Saya merinding mengingat pecel lele itu dimasak perempuan penggoda bernama Hamidah. Lambung saya seperti tertusuk duri. Saya colok-colok mulut saya agar bisa memuntahkan pecel lele. Eh, bukannya dari mulut yang termuntah, saya malahan buang hajat di closet duduk. Meradangnya bukan buatan. Hesti, Â kau harus bermain cantik!
Saya tak ingin kelihatan lemah. Sekali saja ada bukti Mas Anhar bermain api, akan langsung saya libas.
Saya tak ingin berbasa-basi lagi, meski saat makan siang Mas Anhar menyinggung pecel lele. Saya juga lebih suka menikmati novel ketika di peraduan. Saya menyesal kenapa pengarang tak membuat novelnya lebih tebal, agar saya ada alasan sedang menikmati novel. Lelaki sialan ini ingin mengajak menikmati yang lain!
Sesuai saran Monik, setelah mulutku sampai berbusa  menceritakan kelakuan Man Anhar, maka jam sebelas siang saya sudah mengendap di balik pohon akasia, selemparan batu dari kantor suami saya itu. Saya bagaikan serigala menunggu mangsa. Harus sabar bila ingin berhasil!
Pukul dua belas lewat lima menit, muncung mobil hitam metalik itu keluar dari gerbang sebuah gedung. Saya pelan-pelan mengikutinya. Melewati jalan lurus, berbelok, macet, tanjakan. Akhirnya saya kehilangan jejak. Dasar detektif gadungan! Saya memukul kemudi kesal. Seorang lelaki yang sangat saya kenal, sekonyong menempelkan wajahnya di kaca jendela. Mas Anhar?
"Ha, ketahuan tak sabaran ingin makan pecel lele Wan Hamidah, ya!" katanya saat saya keluar dari dalam mobil dengan wajah kikuk. "Kita makan siang sama-sama, yok!" Dia menggandeng tangan saya. Beberapa lelaki di belakang kami bersuit-suit. Mungkin mereka bawahan Mas Anhar.
Seperti tahu tak ingin mengganggu privacy atasan, mereka mengambil tempat duduk agak di ujung, sementara  saya dan Mas Anhar duduk di dekat kasir, bersebelahan dengan akuarium berisi ikan arwana.
Hati saya risau. Saya celingak-celinguk tak sabaran. Mas Anhar memesan makanan.
Mana ya Wan Hamidah? Saya harus tembak langsung, apa dia hanya ingin melayani selera perut suami saya, atau ada niat lain, mengulik-ngulik selera yang lain?
"Hei, sedang mencari siapa, sih?" Mas Anhar sudah duduk di sebelah saya. "Wan Hamidah?"Â
Lekas saya mengganggguk seperti anak kecil ditawari es krim. "Carilah, orangnya putih." Jantung saya berdebar. "Berlesung pipit." Ingin saya hajar Hamidah. "Ber..."