Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Fragmen Cinta

15 Juni 2019   12:23 Diperbarui: 15 Juni 2019   23:32 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Aku menunggumu di taman ini. Jika saja ada lelaki yang datang dengan sebuket bunga dan sekotak coklat, kuharap itu adalah kau. Sesuai janjimu pada puisi terakhir; aku ingin menjadi sebuket bunga yang akan mengharumkan, dan sekotak coklat agar wajahmu semakin manis. Ternyata kau tak datang. Lalu-lalang orang semakin samar. Lampu-lampu taman dimatikan sebagian. Nyamuk merayakan hingar-bingar.

Aku tak  yakin kau akan datang hari ini. Kau hanyalah puisi maya itu. Kau yang mengganggu tidur malamku. Kau yang hadir di sela-sela lelaki yang melenguh panjang. Kau tahu, aku absen beroperasi  demi dirimu. Hanya puisi di layar yang memberitahu kau tak datang malam ini. Maaf yang terlambat. Beberapa bagian tubuhku yang terbuka, telah bentol karena gigitan nyamuk.

Saat itulah lelaki berseragam datang sambil menuntun motor. Lelaki berseragam yang seminggu ini selalu menyapa hari-hariku. Dia mengajakku pulang. Katanya, taman akan sepi ketika malam semakin pekat. Kejahatan akan mendekat. Kuremas kesal yang ingin tumpah entah kepada siapa. Bahkan sms dari Wiryo yang mengatakan lelah dan ingin dipijit, langsung kuhapus.

Aku menurut duduk di boncengan. Motor melaju, kemudian merapat di jejalan pedagang makanan. Lelaki berseragam memesan tiga bungkus sate. Satu untuknya, satu untuk sang istri, dan satu untukku. Meskipun aku menolak karena kenyang, dia tak peduli. Dia mengangsurkan jari tangan tiga ke pedagang.

"Istrinya,  Pak Pam?" Tangan lincah pedagang mengipas bara yang menyala.

"Bukan."

"Pacar gelap?"

Dia tertawa. Sesaat hening.

"Mau tau aja!"

Tiga bungkus sate berpindah tangan. Dia menjejalkan uang ke kantong baju pedagang dengan mengakhirkan kalimat; ambil kembalian.

Motor melaju membelah malam. Kami terdiam. Harum keringat si lelaki berseragam, membuatku teringat parfum si Yeyen.

"Badanku harum, kan?"

"Apa?" Aku tak bisa mendengar jelas.

"Harum badanku. Parfum baru istri. Beli satu dapat dua. Belinya satu yang makainya dua." Dia tertawa. Motor berhenti sekitar tiga puluh meter dari sekumpulan anak muda yang sedang bernyanyi-nyanyi dengan riang.

"Beli sate, ya? Manis, maksudku orangnya yang manis." Pemuda itu tertawa. Aku permisi sambil bergegas masuk gang. Sisa hujan yang menggenang di tengah jalan, memercik ujung celana. Lelaki berseragam itu yang duluan membuka pintu pagar rumahnya. Dia melambai. Aku tersenyum. Masuk ke dalam rumahku sambil menunduk.

Kali ini Wiryo menelepon. Ponsel kuletakkan di atas meja. Saat ring tone jeda, buru-buru kumatikan ponsel. Mengguyur tubuh adalah pilihan terbaik membunuh kesal. Setelah mengenakan daster merah pupus, kunikmati pemberian si seragam sampai ke tusuk terakhir.

Hmm, mudah-mudahan aku tak lagi pindah-pindahan kos seperti kucing beranak. Meski seminggu berdiam di gang ini, terasa sekali aku betah. Hampir penghuninya melulu pensiunan. Lebih senang di dalam rumah, ketimbang menggosip dengan tetangga. Rata-rata mereka tak memiliki anak, karena semua anak sudah berkeluarga dan tinggal di tempat terpisah.

Aku teringat kali pertama diusir dari kosan karena dianggap mengotori kampung. Kali kedua sama saja, aku dituduh pelakor. Kali ketiga aku tak nyaman. Dinding kosan bolong-bolong. Aku sering diintip jika sedang mandi.  Pokoknya banyak ketaknyamanan yang membuatku harus pindah Kosan.  Gang Kesot ini adalah kosan kali kesepuluh. Mudah-mudahan  warga tak resah dan aku betah.

***

"Selamat pagi!"

Aku urung menyampirkan handuk. Badanku yang dibalut sarung selepas mandi, kututup dengan handuk. "Pagi, Pak Wo. Mau ke mana?"

"Biasa, olah raga pagi biar tak encok."

"Ibuk di di mana?"

"Lagi encok!"

Kami tertawa. Musik tetangga berirama keroncong. Kok aku tiba-tiba keroncongan.

"Lapar, ya? Nanti aku bawakan bubur ayam." Dia seolah menebak apa yang ada di hatiku.

"Pak Wo, tak usah..." Tapi dia sudah menghilang di pengkolan.

Aku takut Mak Wo marah-marah melihat kedekatanku dengan Pak Wo. Makan selalu mengalir deras ke rumahku. Semua itu masakan Mak Wo yang diantar oleh Pak Wo. Lalu, sate tadi malam. Lalu, bubur ayam pagi ini. Aku menyampirkan handuk di gantungan. Irama keroncong itu berganti musik dugem. Suara ceracau anak muda terdengar cempreng. Tetangga sebelah memiliki anak satu; sopir bus kota.

"Orang baru?"

Aku tersentak. Dia langsung mengulurkan tangan.

"Kita belum kenalan. Namaku Boy."

Ah, salah kali. Mungkin Boiman. Batinku terkikik-kikik.

"Mumun."

"Oh."

Kami berbincang panjang lebar. Tapi mendadak aku sadar belum berpakaian.

"Anggap saja sedekah, Mun."

Gundulmu. Aku langsung bersalin pakaian dan mengoleskan parfum hadiah dari Wiro. Aku tersentak saat keluar kamar, Boy sudah bersender di dinding ruang tamu. Aku berselonjor di depannya. Lama sekali kami berbincang, hingga Boy meneriakkan haus dan lapar. Hanya ada satu botol air mineral, juga krupuk sisa nasi goreng dua hari lalu. Agak alot. Tapi, bagi Boy sudah jadi sekadar pengganjal perut.

Semakin lama kami berbincang, semakin curiga aku kalau dialah sang puitis itu. Hanya saja, aku sedikit kecewa. Manis sih manis orangnya, tapi kerempeng. Gaya tak salah-salah, pemuda tahun tujuhpuluhan. Bagaimana dengan status sopir bus kota? Hello, keledai mau masuk ke lobang yang sama? Tiga tahun lalu aku bersuamikan seorang sopir bus malam antar provinsi. Istrinya pula ada di tiga provinsi.  Tak tahan punya saingan, kami bercerai.

Tapi dari gaya bicaranya, dia orang romantis. Sangat puitis menurutku. Apakah dia yang sering mengganggu tidur malamku lewat sms? Tapi, darimana dia tahu nomor ponselku? Oh, mungkin dari Pak Wo.

Kami bertukar nomor ponsel. Ternyata aku salah tebak. Si puitis itu bukan dia.

"Kau nggak lapar?" Seraut wajah muncul di jendela. Pak Wo mengangkat kantong kresek. "Bubur ayam sudah tiba!" Boy buru-buru pamit. Pak Wo mendengus.

Sekantong bubur ayam pun berpindah tangan.

"Terima kasih, Pak Wo."

Hening sampai senja menjelang. Setelah makan bubur ayam, aku tiduran. Nanti malam aku harus beroperasi lagi. Bunyi ponsel merayuku; kuingin kau milikku selamanya, biar pun hatiku masih mendua. Tapi kembang di jambangan ingin juga terlihat muda, karenamu.

Aku membiarkan ponsel itu ribut dengan ring tone sms. Hampir jam lima, aku berjalan ke kamar mandi umum. Terdengarlah teriakan Mak Wo. "Siapa Mona? Cepat katakan! Apa ini; kuingin kau milikku selamanya, biar pun hatiku masih mendua. Kau mau aku dimadu?"

Pak Wo dilempar panci. Dia berlari ke luar.

Hari ini Senin. Aku pindah lagi ke kosan baru. Ponselku berbunyi. Di layar sms tertulis; ke mana dirimu hai pujaan kanda. Mengilang tanpa kabar berita. Seperti hilang ditelan telaga, seperti bara tak bersisa. Duhai kanda menggelepar cinta.

Kalau mau jalan-jalan, nanti ke kosan baru ya, Pak Wo. Tak ada lagi balasan hingga senja ini aku tanpa pelanggan.

"Mbak Yu. Rambutnya dipotong cepak, ya?

Seorang pelangganku datang. Pelanggan pertama untuk profesi baru. 

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun