Bisa saja ada makanan yang lebih lezat di luaran sana. Dibuat oleh tangan putih-mulus dan lentik. Diantar dengan lenggak-lenggok, Â pula parfum menyengat melebihi bau sigung. Dan tentu saja dihidangkan dengan kerling manja, bahkan mungkin dengan kedipan. Setan gundul! Aku terbayang perempuan montok itu akan memutus kelanggengan keluarga saya bersama Anhar.Â
Begitu saya bercerita kepada Monik, seolah dia menambah bensin, hingga rambut saya laksana terbakar. Awas saja kalau Anhar mau main api! Saking kesalnya, batin saya ogah menyebutnya kata "mas".
Untunglah menjelang maghrib dia pulang membawa oleh-oleh empat bungkus pecel lele. Satu untuknya, satu untuk saya, yang lain untuk dua anak kami. Baunya amat menggoda.Â
Selepas Shalat Magrib, Â kami---kecuali anak-anak yang kelayapan karena malam Minggu---menikmati pecel lele di teras rumah, ditemani cahaya lilin. Kami ibarat sedang berbulan madu. Â Meski kami masing-masing dapat jatah satu bungkus pecel lele, tapi kami malahan suap-suapan. Jatah saya masuk ke mulut Mas Anhar, begitu pula sebaliknya. Lidah saya sampai klepek-klepek. Sambal pecel lele itu lho, yang tak tahan. Rasanya, wow, tak bisa saya ceritakan.
Sedang nikmat-nikmatnya merasakan pecel lele, ada pula pengganggu; tamu Mas Anhar. Alhasil, saya mengungsi ke dapur, hingga melicinkan  daun pisang pembungkus pecel lele. Tak ada yang bersisa kecuali durinya.
Kapan-kapan saya ingin diajak makan pecel lele. Rasa enaknya seakan tertinggal di lidah dan tersimpan dalam memori otak. Bahkan sampai terbawa mimpi.Â
Ketika terbangun esok harinya, Mas Anhar malahan menggoda bahwa ternyata pecel lele memiliki obat tidur. Tidur saya nyenyak sekali. Mendengkur!
"Nah, itulah yang membuat saya tak lagi membawa bekal makan siang ke kantor. Bagaimana, klepek-klepek, kan? Semua pecel lele di mana-mana sama saja. Sambalnya itu yang membuat beda. Kapan-kapan saya bawa lagi." Mas Anhar tegak setelah berhasil mengenakan sepatu sport.Â
"Besok bawa lagi, ya!"
"Besok? Nagih?" Dia meninggalkan saya sambil menyeletuk, "Pecel lele Wan Hamidah memang tiada duanya.
Saya tersentak. Saya tiba-tiba ingin marah. Tapi, marah itu cepat saya redam. Saya tak ingin dikira cemburu. Bergegas pula saya ke closet setelah mendengar suara pintu depan di tutup Mas Anhar.Â