Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kemelut Alit

18 Mei 2019   09:16 Diperbarui: 18 Mei 2019   09:24 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Burung besi itu terbang semakin rendah. Paruhnya menukik, mematok setiap penghalang. Sehelai demi sehelai awan disibak, seperti ibu mengerat-ngerat  kue tart yang masing-masing dibagi rata kepada setiap anak panti. Kue tart yang indah, hadiah ulang tahun perak pernikahan ayah-ibu. 

Kue tart yang merelakan tubuhnya dirusak pisau tajam. Seluruh anak-anak tak sabaran. Mereka ingin mendahului mendapatkan kue tart legit. Seperti halnya dia, Alit, lelaki yang menikmati pemandangan di bawah sana, saat burung besi kembali ke sarang. Setelah melewati ribuan kilometer dari negeri jauh menuju Bumi Sriwijaya.

Teringat kue tart, Alit kecillah yang paling tak sabaran memperoleh keratan pertama. Tak seperti Iqbal yang melulu mengalah, tak mau seperti anak lain. Dia selalu yakin bahwa rejeki tak akan lari ke mana, keratan kue pasti akan di tangan. Itu pula yang selalu dia katakan kepada Alit, manakala Alit mempermasalahkan sifat Iqbal yang pasrah. 

Umur Iqbal masih dua belas tahun, tapi bicaranya hampir seperti kakek-kakek enam puluh tahun. Alit benci dengan sikapnya. Benci, sebab meskipun pasrah, Iqbal tetap berhasil memperoleh apa  yang dia harapkan.

"Sudah mau sampai, ya?" gumam perempuan di sebelah Alit sambil mengucek mata. Seolah mencerabut Alit dari masa kekanak. Pemberitahuan pramugari agar setiap penumpang tetap duduk di kursi dan mengencangkan ikat pinggang keselamatan, membuat Alit tergeragap. Dia cepat-cepat menghidupkan ponsel, perbuatan yang melanggar keselamatan, tapi tetap dia lakukan.

"Kenapa telepon darinya belum ada, ya?" Alit seakan berbicara kepada dirinya sendiri.

"Telepon dari istrinya atau...?" Perempuan itu tersenyum menggoda. Alit membalas dengan tawa pelan. Pesawat  tiba-tiba mencengkeram daratan, membuat badan Alit condong ke depan. Kembali perempuan itu tersenyum. Menggoda sekali. Alit membunuh nafsu yang mencuat. 

Ini bukan saatnya bermain api. Masalah yang dia hadapi lebih berat dari sekedar perempuan, apalagi selingkuhan, bikin runyam. Jika dia ingin, banyak perempuan yang rela didekati lebih intim dengan lembaran uang, bukan dengan cinta.

Hawa Palembang lumayan gerah setelah berbilang bulan tak turun hujan. Alit menyeka leher yang berkeringat. Matanya memicing karena bersirobok dengan cahaya terik yang menjamah belalai berdinding kaca,  yang akan menghantarkan seluruh penumpang ke ruang kedatangan di bawah. Semoga saja janji orang tersebut tak karet, benak Alit was-was.

Nah, itu lelaki bongsor berperut buncit di antara kerumunan penjemput. Dia ditemani lelaki-lelaki berjas dan berkacamata hitam. Mereka membentang spanduk yang menyatakan dukungan terhadap Dr. Alinafiah, MSc, calon  anggota DPR pusat dari partai nganu. 

Mereka mirip pemandu sorak yang meneriakkan nama Alit, Alit. Sementara orang di sekeliling tak mau tahu, atau tak ingin tahu siapa lelaki itu, meskipun spanduk-spanduknya memenuhi kota, bahkan sudah banyak yang memanjat pohon-pohon peneduh, seolah monyet kelaparan. 

Alit mencoba melambai-lambaikan tangan. Kutu kupret! Mereka tetap tak peduli, kecuali lelaki bongsor dan pemandu sorak itu.

"Selamat pagi, Pak! Selamat datang di Bumi Sriwijaya!" Si Bongsor menyalaminya. Perempuan yang tadi duduk di sebelah Alit, melambai genit sambil mengedipkan mata. "Gacoan baru ya, Pak?  Kalau orang ganteng dan terkenal, memang tak ke mana.

