Beberapa orang menagih hutang Alit via telepon, beberapa via debt collector yang selalu mengancam. Bukan Alit namanya kalau tak bisa berkelit. Dia memutuskan menjadi orang gila dan berlagak gila terhadap semua hutang. Dia membayar dokter jiwa agar memvonisnya sudah gila.Â
Dia membayar media agar memberitakannya secara besar-besaran bahwa dia sudah gila. Terkadang menjadi gila lebih baik daripada waras. Menjadi gila mementahkan segala tuduhan, segala hukam, segala hutang-hutang. Tapi, bukankah rasa benci tak akan peduli apakah dia sedang gila atau tidak?
***
Rumah Sakit Jiwa Kasih Tak Sampai pagi ini tak lagi diributkan suara petugas cempreng yang menyuruh seluruh orang gila membuang mimpi-mimpi gila mereka. Tak disuruh, mereka semua terbangun dengan wajah takut, cemas. Sesosok mayat membiru dengan mulut berbusa, ditemukan tergeletak di dalam sel. Petugas dan aparat cepat-cepat mengevakuasinya.Â
Sementara tak jauh dari rumah sakit, seorang lelaki mengetok jendela sebuah mobil mewah. Jendela terbuka, dan seseorang itu mengatakan, "Alit telak hech!" katanya sambil menyilangkan tangan di leher, pertanda Alit sudah berhasil dibunuh. Sebuah amplop dijulurkan dari dalam mobil, dan mobil itu melaju setelah amplop berpindahtangan.Â
Rumah Sakit Jiwa Kasih Tak Sampai kembali ke keadaan semula, bagi yang teriak-teriak kembali teriak, bagi yang menangis tetap menangis, bagi yang tertawa masih tertawa sambil berguling-guling.Â
Ambulance berteriak nyaring membawa mayat Alit.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H