"Bagaimana kalau, misalnya saya, menolak lembur karena harus mudik?" Pertanyaanku membuat mimik kepala personalia menjadi kurang menyenangkan.Â
"Konsekuensinya  anda harus mencari lowongan pekerjaan. Anda tahu maksud saya, kan? Ingat, anda seorang manajer yang tahu hitam-putihnya seluk-beluk produksi."
Dia menyalamiku, dan menyuruh aku keluar dari ruangannya. Sungguh ini membuatku seperti makan buah simalakama. Menolak perintah bos besar berarti aku nekad membuat dua perut kelaparan hingga aku kembali mendapatkan pekerjaan. Mencoba melupakan tugas untuk bunda, adalah bukti bahwa aku nekad kehilangan pintu surga.
Romulus menyikutku. Hujan bertambah lebat. Dia menunjuk sesuatu dengan memiringkan kepala ke arah kanan. Artinya, dia mengajakku menuntaskan berbuka di rumah makan Minang.
Aku pikir ajakannya bagus. Bukan lantaran aku lapar sangat. Beberapa butir kurma telah berhasil mengganjal lapar itu. Aku hanya ingin melaksanakan Shalat Maghrib. Pikiranku akan bertambah kacau jika malah melupakan perintah Allah.
Selepas Shalat Maghrib, aku putuskan kami makan sate Padang dulu. Prinsipnya, aku harus berbagi masalah dengan Romulus. Meski tak ada solusi, setidaknya sedikit melapangkan dada.
Romulus menyimak curahan hatiku sampai selesai. Sejenak dia tercenung sambil meraih sepiring sate yang dibawa pelayan. Sebentar kemudian dia berkata, "Aku berharap kau tak menganggapku akan merebut posisimu. Aku hanya staff administrasi, sedangkan kau seorang sarjana teknik mesin divisi produksi. Jadi, jauhlah kalau kau suudzon kepadaku."
"Jadi bagaimana?" kejarku.
"Kalau kau kehilangan ridho ibu, kau pasti akan kehilangan ridho Allah. Level utama yang harus kita turuti perintah dan menjauhi larangan-Nya adalah Allah. Berikutnya orangtua."
Aku mulai mengerti arah pembicaraan Romulus. Berarti aku akan kehilangan pekerjaan; seorang manajer produksi? Ah, ini tak bisa dan tak biasa.
"Ingat, Her. Pekerjaan itu bukan satu, dan kau tak perlu risau apabila kehilangannya. Tapi, kalau kau kehilangan ibu, tak lagi akan kau temukan selamanya. Lagipula, apa yang kau dapat dari pekerjaan, tak lebih karena kau cakap bekerja. Bila kau sudah tua, juga tak produktif lagi, kau akan dicampakkan, lalu diganti generasi baru. Sedangkan seorang ibu tak pernah melihat sukses tidaknya dirimu. Bahkan jika kau orang termiskin di dunia, harta bahkan nyawa ibu pertaruhkan agar kamu bahagia."