"Banyak bacot kau!" ketus Alit. Bongsor tersenyum. Mereka menuju parkiran, lalu memasuki sebuah mobil sedan hitam metalik. Pemandu sorak menaiki mobil lain, sebuah jeep sangar berbadan dan beroda besar.

Angin segar dari ac, membuat Alit lega. Dia menarik napas panjang dan mengeluarkannya dengan dengusan. Dia menoleh si bongsor. "Bagaimana pesananku, sudah kau laksanakan, Husnan!" si bongsor yang dipanggil Husnan, mengacungkan jempol jari tangan kanan.

"Paten semuanya! Perlengkapan Masjid, sudah. Para jamaah berharap bapak menang. Pembagian sembako, sudah. Rakyat meminta pembagian sembako diulang lagi, banyak yang belum kebagian."

"Bagaimana dengan serangan fajar?" tekan Alit.

"Mantap, Pak! Seenak rendang. Makan bisa nambah saking enaknya. Tambuah ciek." Husnan yang berasal dari Sumatera Barat itu terkekeh.

"Diam! Aku bukan sedang ingin membicaran makanan!"

"Oh, maaf, Pak."

***

Alit mondar-mandir di salah satu apartemen berlantai dua puluh itu. Semburan ac yang distel full, sama sekali tak bisa membungkan keringat di tengkuk. Berkali-kali dia duduk di sofa, membolak-balik buku the soup of chicken, berharap ada kisah yang meredakan degup di dada menjadi sedikit pelan. 

Tak bisa meredakan degup di dada, dia membuka lemari yang berisi minuman keras berbagai merk. Dia memilih minuman dengan alkohol  super tinggi. Menenggaknya sedikit, membuat bibirnya panas berujung kelu. Degup jantungnya seakan berlari marathon, berdetak cepat, namun membuatnya sangat lelah. 

Dia kembali duduk di sofa, menarik rokok dari kotak, kemudian menghunjamkannya ke asbak. Dia meraih telepon, dan berbicara kepada seseorang. Dia mencoba memejamkan mata, meskipun yang berkelebat di mata hanya ketakutan.

Ponsel hampir jatuh dari tangannya, ketika seseorang mengetuk pintu, dan memutus pembicaraan Alit dengan seseorang di seberang. Malas-malasan Alit menyeret langkah menuju pintu. Sesosok orang di depan pintu dengan senyum penjilat, membuatnya mendengus. "Masuk!" Alit kembali duduk di sofa. "Ada apa? Kurang uang lagi?"

Orang itu, Husnan, duduk pelan di ujung tempat tidur yang kusut. Sehelai rambut panjang yang menempel di sprei putih, membuatnya tersenyum. "Baru minum tonik,  kok bos kusut?"

"Tonik apa maksudmu!" ketus Alit sambil menyeka keringat di tengkuk. Husnan tetap tersenyum, tapi dia meraih sehelai rambut itu, sehingga Alit mati kutu. Alit mengibaskan tangan, pertanda hal itu tak perlu dibahas. Dia mengalihkan pembicaraan tentang pileg. Dia merasa lebih siap kalah daripada menang. Tapi, bagaimanapun caranya, dia mesti menang.

"Masalah Iqbal, ya? Dia tak berniat mencalon anggota DPR. Dia didesak  warga, bahkan mereka sanggup menambah dana dia mancalon anggota DPR. Sepertinya sih, dia lawan tanding yang tangguh," jelas Husnan sambil meraih minuman beralkohol di depan Alit.

"Itulah yang aku khawatirkan. Dia selalu berkata dari dulu, bahwa rejeki tak akan lari ke mana. Bagaimanapun dia diinjak, tetap saja bertunas, tetap saja bisa tumbuh menyemak hatiku. Tak peduli apakah dia bekas teman main saat di panti asuhan. Tak peduli apakah dia pernah membantuku. Brengsek! Firasatku dia akan gol." Alit menggebrak meja, sehingga Husnan tersedak. 

"Mungkin dengan cara halus kita bisa, Bos." Husnan  menarik napas panjang.

"Maksudmu dukun? Ah, aku tak percaya itu. Menghabiskan uang, iya. Berhasil, sudah pasti tak akan." Dia menggaruk-garuk kening, lalu tertawa sambil menepuk sofa. "Nah, kau ada ide lain?"

"Aku tadi pikir bos ada ide. Tahunya cuma gertakan doang," keluh Husnan. 

Perbincangan mendadak alot, mulai dari rencana memanipulasi data di tps, hingga serangan fajar berikutnya, hingga pembagian sembako besar-besaran. Tapi, Alit memilih membangun jalan perkampungan yang dari dulu paling sering jadi kubangan ketimbang jalan. "Itu lebih mendulang  suara." Alit mengepalkan tinju.

"Cuma, data yang dibutuhkan lima milyar." Husnan mengkerut. 

"Itu mudah kuatur." Alit menepiskan tangan, pertanda dia ingin seorang diri. Setelah Husnan pergi, dia menelepon seseorang tentang uang lima milyar.

"Pokoknya, kalau aku gol, hutang langsung kubayar, berikut bunga-bunganya. Deal?"

"Kalau tak gol?" tanya seseorang di seberang dengan nada cemas.

"Pasti gol!"

***

Siang ini matahari bersinar cukup terik. Halaman bak kepulan. Debu-debu beterbangan. Sebentar angin berkesiur, tapi bukan mengabarkan kesejukan, hanya menambah panas menggigit. Beberapa orang duduk merenung dalam sel. Beberapa lainnya sibuk bercerita ngalor-ngidul. 

Ada juga yang tertawa-tawa dan mengobrol entah dengan siapa. Ada yang merajuk tak mau makan, karena ingin gulai kari kambing. 

Di sudut paling sudut, di lorong paling ujung, seorang lelaki sedang menggores-gores dinding memakai paku. Beberapa kali dia terpergok berbuat itu oleh petugas, dan diberikan sanksi tak boleh makan malam. Dinding kembali dicat dengan warna senada. Percuma, dia seolah tak kapok!

Mungkin sekilas kau pernah melihat lelaki itu. Atau mungkin kesal melihatnya memenuhi kota dengan baleho besar. Baleho yang sempat menghantammu ketika hujan turun lebat. Baleho yang melukai batang pohon yang menurutmu sangat menganggu pertamanan. 

Tak salah lagi tebakanmu, dia adalah Alit. Lelaki yang berambisi menjadi anggota DPR. Lelaki yang kecewa karena Iqbal mengandaskannya dengan telak. Bukan mengandaskan sebenarnya, Cuma dia sakit hati Iqbal melenggang ke senayan, sedangkan dia pusing membalikkan hutang. 

Beberapa orang menagih hutang Alit via telepon, beberapa via debt collector yang selalu mengancam. Bukan Alit namanya kalau tak bisa berkelit. Dia memutuskan menjadi orang gila dan berlagak gila terhadap semua hutang. Dia membayar dokter jiwa agar memvonisnya sudah gila. 

Dia membayar media agar memberitakannya secara besar-besaran bahwa dia sudah gila. Terkadang menjadi gila lebih baik daripada waras. Menjadi gila mementahkan segala tuduhan, segala hukam, segala hutang-hutang. Tapi, bukankah rasa benci tak akan peduli apakah dia sedang gila atau tidak?

***

Rumah Sakit Jiwa Kasih Tak Sampai pagi ini tak lagi diributkan suara petugas cempreng yang menyuruh seluruh orang gila membuang mimpi-mimpi gila mereka. Tak disuruh, mereka semua terbangun dengan wajah takut, cemas. Sesosok mayat membiru dengan mulut berbusa, ditemukan tergeletak di dalam sel. Petugas dan aparat cepat-cepat mengevakuasinya. 

Sementara tak jauh dari rumah sakit, seorang lelaki mengetok jendela sebuah mobil mewah. Jendela terbuka, dan seseorang itu mengatakan, "Alit telak hech!" katanya sambil menyilangkan tangan di leher, pertanda Alit sudah berhasil dibunuh. Sebuah amplop dijulurkan dari dalam mobil, dan mobil itu melaju setelah amplop berpindahtangan. 

Rumah Sakit Jiwa Kasih Tak Sampai kembali ke keadaan semula, bagi yang teriak-teriak kembali teriak, bagi yang menangis tetap menangis, bagi yang tertawa masih tertawa sambil berguling-guling. 

Ambulance berteriak nyaring membawa mayat Alit.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun