Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Resep Pecel Lele Cinta Wan Hamidah

22 Juli 2019   23:20 Diperbarui: 24 Juli 2019   10:19 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : shutterstock.com

Di Kafe Latina, Monik seakan berusaha mengaduk-aduk hati saya. Berulangkali dia menyatakan niatnya murni tak ingin melihat saya kecewa. Hanya itu! Kendati sambil memerhatikan matanya dari ujung gelas, saya melihat riak iri di sana. Ya, mungkin karena keluarga saya tetap adem-ayem, hingga usia pernikahan saya menginjak tahun ke lima belas.

"Oh, ya?" Saya meletakkan gelas setelah menyeruput es lemon. 

Sebenarnya saya  muak mendengar ucapannya yang menghakimi itu. Tapi saya mengakui, pada dasarnya dia benar. Dia pernah berurusan dengan pelakor, tentu saja itu salah satu penyebab dia bercerai dengan Hans.

Menurut Monik, lelaki di mana-mana sama. Ibarat kucing,  harus diawasi terus agar  ikan asin di meja makan tetap aman. Ada memang kucing yang sok kuat menahan godaan ikan asin. Tapi bagaimana dengan ikan kerapu merah berharga mahal itu? Bagaimana dengan lobster yang sanggup mengoyak kocek?

Saya yakin Mas Anhar adalah koleksi kucing terlangka di kota ini. Bukan berarti godaan ikan tak ada. Komplek perumahan tempat kami tinggal, hampir bisa disebut etalase ikan, eh, perempuan cantik. Dari berbagai tipe dapat kau temukan di sini. Semua bisa menaik-turunkan jakun para lelaki. Belum lagi di kantor Mas Anhar, semua perempuan nyaris tanpa cacat.

Mas Anhar sangat sukar digoyahkan. Dia suami yang lurus-lurus saja. Jabatannya sekarang ini lumayan mengggiurkan bagi pelakor; manager keuangan. Jangan tanya urusan tampilan badan, mirip-mirip ferrari keluaran terbaru bila itu dikaitkan dengan mobil. Sudah harganya selangit, machonya mengukur lintasan,  membuat decak kagum. Pokoknya moncer benar. Retak tangannya indah. 

Tak jarang istri tetangga sering pura-pura menyiram bunga apabila suami saya itu mau berangkat ke kantor. Jadilah sekadar menyapa; selamat pagi, Mas Anhar. Mau berangkat kerja?

Tapi, kenapa dia agak berbeda belakangan ini? Dulu setiap ke kantor, dia selalu memaksa membawa bekal. Bekal dari rumah lebih sehat daripada makan di luaran. Lagipula masakan saya nikmatnya tiada tara. Prinsip yang perlu diacungi jempol. 

Sekarang tingkahnya aneh betul. Saya mulai curiga kepada Mas Anhar. Dia mulai jarang meminta dibuatkan bekal. 

Ketika kemarin dulu saya masih menyiapkan bekal di meja makan, dia beralasan ada meeting di restoran berbintang. Jadi, membawa bekal akan mubazir. 

Apakah Mas Anhar ingin berubah dari kucing rumahan menjadi kucing garong?

Bisa saja ada makanan yang lebih lezat di luaran sana. Dibuat oleh tangan putih-mulus dan lentik. Diantar dengan lenggak-lenggok,  pula parfum menyengat melebihi bau sigung. Dan tentu saja dihidangkan dengan kerling manja, bahkan mungkin dengan kedipan. Setan gundul! Aku terbayang perempuan montok itu akan memutus kelanggengan keluarga saya bersama Anhar. 

Begitu saya bercerita kepada Monik, seolah dia menambah bensin, hingga rambut saya laksana terbakar. Awas saja kalau Anhar mau main api! Saking kesalnya, batin saya ogah menyebutnya kata "mas".

Untunglah menjelang maghrib dia pulang membawa oleh-oleh empat bungkus pecel lele. Satu untuknya, satu untuk saya, yang lain untuk dua anak kami. Baunya amat menggoda. 

