Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Pulang

5 Juni 2019   00:10 Diperbarui: 5 Juni 2019   00:49 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Aku teringat saat kanak-kanak dulu pernah terjatuh karena menyambut kepulangan bunda dari pasar. Bibirku pecah. Bunda panik, menerabas jalan dengan aspal yang masih basah demi anaknya. Dapat kau bayangkan betapa aspal basah membuat kaki melepuh. Dan seorang bunda tak akan memperdulikannya.

Aku bergegas berdiri. Sate Romulus mengambang karena tak berhasil masuk ke mulutnya. "Aku tak ingin kehilangan bunda. Terima kasih atas solusinya. Malam ini semua makanan aku yang traktir. Mungkin ini yang terakhir kali aku bisa meneraktirmu, Lus." Romulus tertawa. Sementara aku setengah berlari ke ruang kepala personalia. Untung saja dia belum pulang. Tanpa ragu-ragu aku mengemukakan keputusan itu.

Dia berulangkali mencoba meralat, tapi keputusanku sudah bulat. Beruntung pula si bos besar masih melembur. Aku mengemukakan seluruh keadaanku, hingga memutuskan berhenti bekerja. Dingin sekali si bos besar menepiskan angin, pertanda dia mengusirku. 

Kepala personalia akan memproses seluruh pemutusan kerjaku seminggu setelah lebaran. Aku hanya mengangguk mantap. Mantap pula aku membayar sate Padang. Mantap pula aku bercerita kepada istri.

Dua hari menjelang lebaran, berdua istri, kami sudah di loket bus, menunggu keberangkatan. Saat itulah Mang Sapto, si pesuruh kantor, tergopoh-gopoh mendekatiku. Mungkin kepala personalia sudah tak sabaran ingin memecatku, hingga menyuruh Mang Sapto harus menyusulku ke terminal bus.

"Untung Pak Hermawan belum berangkat," kata Mang Sapto. "Ini tiket pesawat dari bos besar." Aku terbelalak. "Dan ini thr tambahan darinya." Aku semakin terbelalak."Jangan lupa, minggu depan Pak Hermawan siap-siap membereskan ruangan Bapak." Dia terdiam, tertunduk. Meskipun  sudah tahu akan diberhentikan, tetap saja aku goyah.

Mang Sapto berjalan menuju mobilnya. Tapi, dia kembali lagi. Lanjutnya, "Karena bos besar akan menjadikan Bapak sebagai kepala cabang di Medan." Mang Sapto memelukku. Teleponku berdering. Mungkin dari bunda. Hmm, senja ini adalah senja terbaik dalam hidupku.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun