"Biasa, olah raga pagi biar tak encok."
"Ibuk di di mana?"
"Lagi encok!"
Kami tertawa. Musik tetangga berirama keroncong. Kok aku tiba-tiba keroncongan.
"Lapar, ya? Nanti aku bawakan bubur ayam." Dia seolah menebak apa yang ada di hatiku.
"Pak Wo, tak usah..." Tapi dia sudah menghilang di pengkolan.
Aku takut Mak Wo marah-marah melihat kedekatanku dengan Pak Wo. Makan selalu mengalir deras ke rumahku. Semua itu masakan Mak Wo yang diantar oleh Pak Wo. Lalu, sate tadi malam. Lalu, bubur ayam pagi ini. Aku menyampirkan handuk di gantungan. Irama keroncong itu berganti musik dugem. Suara ceracau anak muda terdengar cempreng. Tetangga sebelah memiliki anak satu; sopir bus kota.
"Orang baru?"
Aku tersentak. Dia langsung mengulurkan tangan.
"Kita belum kenalan. Namaku Boy."
Ah, salah kali. Mungkin Boiman. Batinku terkikik-kikik.