Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Pulang

5 Juni 2019   00:10 Diperbarui: 5 Juni 2019   00:49 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Her menatap hujan yang  mengalir di ulir tiang penyangga gedung itu. Hujan kali ini sangat lebat. Tempiasnya seakan menghantarkan dingin ke tubuh Her yang tak terbalut jaket. Salahnya terlalu yakin hujan tak akan turun. 

Beberapa hari ini panas seakan besahabat dengan dahaga puasa mencekik leher. Salahnya pula menampik anjuran istri agar membawa jaket karena Her beralasan jarak rumah dengan kantor tak terlalu jauh.

"Minum, Her!" Romulus mengangsurkan sebotol air mineral. "Makan kurma." Dia juga mengangsurkan kotak kecil berisi kurma.

Her menampik sebab sedang puasa. Itu pula yang membuat orang--orang di emperan gedung itu tertawa. "Kau pikir aku nggak puasa? Sepele amat kamu! Kalau sedang  puasa, telinga jangan ikutan dong. Nggak dengar suara azan Maghrib tuh," canda Romulus. Her  cengengesan sambil menerima pemberian sahabatnya itu.

Tiba-tiba Her teringat lagi saat Pak Puyono memanggilnya tadi siang. Dia menebak si kepala personalia hanya ingin memberinya satu dus minuman bekal lebaran. Dan tebakannya sangat tepat. Tentu saja bukan  tebakan selanjutnya .

"Sesuai instruksi bos besar, maka lebaran kali ini kita hanya libur dua hari.  Bos besar ingin menggenjot produksi. Karena saat lebaran  kebutuhan pasar terhadap produk kita lumayan tinggi. Bos besar malu bila produk kita hilang di pasaran, sementara stok tak ada sama sekali. Jangan sampai kejadian lebaran tahun  lalu terulang kembali. Efek jangka panjang, konsumen lambat laun beralih ke produk perusahaan kompetitor. Biar pun mereka tahu kulitas produk kita lebih menjamin."

Aku langsung lemas. Terbayang wajah bunda nun di kampung sana. Dia selalu berharap aku selalu ada di sampingnya setiap lebaran . Bunda mengidap penyakit diabetes akut dua tahun ini. Hasilnya dia kehilangan dua belah kaki karena borok bekas  luka kecil. Kakinya diamputasi agar borok tak menyebar ke tubuh, dan memvonis umur bunda hanya hitungan bulan.

Bunda setiap lebaran berziarah ke makam mendiang ayah. Lantaran aku lelaki tunggal di dalam keluarga,  maka aku yang bertugas menggendong bunda ke makam ayah berjarak selemparan batu dari rumah.

Sebenarnya ada lelaki lain yang lebih kuat dan kekar ketimbang aku. Dia Kandre si tukang kebun. Hanya saja bunda selalu kuat memegang prinsip tak akan mau disentuh lelaki yang bukan mahram.

"Seluruh divisi harus lembur ya, Pak?" tanyaku.

"Hanya divisi produksi. Karena kebijakan ini, bos besar akan menggelontorkan satu bulan gaji sebagai perangsang." Kepala personalia tersenyum. Dia berpikir aku tergoda untuk menumpuk pundi uang.

"Bagaimana kalau, misalnya saya, menolak lembur karena harus mudik?" Pertanyaanku membuat mimik kepala personalia menjadi kurang menyenangkan. 

"Konsekuensinya  anda harus mencari lowongan pekerjaan. Anda tahu maksud saya, kan? Ingat, anda seorang manajer yang tahu hitam-putihnya seluk-beluk produksi."

Dia menyalamiku, dan menyuruh aku keluar dari ruangannya. Sungguh ini membuatku seperti makan buah simalakama. Menolak perintah bos besar berarti aku nekad membuat dua perut kelaparan hingga aku kembali mendapatkan pekerjaan. Mencoba melupakan tugas untuk bunda, adalah bukti bahwa aku nekad kehilangan pintu surga.

Romulus menyikutku. Hujan bertambah lebat. Dia menunjuk sesuatu dengan memiringkan kepala ke arah kanan. Artinya, dia mengajakku menuntaskan berbuka di rumah makan Minang.

Aku pikir ajakannya bagus. Bukan lantaran aku lapar sangat. Beberapa butir kurma telah berhasil mengganjal lapar itu. Aku hanya ingin melaksanakan Shalat Maghrib. Pikiranku akan bertambah kacau jika malah melupakan perintah Allah.