Selepas Shalat Magrib,  kami---kecuali anak-anak yang kelayapan karena malam Minggu---menikmati pecel lele di teras rumah, ditemani cahaya lilin. Kami ibarat sedang berbulan madu.  Meski kami masing-masing dapat jatah satu bungkus pecel lele, tapi kami malahan suap-suapan. Jatah saya masuk ke mulut Mas Anhar, begitu pula sebaliknya. Lidah saya sampai klepek-klepek. Sambal pecel lele itu lho, yang tak tahan. Rasanya, wow, tak bisa saya ceritakan.

Sedang nikmat-nikmatnya merasakan pecel lele, ada pula pengganggu; tamu Mas Anhar. Alhasil, saya mengungsi ke dapur, hingga melicinkan  daun pisang pembungkus pecel lele. Tak ada yang bersisa kecuali durinya.

Kapan-kapan saya ingin diajak makan pecel lele. Rasa enaknya seakan tertinggal di lidah dan tersimpan dalam memori otak. Bahkan sampai terbawa mimpi. 

Ketika terbangun esok harinya, Mas Anhar malahan menggoda bahwa ternyata pecel lele memiliki obat tidur. Tidur saya nyenyak sekali. Mendengkur!

"Nah, itulah yang membuat saya tak lagi membawa bekal makan siang ke kantor. Bagaimana, klepek-klepek, kan? Semua pecel lele di mana-mana sama saja. Sambalnya itu yang membuat beda. Kapan-kapan saya bawa lagi." Mas Anhar tegak setelah berhasil mengenakan sepatu sport. 

"Besok bawa lagi, ya!"

"Besok? Nagih?" Dia meninggalkan saya sambil menyeletuk, "Pecel lele Wan Hamidah memang tiada duanya.

Saya tersentak. Saya tiba-tiba ingin marah. Tapi, marah itu cepat saya redam. Saya tak ingin dikira cemburu. Bergegas pula saya ke closet setelah mendengar suara pintu depan di tutup Mas Anhar. 

Saya merinding mengingat pecel lele itu dimasak perempuan penggoda bernama Hamidah. Lambung saya seperti tertusuk duri. Saya colok-colok mulut saya agar bisa memuntahkan pecel lele. Eh, bukannya dari mulut yang termuntah, saya malahan buang hajat di closet duduk. Meradangnya bukan buatan. Hesti,  kau harus bermain cantik!

Saya tak ingin kelihatan lemah. Sekali saja ada bukti Mas Anhar bermain api, akan langsung saya libas.

Saya tak ingin berbasa-basi lagi, meski saat makan siang Mas Anhar menyinggung pecel lele. Saya juga lebih suka menikmati novel ketika di peraduan. Saya menyesal kenapa pengarang tak membuat novelnya lebih tebal, agar saya ada alasan sedang menikmati novel. Lelaki sialan ini ingin mengajak menikmati yang lain!

Sesuai saran Monik, setelah mulutku sampai berbusa  menceritakan kelakuan Man Anhar, maka jam sebelas siang saya sudah mengendap di balik pohon akasia, selemparan batu dari kantor suami saya itu. Saya bagaikan serigala menunggu mangsa. Harus sabar bila ingin berhasil!

Pukul dua belas lewat lima menit, muncung mobil hitam metalik itu keluar dari gerbang sebuah gedung. Saya pelan-pelan mengikutinya. Melewati jalan lurus, berbelok, macet, tanjakan. Akhirnya saya kehilangan jejak. Dasar detektif gadungan! Saya memukul kemudi kesal. Seorang lelaki yang sangat saya kenal, sekonyong menempelkan wajahnya di kaca jendela. Mas Anhar?

"Ha, ketahuan tak sabaran ingin makan pecel lele Wan Hamidah, ya!" katanya saat saya keluar dari dalam mobil dengan wajah kikuk. "Kita makan siang sama-sama, yok!" Dia menggandeng tangan saya. Beberapa lelaki di belakang kami bersuit-suit. Mungkin mereka bawahan Mas Anhar.

