Her menatap hujan yang  mengalir di ulir tiang penyangga gedung itu. Hujan kali ini sangat lebat. Tempiasnya seakan menghantarkan dingin ke tubuh Her yang tak terbalut jaket. Salahnya terlalu yakin hujan tak akan turun.Â
Beberapa hari ini panas seakan besahabat dengan dahaga puasa mencekik leher. Salahnya pula menampik anjuran istri agar membawa jaket karena Her beralasan jarak rumah dengan kantor tak terlalu jauh.
"Minum, Her!" Romulus mengangsurkan sebotol air mineral. "Makan kurma." Dia juga mengangsurkan kotak kecil berisi kurma.
Her menampik sebab sedang puasa. Itu pula yang membuat orang--orang di emperan gedung itu tertawa. "Kau pikir aku nggak puasa? Sepele amat kamu! Kalau sedang  puasa, telinga jangan ikutan dong. Nggak dengar suara azan Maghrib tuh," canda Romulus. Her  cengengesan sambil menerima pemberian sahabatnya itu.
Tiba-tiba Her teringat lagi saat Pak Puyono memanggilnya tadi siang. Dia menebak si kepala personalia hanya ingin memberinya satu dus minuman bekal lebaran. Dan tebakannya sangat tepat. Tentu saja bukan  tebakan selanjutnya .
"Sesuai instruksi bos besar, maka lebaran kali ini kita hanya libur dua hari.  Bos besar ingin menggenjot produksi. Karena saat lebaran  kebutuhan pasar terhadap produk kita lumayan tinggi. Bos besar malu bila produk kita hilang di pasaran, sementara stok tak ada sama sekali. Jangan sampai kejadian lebaran tahun  lalu terulang kembali. Efek jangka panjang, konsumen lambat laun beralih ke produk perusahaan kompetitor. Biar pun mereka tahu kulitas produk kita lebih menjamin."
Aku langsung lemas. Terbayang wajah bunda nun di kampung sana. Dia selalu berharap aku selalu ada di sampingnya setiap lebaran . Bunda mengidap penyakit diabetes akut dua tahun ini. Hasilnya dia kehilangan dua belah kaki karena borok bekas  luka kecil. Kakinya diamputasi agar borok tak menyebar ke tubuh, dan memvonis umur bunda hanya hitungan bulan.
Bunda setiap lebaran berziarah ke makam mendiang ayah. Lantaran aku lelaki tunggal di dalam keluarga, Â maka aku yang bertugas menggendong bunda ke makam ayah berjarak selemparan batu dari rumah.
Sebenarnya ada lelaki lain yang lebih kuat dan kekar ketimbang aku. Dia Kandre si tukang kebun. Hanya saja bunda selalu kuat memegang prinsip tak akan mau disentuh lelaki yang bukan mahram.
"Seluruh divisi harus lembur ya, Pak?" tanyaku.
"Hanya divisi produksi. Karena kebijakan ini, bos besar akan menggelontorkan satu bulan gaji sebagai perangsang." Kepala personalia tersenyum. Dia berpikir aku tergoda untuk menumpuk pundi uang.