"Mumun."
"Oh."
Kami berbincang panjang lebar. Tapi mendadak aku sadar belum berpakaian.
"Anggap saja sedekah, Mun."
Gundulmu. Aku langsung bersalin pakaian dan mengoleskan parfum hadiah dari Wiro. Aku tersentak saat keluar kamar, Boy sudah bersender di dinding ruang tamu. Aku berselonjor di depannya. Lama sekali kami berbincang, hingga Boy meneriakkan haus dan lapar. Hanya ada satu botol air mineral, juga krupuk sisa nasi goreng dua hari lalu. Agak alot. Tapi, bagi Boy sudah jadi sekadar pengganjal perut.
Semakin lama kami berbincang, semakin curiga aku kalau dialah sang puitis itu. Hanya saja, aku sedikit kecewa. Manis sih manis orangnya, tapi kerempeng. Gaya tak salah-salah, pemuda tahun tujuhpuluhan. Bagaimana dengan status sopir bus kota? Hello, keledai mau masuk ke lobang yang sama? Tiga tahun lalu aku bersuamikan seorang sopir bus malam antar provinsi. Istrinya pula ada di tiga provinsi. Â Tak tahan punya saingan, kami bercerai.
Tapi dari gaya bicaranya, dia orang romantis. Sangat puitis menurutku. Apakah dia yang sering mengganggu tidur malamku lewat sms? Tapi, darimana dia tahu nomor ponselku? Oh, mungkin dari Pak Wo.
Kami bertukar nomor ponsel. Ternyata aku salah tebak. Si puitis itu bukan dia.
"Kau nggak lapar?" Seraut wajah muncul di jendela. Pak Wo mengangkat kantong kresek. "Bubur ayam sudah tiba!" Boy buru-buru pamit. Pak Wo mendengus.
Sekantong bubur ayam pun berpindah tangan.
"Terima kasih, Pak Wo."