Seperti tahu tak ingin mengganggu privacy atasan, mereka mengambil tempat duduk agak di ujung, sementara  saya dan Mas Anhar duduk di dekat kasir, bersebelahan dengan akuarium berisi ikan arwana.

Hati saya risau. Saya celingak-celinguk tak sabaran. Mas Anhar memesan makanan.

Mana ya Wan Hamidah? Saya harus tembak langsung, apa dia hanya ingin melayani selera perut suami saya, atau ada niat lain, mengulik-ngulik selera yang lain?

"Hei, sedang mencari siapa, sih?" Mas Anhar sudah duduk di sebelah saya. "Wan Hamidah?" 

Lekas saya mengganggguk seperti anak kecil ditawari es krim. "Carilah, orangnya putih." Jantung saya berdebar. "Berlesung pipit." Ingin saya hajar Hamidah. "Ber..."

"Ber apa, Mas." Saya cepat menyela.

"Hidung mancung." Dia menghembuskan napas lega. Saya memegang hidung. Makin panas hati saya. Kekurangan saya dari dulu memang pasal hidung, agak jauh dari rata-rata mancung.

Seorang lelaki sekonyong menyapa sambil lalu di sebelah Mas Anhar. Lelaki itu mengacungkan jempol tangan. Menatap saya dengan senyum ramah. 

Segala hidangan pun merayu kami, dan menghalau lelaki itu. Saya sempat mendengar dia mempersilahkan kami makan. 

Hati saya kesal karena belum berhasil menemukan Hamidah. Hati saya bertambah kesel melihat wajah Mas Anhar memerah kepedasan. 

"Tak makan?" Saya menggeleng. Hampir jam satu. Pecel lele saya terpaksa dibungkus. 

Amarah saya menggelegak.  Selintas saja saya dan Mas Anhar bisa berdua, akan saya lalap dia.

***

Saya menunggunya dengan sabar di teras rumah Nah, itu kucing garong itu datang. Seolah tak memiliki salah, dia bersiul terus sambil duduk membuka sepatu.

"Manyun terus, kenapa?" Da mengucek-ngucek mata. Kemudian dia tersentak sambil menepuk dahi. "Masya Allah! Saya sampai lupa mengenalkanmu dengannya."

Saya hampir terpingkal guling-gulingan saat Mas Anhar menjelaskan jati diri Wan Hamidah. Kau masih ingat lelaki yang menyapa suami saya di warung pecel lele itu? Nah, sebenarnya dialah Wan Hamidah. 

Wan sering disematkan di depan nama orang Arab seperti Wan Abud. Maka itu muncul kata "Wan" di depan namanya. Sedang Hamidah itu berasal dari kata-kata "Hamid AHS" alias Hamid Ali Husen Shahab. Jadi biar ringkas dia dipanggil Wan Hamidah saja.

Sejak saat itu aku makin sering ke warung Wan Hamidah. Bisa bersama Mas Anhar, bisa sendirian. Sekarang saya lebih bersama Monik ke sana.

Di situ ada Monik, pastilah ada cerita tentang Wan Hamidah.

"Tahukah kau apa yang membuat pecel Wan Hamidah super enak, Hes?"

"Karena sambalnya."

"Seratus untukmu! Lebih tepat lagi dia memiliki resep rahasia. Resep pecel lele cinta."

"Apa? Kau jatuh cinta kepadanya?" Saya terpingkal-pingkal sambil memegangi perut. Monika habis-habisan memukuli pundak saya.

"Dengar dulu cerita saya. Wan Hamidah mengadon sambal dengan penuh cinta agar pelanggan betah menikmati pecel. Tujuan Wan Hamidah semata-mata ingin membangkitkan selera pelanggan. Bila kemudian menghasilkan uang berlimpah oleh perbuatan itu, tentulah  hanya bonus."

***

Sekarang saya sering makan pecel lele gratis. Ssst! Wan Hamidah dan Monik telah menikah beberapa minggu lalu. Bila kau tak sengaja singgah  ke warung ini, kau akan menemukan plang besar di atas pintu masuk; One & Macho alias Wan Hamidah dan Monika Coorporation. 

Tergiur mengicip pecel lele One & Macho.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun