak kecil itu tetap mengejarnya. Sam mencoba menghalaunya dengan sebotol sampanye. Hanya dadanya seakan terbakar. Suara-suara itu semakin jelas. Dia sekonyong melihat wajah bayi muncul dari wastafel. Seorang-dua, dua orang-tiga, bahkan ramai.
Sam melanggar peraturan bahwa minuman keras tak boleh dicampur dengan obat. Di bawah bantalnya ada sebotol obat tidur, dan dia menelannya sebutir. Setelah itu suara-suara anak kecil itu hilang. Sam juga hilang kesadaran. Hingga saat pagi-pagi pelayan hendak membersihkan kamarnya, pelayan menemukan seorang lelaki yang hanya bisa tertawa. Bajunya sudah compang-camping.
"Prof, kenapa?"
Orang itu berlari keluar rumah, tertawa-tawa dan main di comberan. Bercerita entah apa, entah dengan siapa. Bila suatu saat kau bertemu orang samekot, jauh dari kata tampan, dan kepalanya botak bagian belakang, mungkin dia adalah Profesor Darko. Â Â
---sekian--- Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H