Selepas Shalat Maghrib, aku putuskan kami makan sate Padang dulu. Prinsipnya, aku harus berbagi masalah dengan Romulus. Meski tak ada solusi, setidaknya sedikit melapangkan dada.

Romulus menyimak curahan hatiku sampai selesai. Sejenak dia tercenung sambil meraih sepiring sate yang dibawa pelayan. Sebentar kemudian dia berkata, "Aku berharap kau tak menganggapku akan merebut posisimu. Aku hanya staff administrasi, sedangkan kau seorang sarjana teknik mesin divisi produksi. Jadi, jauhlah kalau kau suudzon kepadaku."

"Jadi bagaimana?" kejarku.

"Kalau kau kehilangan ridho ibu, kau pasti akan kehilangan ridho Allah. Level utama yang harus kita turuti perintah dan menjauhi larangan-Nya adalah Allah. Berikutnya orangtua."

Aku mulai mengerti arah pembicaraan Romulus. Berarti aku akan kehilangan pekerjaan; seorang manajer produksi? Ah, ini tak bisa dan tak biasa.

"Ingat, Her. Pekerjaan itu bukan satu, dan kau tak perlu risau apabila kehilangannya. Tapi, kalau kau kehilangan ibu, tak lagi akan kau temukan selamanya. Lagipula, apa yang kau dapat dari pekerjaan, tak lebih karena kau cakap bekerja. Bila kau sudah tua, juga tak produktif lagi, kau akan dicampakkan, lalu diganti generasi baru. Sedangkan seorang ibu tak pernah melihat sukses tidaknya dirimu. Bahkan jika kau orang termiskin di dunia, harta bahkan nyawa ibu pertaruhkan agar kamu bahagia."

Aku teringat saat kanak-kanak dulu pernah terjatuh karena menyambut kepulangan bunda dari pasar. Bibirku pecah. Bunda panik, menerabas jalan dengan aspal yang masih basah demi anaknya. Dapat kau bayangkan betapa aspal basah membuat kaki melepuh. Dan seorang bunda tak akan memperdulikannya.

Aku bergegas berdiri. Sate Romulus mengambang karena tak berhasil masuk ke mulutnya. "Aku tak ingin kehilangan bunda. Terima kasih atas solusinya. Malam ini semua makanan aku yang traktir. Mungkin ini yang terakhir kali aku bisa meneraktirmu, Lus." Romulus tertawa. Sementara aku setengah berlari ke ruang kepala personalia. Untung saja dia belum pulang. Tanpa ragu-ragu aku mengemukakan keputusan itu.

Dia berulangkali mencoba meralat, tapi keputusanku sudah bulat. Beruntung pula si bos besar masih melembur. Aku mengemukakan seluruh keadaanku, hingga memutuskan berhenti bekerja. Dingin sekali si bos besar menepiskan angin, pertanda dia mengusirku. 

Kepala personalia akan memproses seluruh pemutusan kerjaku seminggu setelah lebaran. Aku hanya mengangguk mantap. Mantap pula aku membayar sate Padang. Mantap pula aku bercerita kepada istri.

Dua hari menjelang lebaran, berdua istri, kami sudah di loket bus, menunggu keberangkatan. Saat itulah Mang Sapto, si pesuruh kantor, tergopoh-gopoh mendekatiku. Mungkin kepala personalia sudah tak sabaran ingin memecatku, hingga menyuruh Mang Sapto harus menyusulku ke terminal bus.

"Untung Pak Hermawan belum berangkat," kata Mang Sapto. "Ini tiket pesawat dari bos besar." Aku terbelalak. "Dan ini thr tambahan darinya." Aku semakin terbelalak."Jangan lupa, minggu depan Pak Hermawan siap-siap membereskan ruangan Bapak." Dia terdiam, tertunduk. Meskipun  sudah tahu akan diberhentikan, tetap saja aku goyah.

Mang Sapto berjalan menuju mobilnya. Tapi, dia kembali lagi. Lanjutnya, "Karena bos besar akan menjadikan Bapak sebagai kepala cabang di Medan." Mang Sapto memelukku. Teleponku berdering. Mungkin dari bunda. Hmm, senja ini adalah senja terbaik dalam hidupku.

---sekian---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun